Pandemi mempertegas satu hal: kekuatan tiap-tiap orang menghadapi bencana (virus) itu berbeda-beda, tergantung di kelas sosial mana ia berada. Covid-19 ganas dan tak pandang bulu? Tentu, tak ada yang memungkiri itu. Namun, siapa dan kalangan mana yang punya kesempatan survive lebih besar?
Diterapkannnya PPKM darurat, dan juga PSBB di waktu sebelumnya, membuat lapisan masyarakat dengan ekonomi rentan kehilangan pijakan dan makin memperkecil pendapatan yang sebelumnya sudah minim. Mereka melawan ganasnya wabah dan kelaparan secara bersamaan.
Pemerintah memang menggelontorkan sejumlah bantuan sosial dalam skema perlindungan sosial. Masalahnya, tindakan itu minim dan dilakukan secara enggan, dibanding upaya yang seharusnya dilakukan dalam situasi wabah mematikan, sesuai UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Adapun skema perlindungan sosial lewat berbagai bansos, tidak hanya sedikit nilainya, tapi juga menyisakan celah untuk dikorupsi, terbatas jangkauannya dan tidak pula merata.
Langkah Minim
Ketika pandemi makin gila, pemerintah kelabakan: mengumumkan sana-sini, mengabarkan situasi terkendali, dan secepat kilat pula merevisi ucapannya. PPKM Darurat diterapkan setelah Indonesia menjadi episentrum baru Covid-19 secara global.
PPKM tentu bukan masalah besar bagi masyarakat lapisan sosial atas. Namun menjadi bencana bagi masyarakat lapisan sebaliknya. Dibatasinya kegiatan masyarakat, berarti dibatasi pula pendapatan dan kesempatan hidup mereka.
Pemerintah sadar—atau setidaknya mendekati demikian—pembatasan ini punya dampak besar bagi masyarakat lapis bawah. Maka dikucurkanlah anggaran skema perlindungan sosial. Dalam keterangan persnya Selasa (20/7) lalu, Presiden Jokowi mengatakan hendak mengalokasi anggaran tambahan guna perlindungan sosial itu. Jumlahnya kurang lebih Rp 55,21 triliun rupiah, dan akan digunakan "untuk meringankan beban masyarakat terdampak."
Sampai di sini, sebagian orang mungkin berpikir bahwa pemerintah telah melakukan sesuatu untuk mengatasi pandemi dan mencegah rakyatnya tidak kelaparan. Tapi jujur saja, anggaran semacam itu sesungguhnya tidak cukup untuk mengenyahkan fakta jika pada dasarnya pemerintah mangkir dari tugas aslinya. Bagaimana mungkin?
Covid-19 telah ditetapkan sebagai pandemi sejak jauh hari oleh WHO. Karena wabah ini menular dengan cepat dan mengakibatkan kematian. Kesehatan dan keselamatan masyarakat berada dalam titik genting. Dalam kondisi semacam ini, pemerintah sudah sepatutnya menerapkan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Namun, hingga kasus terkonfirmasi menyentuh angka 3 juta jiwa, penerapan UU itu tak kunjung kelihatan batang hidungnya. Nyaris tiap konferensi pers, pemerintah berulangkali berdalih telah "mempertimbangkan berbagai masukan", "mendengarkan pendapat para ahli", dan jurus-jurus lain.
Padahal kita tahu, sejumlah epidemiolog dan pakar kesehatan telah mengimbau untuk melakukan tindakan yang lebih dari sekadar pembatasan sosial skala besar (PSBB) atau pun pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
PPKM darurat adalah langkah paling minim dan enggan dibanding menerapkan UU Kekarantinaan Kesehatan secara utuh. Apalagi dalam UU tersebut, pemerintah diwajibkan memenuhi kebutuhan pokok warganya selama karantina berlangsung dan juga akses atas pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis. Persis di situlah pemerintah tidak memenuhi tanggung jawabnya, dan karena itu memilih mangkir dan menerapkan kebijakan yang sangat minim.
Pemerintah dalam enam bulan pertama pandemi memang mengucurkan berbagai bantuan. Kita dapat berkaca dari itu. Bantuan yang diberikan berupa sembako, bantuan langsung tunai (BLT), BLT dana desa, hingga insentif tarif listrik. Sayangnya, jangkauan bantuan itu diberikan secara terbatas, tidak merata, tidak berkelanjutan, dan jumlahnya makin lama makin kecil. BLT misalnya, hanya diberikan 600 ribu pada tiga bulan pertama (April-Juni 2020). Bulan-bulan selanjutnya hingga Desember, jumlahnya turun menjadi 300 ribu. Bantuan itu pun hanya menjangkau 9 juta jiwa.
Belum lagi, sebagaimana umumnya bantuan sosial di negara ini, kerapkali dilakukan dengan tidak terstruktur dan sistematis, dan pula rawan dikorupsi. Kasus korupsi dana bansos Covid-19 yang menjerat eks Menteri Sosial, Juliari Batubara setidaknya dapat memberi kita gambaran. Meskipun itu hanya secuil puncak gunung es dari kinerja korup birokrasi negara ini.
Juliari menilep cuan 32 miliar sebagai uang pelicin, dari total anggaran bansos 6,8 triliun. Andre Dedy Nainggolan, eks Kasatgas Penyidik Tipikor, menyatakan masih banyak yang belum diungkap dalam kasus itu. Nyaris setengah dari yang seharusnya diterima masyarakat sejumlah Rp 270 ribu hilang. Artinya, jika ditotal seluruh penerima bansos, menurut Andre ada sekitar 2 triliun kerugian yang ditanggung negara.
Perlindungan Negara?
Sebagaimana ketimpangan kekayaan yang menganga, kekuatan tiap lapis masyarakat menghadapi pandemi juga berbeda. Membandingkan driver ojol dan anggota dewan bertahan hidup di tengah kegilaan wabah ini tentu saja sikap yang tak bijak. Menyandingkan ketahanan buruh tambang dan oligark pertambangan juga sama tak masuk akalnya.
Yang disebut terakhir punya jabatan, privilese hingga kekayaan untuk mengakses fasilitas kesehatan terbaik. Berbanding terbalik dengan nasib driver ojol, atau pedagang kaki lima, atau buruh harian, atau lapisan masyarakat sejenis mereka. Jangankan punya akses kesehatan, bisa makan minum yang cukup saja sudah untung.
Bagi masyarakat dengan ekonomi rentan, situasi pandemi ini punya daya pukul ganda. Di satu sisi, mereka mesti bertahan dari virus. Di sisi lain, mereka juga melawan kelaparan. Sebab, tidak sedikit dari mereka yang berada di sektor formal di-PHK atau pun dikurangi jam kerjanya.
Belum lagi nasib pekerja informal macam driver ojol, pedagang kecil di tempat-tempat wisata, penjaja makanan di sudut-sudut kota, dan sejenisnya. Kalangan masyarakat itu sudah terhimpit dalam situasi ekonomi "normal", dan makin terjepit lagi ketika datang wabah dan krisis seperti ini.
Karena itu, diterapkannya UU Kekarantinaan Kesehatan secara utuh sangat siginifikan. Pemerintah membatasi dan menghentikan aktivitas non esensial, sembari menjamin dan memenuhi kebutuhan pokok tiap orang, serta pula menjamin hak mendapat pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis.
Namun yang tampak sejak awal pandemi, dengan corak dan watak kekuasaannya yang sekarang, mengharapkan perlindungan negara kelihatannya nyaris seperti fantasi yang berlebihan. Menghadapi pandemi ini, sedari awal kita memang dipaksa untuk bertarung secara mandiri, tanpa bantuan orang-orang yang sebelumnya telah kita pilih untuk mewakili kepentingan kita.
Muhammad Nur Fitriansyah bergiat di Intrans Institute
(mmu/mmu)