Penyiaran Pasca Adopsi Digital

Kolom

Penyiaran Pasca Adopsi Digital

Fathorrahman Hasbul - detikNews
Jumat, 06 Agu 2021 15:10 WIB
Adopsi digital dalam lanskap penyiaran sudah di depan mata
Jakarta -
Migrasi televisi analog ke digital sudah tersurat di depan mata. Kini ia tidak lagi menjadi isu liar yang menggelinding dalam bilik-bilik diskursus publik, tetapi telah menjadi fakta yang harus kita terima meskipun dalam situasi setengah siap. Ke depan, tiga wilayah kandidat implementasi kebijakan migrasi teresterial televisi analog ke digital atau Analog Switch Off (ASO) untuk pertama kalinya akan diberlakukan di Provinsi Banten, meliputi Kabupaten Serang, Kota Serang, dan Kota Cilegon.

Tiga wilayah tersebut masuk dalam kategori wilayah layanan Banten-1. Penerapan kebijakan ASO tahap I dilakukan bersamaan dengan 17 Agustus 2021 sebagai titik balik untuk membubuhkan semangat kemerdekaan dalam fragmen dunia penyiaran. Dengan menggunakan teknologi multipleksing (Mux), beberapa stasiun televisi di Banten bahkan telah bersiaran digital antara lain di Banten-1 ada BS TV, Trans TV, dan SCTV. Banten-2 ada BS TV Metro TV, Trans TV, dan TV One. Banten-3 TVRI Bayah, BS TV, dan Metro TV.

Dengan dibukanya kran ini, apakah problem adopsi digital dalam media penyiaran dianggap selesai? Selain persoalan determinasi teknologi dan kebijakan sepihak melalui instrumen regulasi yang kentara motif ekonomi-politik, digitalisasi tetap menyisakan masalah yang harus terus dikawal. Sejak awal, digitalisasi tak banyak memberikan perubahan kecuali pada spektrum kualitas video dan audio. Berbeda dengan transformasi media cetak dimana digitalisasi mampu mengubah secara utuh ritme kerja, kompetensi, spasialisasi, konten, dan dinamika bisnis secara cepat.

Problem Sebaran Saluran

Namun kekhawatiran tentang nilai sebenarnya dari daya tarik teknologi ini (baca: digitalisasi penyiaran) kemampuan dan keuntungan yang diharapkan dari penyiaran kerapkali menuai paradoks. Pemerintah selalu berbicara PDB dengan menstimulasikan siaran digital selama 5 tahun ke depan akan berdampak pada kenaikan PDB sekitar Rp 443 triliun. Pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) diproyeksikan sekitar Rp 77 triliun serta dinilai akan penciptaan lebih dari 230.000 lapangan pekerjaan baru dan 181.000 unit usaha baru.

Pandangan pemerintah ini cenderung melompat. Di samping karena sulit menjangkau 'mimpi' tersebut, justru yang dikhawatirkan sebaliknya; catu daya epilepsi di Indonesia akan menghasilkan penggunaan pembangkit listrik yang akan meningkatkan ongkos operasional yang besar karena memerlukan investasi untuk melatih personel di berbagai bidang seperti perangkat keras instalasi dan konfigurasi perangkat lunak. Alih-alih untung, kerugian besar pun sudah barang tentu menjadi ancaman paling nyata.

Problem sederhananya, sebaran saluran sesungguhnya bukan persoalan jumlah saluran yang tersedia dengan penghematan frekuensi yang ada, tetapi kualitas program dalam setiap saluran. Celah siaran di Indonesia selalu berkutat pada persoalan kualitas konten. Sementara itu, beberapa lembaga negara yang khusus mengurusi konten seperti KPI-KPID sejauh ini tak berdaya, melempem di tengah krisis kualitas konten siaran yang terus memuai.

Dalam sudut pandang pemerintah, digitalisasi selalu diasosiasikan dengan peningkatan kualitas gambar yang acapkali hendak dikejar. Sayangnya, ini bukan perkaranya. Belum ada bukti yang mendukung proposisi bahwa pemirsa televisi -sebagai konsumen- lebih memilih kualitas gambar yang lebih baik daripada konten yang lebih baik (Negroponte, 2005).

Digitalisasi telah mendorong media dan sentimen teknologinya bergerak serempak. Ia telah meningkatkan individualisasi saluran media yang seutuhnya diorientasikan terhadap kebutuhan adaptasi dunia yang semakin kompleks. Tetapi apakah proses alih teknologi tersebut melalui instrumen program benar-benar membantu individu dalam upaya mereka menciptakan sebuah makna, seberapa signifikan teknologi baru ini melayani kebutuhan masyarakat, dan apakah kelompok yang kuat dalam industri media penyiaran era analog akan tetap dominan untuk menentukan desain program siaran televisi di Indonesia setelah adopsi digital?

Dalam imajinasi pemerintah, investasi besar siaran digital hanya fokus pada perbendaharaan infrastruktur, yang salah satunya terkait kebutuhan Set Top Box (STB). Investasi di bidang pengembangan program terutama yang berkaitan dengan konten yang representatif nyaris raib. Bahkan pemerintah tidak mendudukkan konten dalam instrumen transformasi digital sebagai episentrum dalam transformasi besar tersebut.

Jika ini luput dari pandangan, bisa dibayangkan nasib populasi pemirsa televisi yang berkisar 44 juta rumah tangga di Indonesia sama sekali tak melihat perubahan konten, dan 701 lembaga penyiaran pemegang izin siaran analog yang mayoritas akan bermigrasi tak punya inovasi.

Asas Kemanfaatan


Milosavljević (2009) menjelaskan bahwa transformasi televisi digital di beberapa negara maju dan berkembang memiliki problem tentang keberagaman saluran tanpa peningkatan keragaman konten. Seolah-olah problem adopsi digital hanya persoalan determinisme teknologi. Sementara, produksi konten dan kualitas konten tampak menjadi buih di tengah hempasan gelombang teknologi.

Tidak ada gagasan baru tentang transformasi keberagaman konten baik di batang tubuh lembaga penyiaran swasta, publik, komunitas, dan berlangganan. Belum ada isu-isu strategis dari pemerintah perihal kemampuan perbendaharaan dana mengenai biaya produksi konten dan nasib kualitas konten pasca adopsi digital. Narasi yang muncul selalu hempasan-hempasan harapan bahwa digitalisasi akan menawarkan model ekonomi baru, on demand, dan pendekatan yang lebih individual yang mengarah pada kebutuhan pengguna, dan seolah-olah menjadi tuntutan zaman tanpa memperhatikan dampaknya pada preferensi publik secara luas.

Tampaknya, hanya sedikit dari aktor kunci penyiaran, seperti penonton, pelaku penyiaran, dan pemangku kebijakan paham strategi apa yang harus dibangun pasca adopsi digital. Pemerintah seperti giat memasang "perangkat tikus" untuk memikat bahkan 'menjebak' pemirsa televisi untuk beralih ke siaran digital. Bahasa kejernihan suara, layar, dan bertambahnya saluran adalah tiga isu yang sering 'dititahkan'. Sementara soal konten nyaris hening dari pembahasan.

Kini adopsi digital dalam lanskap penyiaran sudah di depan mata. Sebelum terlambat, pemerintah perlu mempertimbangkan lahirnya roadmap yang jelas terkait kemampuan lembaga penyiaran dalam konteks perbendaharaan produksi dan nasib kualitas konten dalam produksi siaran itu sendiri.

Sebagaimana diktum dalam asas kemanfaatan, teknologi dianggap berfaedah ketika ia berhasil menjangkau kebutuhan dan kepentingan publik secara langsung. Dalam area penyiaran, ini hanya mungkin dapat diimplementasikan ketika konten siaran digital menjadi lebih berkualitas, kreatif, beragam, dan lebih berpihak pada akal sehat publik daripada keberpihakan pada kepentingan para pemiliknya.

Fathorrahman Hasbul
peneliti media dan komunikasi politik, alumnus Magister Ilmu Komunikasi UGM
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads