Di sela-sela mengajar melalui daring di rumah kontrakan akibat kebijakan PPKM yang penuh drama ini, tiba-tiba teman istri saya datang dengan anaknya. Saya yang masih di depan laptop di ruang tamu seketika mempersilakan masuk ke ruang tengah, sebab di sana anak dan istri saya sedang asyik membungkusi es untuk dijual di komplek pesantren dekat kontrakan kami.
Ya, pandemi begini sebisa mungkin harus bertahan --ah, kita semua tahu sendirilah, saya tidak perlu menambahkan rentetan definisi tentang bertahan itu. Pintu penghubung antara ruang tamu dan tengah saya tutup meskipun tidak rapat, sebab daun pintu kayu yang sudah tua itu seperti memberikan isyarat bahwa "kamu harus dengar suara di balik pintu ini".
Benar saja, hampir satu jam saya ceramah di depan laptop tentang radikalisme dan liberalisme dalam beragama tiba-tiba hilang konsentrasi, entah saya juga tidak yakin dengan mahasiswa yang mengikuti kuliah saya apakah serius. Dengan kamera mereka yang tidak aktif, saya sulit menghilangkan suuzan kepada mereka mendengarkan dengan khidmat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tanpa berusaha mendengarkan, dengan lirih, namun jelas saya mendengar cerita teman istri saya itu bahwa beberapa hari yang lalu tetangga di kampung halamannya meninggal setelah divaksin. Lalu ia meminta kakaknya jika ibunya disuruh vaksinasi, maka wajib menolak, khawatir nasib buruk menimpa ibunya jika terjadi apa-apa setelah divaksin. Kekhawatiran itu diiringi dengan cerita-cerita lain yang entah datang dari mana.
Tak hanya teman istri saya, beberapa bulan yang lalu saya juga mendengar kisah serupa di kampung halaman istri. Mertua saya bercerita dengan sungguh-sungguh bahwa tetangga ada yang meninggal dunia setelah dua hari divaksin. Tanpa sebab yang jelas ia meninggalkan istri dan dua anaknya yang masih balita. Kisah-kisah seperti itu entah kenapa menjadi hal yang lazim dikonsumsi oleh masyarakat sehingga mempersepsikan vaksin sebagai hal yang berbahaya.
Sejujurnya, saya juga meragukan apakah vaksin itu efektif atau tidak. Mengingat produksi vaksin yang sangat cepat dan tergesa-gesa, ditambah varian virus korona yang katanya bermutasi entah seberapa banyak. Lalu, vaksin yang diproduksi masal itu apakah sudah dipastikan mampu beradaptasi dari mutasi-mutasi itu? Tentu saya tidak bisa memastikan hal ini, di samping saya bukan pakar farmasi, saya juga tidak mau dipusingkan dengan hal-hal yang bukan bidang saya.
Lagi pula, meskipun saya meragukan vaksin, toh saya juga tetap mengikuti vaksinasi dari pemerintah dengan hanya modal KTP. Di lain sisi, mungkin karena tuntutan bekerja di lembaga pendidikan sebagai ancang-ancang semester depan sudah bisa melakukan kuliah tatap muka. Namun, melihat kondisi sekarang, sepertinya harapan untuk tatap muka di semester depan akan semakin jauh.
Terlepas dari itu, saya ingin mendiskusikan seberapa pentingkah vaksin itu, namun sebelum itu, mari kita lihat fenomena ini dengan melepas kacamata kuda terlebih dulu.
Pertama, jutaan vaksin yang sudah didistribusikan oleh pemerintah kepada masyarakat tentu sudah diuji dan dilakukan di berbagai negara. Logika paling bodoh adalah apakah sejahat itu pemerintah kita ingin membunuh masyarakatnya dengan vaksin? Saya kira kok tidak. Untuk kali ini saja, coba kita berprasangka baik kepada pemerintah.
Kasus kematian setelah vaksin itu bukan satu-satunya penyebab. Kompas pernah merilis berita bahwa 99,5% dari pasien Covid-19 yang meninggal adalah belum divaksin. Data tersebut bisa jadi tidak tepat, lalu argumentasi apalagi yang bisa ditegaskan untuk menjelaskan ketidaktepatan itu? Pada Mei lalu, sebagaimana diberitakan Kompas lagi bahwa dari 30 kasus kematian setelah divaksin di antaranya sudah terpapar, 11 lainnya karena penyakit jantung.
Kedua, tak perlu lagi membahas soal haramnya vaksin jika hanya ingin menolak vaksin, sebab hal itu sudah lama diputuskan oleh MUI bahwa vaksin hukumnya halal. Sebagian orang merasa tidak butuh vaksin karena soal agama; sakit dan kematian di tangan Tuhan, kalau sudah waktunya mati ya mati saja. Pemahaman ini tentu tidak salah bagi yang percaya tentang kekuasaan Tuhan.
Kaidah ushul fikih paling sederhana dalam hal ini adalah "dalam keadaan 'darurat', kita boleh melakukan hal-hal yang diharamkan sekalipun." Pertanyaan seberapa daruratkah keadaan pandemi ini, tak perlu diperpanjang sebab secara fakta sudah di depan mata kita bahwa ini wabah global yang tidak pandang negara, suku, bahkan agama sekalipun. Dan, tentunya vaksinisasi adalah kehendak untuk menuju kemaslahatan yang lebih umum, daripada kemaslahatan individu, dalam konteks ini kemaslahatan secara universal itulah yang lebih diutamakan.
Ketiga, saya baru menyadari akhir-akhir ini bahwa pelayanan transportasi umum mensyaratkan penumpang memiliki bukti sudah divaksin, seperti ketika naik pesawat wajib tes PCR, atau antigen sekaligus menunjukkan kartu sudah divaksin. Di kereta juga demikian wajib menyertakan kartu vaksinasi. Bahkan baru saja mertua saya telepon bahwa ia tidak jadi menyambangi cucunya, selain karena PPKM, ia juga khawatir di perjalanan ada razia surat vaksinasi.
Jadi, kesimpulannya vaksin menjadi penting karena ada hajat nasional yang membutuhkan kerja sama sekaligus peran seluruh masyarakat di Indonesia tanpa terkecuali. Meskipun, herd immunity ini seharusnya dilakukan sejak awal, tanpa mengorbankan pendidikan yang fasilitasnya ternyata belum ramah bagi penduduk di kawasan minim sinyal internet.
Qowim Musthofa dosen Ilmu Kalam IIQ An Nur Yogyakarta tinggal di Bantul