Berakhir sudah Piala Eropa 2021, setelah mengalami penundaan akibat pandemi global. Penggemar turnamen sepakbola macam apa yang bisa memalingkan pandangannya saat negara dan nama pemain favoritnya berlaga di saat berita tentang kelesuan ekonomi dan pandemi global seperti belum berkesudahan? Orang Jawa bilang, ayo kita nyelimur (mengalihkan pembicaraan) sejenak.
Orang mana yang tidak iri dengan pemandangan stadion penuh manusia tanpa masker, tanpa jaga jarak, bebas berteriak, sementara di belahan dunia yang lain masih berjibaku menyelamatkan warganya dari keganasan varian virus Covid 19?
Jelasnya, melihat Piala Eropa seperti bukan hanya sekadar turnamen sepak bola biasa, namun seperti tersebarnya pesan tentang keberhasilan sains dan negara yang cekatan menyelamatkan warganya. Karantina mulai diperlonggar untuk kemudian Piala Eropa digelar artinya warga Eropa pelan-pelan mulai melakukan mobilitas, pub dan bar buka satu per satu untuk menghela lagi roda ekonomi, dan tentu melakukan apapun tanpa khawatir rasa takut, sangat kontras dengan salah satu negara yang bahkan setelah satu setengah tahun pandemi masih kebingungan memprioritaskan ekonomi atau nyawa warganya.
Tragedi Inggris
Adu penalti adalah cara paling bengis dalam mengakhiri pertandingan sepakbola. Bayangkan setelah bersusah payah 120 menit dihadapkan pada pilihan membobol atau dibobol, tim Anda menjalani momen pertaruhan yang paling menegangkan sebagai pesepakbola.
Nasib seorang pesepakbola hanya berjarak 11 meter saat saling berhadapan entah sebagai penjaga gawang atau eksekutor tendangan. Itu pun masih bergantung dengan hasil eksekusi teman lainnya. Jika berhasil, maka kemenangan tim akan di depan mata, jika tidak siap-siap untuk menjadi kambing hitam atau malah menjadi beban yang menghantui sepanjang karier.
Coba tanyakan itu ke Gareth Southgate, siapa sangka dua puluh lima tahun kegagalannya mengeksekusi penalti di Piala Eropa 1996 harus ditentukan pula oleh adu penalti melawan Italia. Gagal sudah penebusan Gareth Southgate, ia membebankan harapan Inggris sepanjang 55 tahun ke anak muda 19 tahun Bukayo Saka. Italia tertawa, Inggris menangis. Football is not coming home but coming to Rome!
Rasisme yang Semakin Buruk
Wajah buruk Inggris semakin terlihat saat akun media sosial ketiga penendang penalti yang gagal yaitu Rashford, Sancho, dan Bukayo Saka dihajar oleh tindakan rasisme dan kebencian. Ketiga orang penendang tersebut kebetulan berdarah Afrika-Karibia dan berbaju Inggris. Memang tidak ada yang salah. Keberadaan pemain berdarah Afrika-Karibia di timnas Inggris adalah sejarah panjang interaksi manusia dalam praktik migrasi yang sudah berlangsung ratusan tahun lamanya.
Ada ungkapan menarik perihal keberadaan pemain berdarah Afrika di timnas Eropa: saat mereka menang mereka akan dianggap sebagai perwakilan timnas Eropa, namun saat mengalami kekalahan mereka adalah imigran. Lebih buruk lagi, publik Eropa akan mengaitkan kegagalan tersebut dengan warna kulit dan agama. Sungguh mencoreng semangat sepakbola yang inklusif, setara, dan berkeadilan.
Tak ayal lagi, prestasi Inggris yang sudah bersusah payah untuk mencapai final setelah 55 tahun (itu pun tidak jadi juara), ditutupi oleh aksi memalukan yaitu perundungan pemain timnas Inggris keturunan Afrika-Karibia.
Penebusan Italia
2018 barangkali tahun terkelam dalam sepakbola Italia; untuk pertama kalinya sejak 1958 mereka hanya menjadi penonton dalam turnamen akbar Piala Dunia. Tidak ada teriakan semangat suporter Italia dari bangku penonton, semua tenggelam dalam air mata, Gianluigi Buffon mengundurkan diri, tidak terbayang betapa buruknya masa depan sepakbola Italia pasca kegagalan tersebut. Sampai pada akhirnya Roberto Mancini mengambil alih kepelatihan Gian Piero Ventura.
Perombakan besar-besaran dilakukan Italia, hingga hanya ada dua pemain senior Leonardo Bonucci dan Giorgio Chiellini, sisanya adalah pemain muda seperti Leonardo Spinazzola, Frederico Chiesa. Hasilnya Italia di Piala Eropa 2021 adalah bukan Italia 1990-an ala catenaccio yang menumpuk pemain di garis pertahanan, namun Italia yang agresif dengan torehan 13 gol, plus bertenaga kuda mengepung Inggris hingga meraih juara Eropa lewat adu penalti.
Pan-Eropa yang Ironi
Pertandingan Piala Eropa kali ini digilir ke banyak negara, misal laga Wales vs Denmark yang diadakan di Belanda, laga Spanyol vs Kroasia di Kopenhagen; memang merepotkan sebab satu timnas harus berlaga dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Awalnya ide Michel Platini untuk memperingati 60 tahun dilaksanakannya Piala Eropa, namun rasanya lebih dari itu ada pesan yang ingin disampaikan tentang kebanggaan memiliki benua Eropa serta menyatunya kembali komunitas bangsa Eropa atau disebut Pan-Eropa.
Sejak 2016, Eropa dibayangi oleh bayang-bayang perpecahan di antara negaranya mulai dari Brexit (Britania Exit) hingga kemunculan para nasionalis ekstrem yang ingin memisahkan diri dari Uni Eropa. Barangkali dengan adanya format Piala Eropa macam inilah rasa kebanggaan menjadi Eropa bisa menjalar ke mana-mana mulai dari Eropa Barat yang makmur hingga ke wilayah "pra-sejahtera" di pinggir Eropa Timur seperti Azerbaijan.
Tetapi ada yang ironi di sin;, hampir semua laga Inggris, (kecuali perempat final) dilakoni di Wembley yang notabene adalah kandang mereka sendiri. Seperti menunjukkan Inggris adalah "Eropa yang lain" dan bangsa pemenang di antara saudaranya sesama Eropa sebagaimana ulah suporter mereka saat menyoraki lagu kebangsaan Italia. Semuanya berakhir karma, gelar juara Eropa semakin menjauh dari Inggris.
Negara-Negara "Underdog" Unjuk Gigi
Siapa sangka permainan spartan dari timnas Swiss bisa membuat pemain Prancis frustrasi dan saling menyalahkan satu sama lain saat laga 16 besar, atau Hungaria yang hampir saja membuat dua juara dunia Jerman dan Prancis pulang kampung duluan.
Jujur yang paling saya suka dari turnamen sepakbola internasional adalah kisah takluknya timnas dengan skuad mentereng dari timnas dengan skuad ala kadarnya. Melihat mereka menangis emosional saat menahan seri apalagi menang menyiratkan khayal suatu hari nanti timnas Indonesia pasti bisa melakukannya, entah di turnamen internasional apapun.
Dengan dibukanya 24 peserta pada Piala Eropa 2021 artinya ada kesempatan bagi negara-negara yang tidak masuk kiblat sepakbola macam Swiss, Austria, Ukraina untuk mencicipi indahnya masuk babak knock out dan melumat tim bertabur bintang seperti Prancis. Terlepas seringkali diejek oleh para pengamat sepakbola bahwa negara-negara ini tidak layak lolos ke Piala Eropa, namun apa salahnya memberikan kesempatan kepada Makedonia Utara, Austria, Ukraina, Finlandia dan Hongaria untuk unjuk gigi? Bukankah sepakbola Eropa bukan hanya milik Jerman, Prancis, Inggris dan Spanyol? Saya pikir sepakbola tanpa kejutan adalah bukan sepakbola.
Haryo Kunto Wibisono peminat kajian antropologi dan penggemar sepakbola
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT