Kesenjangan ekonomi Indonesia selama masa pandemi telah meningkat. Pada Maret 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa indeks Gini Indonesia sebesar 0,384. Angka ini meningkat dibandingkan dengan Maret 2020 yang sebesar 0,381. Secara wilayah, kesenjangan ekonomi di perkotaan masih lebih tinggi dibandingkan perdesaan, yaitu 0,401 berbanding 0,315. Ini adalah salah satu potret bagaimana buruknya efek pandemi terhadap kondisi ekonomi masyarakat, selain tingkat pengangguran dan kemiskinan yang meningkat menjadi 6,26 % (Februari 2021) dan 10,14 % (Maret 2021) dibandingkan tahun sebelumnya (pada bulan yang sama).
Kondisi yang seperti ini seakan menjadi "tamparan keras" terhadap upaya digitalisasi kegiatan ekonomi yang dipercaya sebagai panacea (obat mujarab) bagi ekonomi masyarakat selama pandemi. Tentu saja saya juga mempercayai bahwa digitalisasi kegiatan ekonomi memang terjadi secara lebih intensif dan masif selama masa pandemi serta membantu perekonomian agar tidak terpuruk terlalu jauh. Namun demikian, persoalannya bukan ada di situ. Jauh lebih dalam, persoalannya terletak pada kesenjangan digital (digital divide).
Menurut Ragnedda (2020) terdapat dua bentuk kesenjangan digital. Pertama, kesenjangan digital tradisional, yang terdiri dari kesenjangan akses terhadap internet dan teknologi digital, kesenjangan kemampuan menggunakan teknologi digital secara optimal, serta kesenjangan terkait outcome yaitu hasil dari kemampuan tersebut ketika dikonversikan ke dalam berbagai jenis kapital lainnya (misalnya kapital ekonomi seperti pendapatan).
Sebagai contoh sederhana, orang yang tidak memiliki akses terhadap internet, smartphone, dan laptop tidak mungkin bisa menjadi youtuber (kesenjangan akses). Orang yang memiliki akses terhadap internet, smartphone, dan laptop belum tentu mampu menjadi youtuber jika dia tidak memiliki kemampuan membuat content video (kesenjangan kemampuan). Orang yang memiliki kemampuan content video belum tentu bisa viral dan memperoleh pendapatan dari iklan (kesenjangan outcome).
Tidak hanya pada level individu, kesenjangan digital tradisional seperti ini tentunya juga terjadi di perusahaan dan pemerintah dalam berbagai persoalan atau kasus yang berbeda terkait dengan gelombang digitalisasi di seluruh dunia pada masa pandemi.
Kedua, kesenjangan digital baru atau yang lebih dikenal dengan sebutan algorithms divide. Kesenjangan ini terdiri dari kesenjangan dalam hal pengetahuan terhadap cara kerja algoritma dalam kehidupan sehari-hari, kesenjangan dalam hal kualitas data atau informasi yang menjadi fondasi bagi bekerjanya algoritma, dan kesenjangan dalam perlakuan yang tidak setara akibat dari data dan informasi yang bias sebagai fondasi algoritma.
Sebagai contoh sederhana pula, terkait dengan kesenjangan dalam hal pengetahuan mengenai algoritma, pada umumnya hanya sedikit orang Indonesia yang menyadari bahwa algoritma "mengamati" dan mengkalkulasi perilaku mereka dalam dunia online. Entah pola perilaku dalam pencarian di google, pola perilaku posting atau sharing di Twitter, Facebook, Instagram, Whatsapp, pola perilaku belanja online, dan lain-lain.
Efek dari kesenjangan pengetahuan tentang algoritma ini adalah menjadi tidak sadar bahwa informasi yang disajikan ke kita umumnya cenderung mengafirmasi perilaku kita. Dalam hal ini, algoritma dapat membangun "tembok informasi" yang menghalangi kita untuk mendapatkan informasi yang mungkin tidak selaras dengan pola perilaku online kita. Ini adalah contoh kesenjangan digital dalam hal penilaian terhadap kualitas data dan informasi yang disajikan ke kita oleh algoritma.
Efek berikutnya, jika kita mengambil keputusan berdasarkan "tembok informasi" algoritma dengan data dan informasi yang bias serta cenderung mengafirmasi pandangan kita, maka ancaman kegagalan akibat keputusan itu akan ada. Sebagai contoh, keterpaparan secara terus-menerus terhadap informasi bahwa membuka suatu usaha/bisnis tertentu itu menguntungkan akan membuat kita percaya bahwa bisnis tersebut memang layak untuk dijalani, walaupun pada kenyataannya tidaklah selalu demikian.
Hal ini karena kurangnya keterpaparan terkait informasi dari sisi negatif terkait bisnis tersebut, di mana cara kerja algoritma juga berperan di dalamnya. Kesenjangan algoritma ini pulalah yang mungkin menjadi salah satu penyebab hingga saat ini masih ada kelompok masyarakat yang tidak percaya Covid-19. Sama seperti kesenjangan digital tradisonal, kesenjangan digital baru ini juga terjadi pada level perusahaan dan negara dengan pola/persoalan/kasus yang tentunya berbeda.
Ragnedda (2020) juga mengatakan bahwa kelompok sosial yang berada pada situasi tidak menguntungkan atau berada pada bagian bawah dalam fenomena kesenjangan digital sebagai digital underclass. Lalu, siapakah digital underclass di Indonesia?
Berdasarkan data survei dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (2018) hal ini kiranya cukup jelas. Mereka yang tidak menggunakan internet akses cenderung besar persentasenya pada tingkat pendidikan rendah (SMP dan ke bawah), berusia relatif tua (45 tahun dan ke atas), buruh tani dan petani penggarap di perdesaan. Di perkotaan, secara awam saja kita dapat membayangkan bahwa para pekerja informal tentunya cenderung rentan menjadi digital underclass dibandingkan pekerja formal. Padahal, ini baru dari sisi akses internet saja, belum lagi berbicara kompleksitas kesenjangan digital yang lainnya.
Berkaca pada kondisi yang seperti ini, tentunya persoalan kesenjangan sosial-ekonomi di Indonesia menjadi lebih kompleks seiring dengan digitalisasi yang semakin intensif di era pandemi. Jika hal ini tidak dikelola dengan baik tentunya dapat menjadi bom waktu, mengingat belum ada tanda-tanda bahwa pandemi Covid-19 akan segera hilang. Dalam konteks yang demikian, salah satu kuncinya terletak pada peningkatan kapital digital masyarakat Indonesia.
Menurut Ragnedda (2018), kapital digital adalah seperangkat kompetensi digital dan teknologi digital yang dapat diakumulasikan serta memberikan peningkatan terhadap berbagai kepemilikan kapital lainnya, khususnya kapital ekonomi.
Selain itu, pemerintah sebaiknya juga tidak semata-mata menyandarkan diri pada saluran komunikasi digital selama masa pandemi dan lebih membuka akses bagi mereka yang tereksklusikan dari ruang-ruang digital. Telah cukup banyak kita dengar persoalan-persoalan terkait representasi dalam ruang digital. Salah satu contoh sederhananya adalah tidak mendapatkan bantuan sosial karena kesalahan data rekening atau tidak memiliki rekening bank. Semoga hal-hal seperti ini tidak terus terulang ke depannya.
One Herwantoko mahasiswa Doktoral Ilmu Sosiologi Universitas Indonesia
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini