Pekan ini, awal tahun ajaran baru 2021-2022 dimulai. Ada yang sudah mulai tatap muka, ada pula yang tetap belajar online. Sekolah-sekolah yang sudah mendapat izin pembelajaran tatap muka (PTM) tentu banyak "protokol" yang harus dipatuhi. Mulai dari jumlah siswa per rombongan belajar hingga waktu belajar maksimal tiap harinya.
Sistem shifting menjadi pilihan utama sekaligus langkah antisipatif menekan angka risiko terpapar Covid selama PTM. Melihat situasi yang masih fluktuatif, kita berharap, keputusan menggelar PTM senantiasa diiringi opsi lain, semacam second plan, jika nantinya ada kendala saat PTM berlangsung.
Model Pembelajaran
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya tertarik untuk mengurai model pembelajaran alternatif yang bisa dicoba atau diterapkan, jikalau PTM juga tak berjalan maksimal, akibat syarat dan ketentuan yang membatasi ruang gerak dan aktualisasi siswa maupun guru dalam pembelajaran. Selama pandemi ini, mindset kita hanya terpatri pada dua model pembelajaran yang bisa diterapkan, yaitu pembelajaran daring atau luring. Online atau offline. Online di zona "berbahaya", sedangkan offline di zona "aman".
Mindset itu tidak salah, karena memang secara umum, model pembelajaran hanya terbagi dua, offline dan online. Namun, alangkah sempitnya cakrawala kita jika hanya berhenti pada dua jenis tersebut. Banyak kombinasi dari keduanya yang bisa menjadi tawaran solusi alternatif pembelajaran.
Pertama, pembelajaran offline dengan memanfaatkan model-model pembelajaran inovatif dan kreatif. Salah satunya adalah home visit. Yakni, ada kelompok kecil belajar, yang terdiri atas beberapa siswa dalam satu wilayah yang bisa dimonitor track record kesehatannya, dengan tetap menghadirkan guru di tengah-tengah kelas kecil tersebut. Model pembelajaran home visit memberikan peluang bagi guru untuk mengeksplorasi berbagai model pembelajaran, mulai dari pembelajaran kooperatif berbagai tipe, project based learning (PBL), pembelajaran berbasis kontekstual (kehidupan sehari-hari), pembelajaran berbasis inkuiri (penemuan), discovery learning, dan lain-lain.
Jumlah peserta didik yang terbatas juga memungkinkan guru,mengefektifkan pemahaman konsep belajar anak, ketimbang ketika di sekolah dalam situasi normal, yang sangat heterogen dan guru tidak bisa sepenuhnya mengakomodasi kemampuan beragam para muridnya. Dalam home visit, sangat terbuka sekali untuk memberikan pemahaman yang lebih kepada anak didik. Kemudian, dengan lingkungan sekitar, menjadikan sumber belajar semakin kaya. Tidak hanya mengandalkan buku penunjang, LKS, tetapi guru bisa mengaitkan materi belajar dengan lingkungan, sehingga dapat memicu keingintahuan anak, hingga sikap menghargai anak akan pentingnya belajar materi tersebut, karena dikaitkan secara kontekstual tidak hanya berupa teks(tual).
Kedua, pembelajaran online dengan variasi model pembelajaran interaktif dan manipulatif. Selama pandemi dan selama itu pula pembelajaran online menjadi juru selamat pendidikan kita, maka selama itu pulalah sebagian dari kita terfokus pada belajar online pakai platform apa? Whatssaps, googleclassroom, LMS, edmodo, zoom meeting, ataupun google meet? Bukan pada model pembelajaran apa yang bisa diterapkan melalui variasi platform yang tersedia.
Pandemi sejatinya ujian profesionalitas seorang guru. Bisa tidak seorang guru yang sudah berlabel profesional mengintegrasikan model-model pembelajaran interaktif dan manipulatif ke dalam (platform) pembelajaran online. Berbasis game, berbasis kearifan lokal, berbasis media pembelajaran yang support dengan materi yang dipelajari. Hingga model-model pembelajaran kekinian berbasis STEAM, LOTS-HOTS, dan seterusnya. Tinggal menyisipkan muatan-muatan tersebut di setiap kesempatan pembelajaran. Misalnya, platform yang digunakan adalah zoom meeting, guru bisa mengintegrasikan media yang sudah dibuat semacam powerpoint, atau macromedia flash, hingga penggunaan papan tulis digital. Semua bisa dilakukan.
Ketiga, pembelajaran mix method antara offline dan online. Kita mengenalnya dengan istilah blended learning. Semi-offline, semi-online. Model belajar blended learning yang dikolaborasikan dengan home visit menjadi salah satu opsi terbaik.
Ubah Paradigma
Kelas itu hanya tempatnya, sumbernya bisa dari mana saja. Andai saja paradigma masyarakat akan belajar itu di kelas diubah menjadi belajar itu bisa di mana saja, bisa kapan saja, tergantung niat serius tidak untuk belajar, maka kita tak akan kelimpungan saat pembelajaran daring menjadi solusi sulit saat pandemi.
Paradigma kebanyakan masyarakat kita akan belajar itu harus di ruang kelas sekolah (nyata) tampaknya masih mendarah daging. Ibarat sayur tanpa garam, belum dikatakan belajar ketika guru belum menjelaskan panjang lebar, dan anak mendengarkannya di ruang kelas sekolah. Belum afdal jika belajar itu dihelat di ruang "non formal" selain ruang-ruang sekolah. Belum sahih rasanya jika nilai anak diberikan secara online dengan paraf online. Hampa rasanya jika achievement alias penghargaan atas prestasi yang diraih diberikan secara online. Padahal, pembelajaran online saat pandemi adalah penyelamat atas nasib pendidikan. Salah satu bentuk representasi model pembelajaran abad 21.
Tapi, ada benarnya juga jika kita melihat secara parsial output pembelajaran online dengan vonis kejam terhadapnya. Misalnya saja, ketika kita lihat tayangan di media sosial yang lagi ramai; ada beberapa anak SD yang tidak tahu kepanjangan SD, salah menjawab tahun kemerdekaan bangsa Indonesia, tidak tahu gambar "tut wuri handayani", tidak tahu foto (mantan) Wapres Budiono. Namun justru fast respons ketika ditanya lambang game online, seperti mobile legends, dan cepat menjawab gambar youtuber Atta Halilintar. Apakah itu produk pendidikan yang kita harapkan selama pandemi?
Kita belum sampai pada materi esensial dan substantif dari tujuan bersekolah. Belum juga pada ranah literasi atau numerasi yang melekat erat pada kebijakan merdeka belajar ataupun kampus merdeka. Tetapi kita baru masuk pada ranah paling bawah di tingkatan level kognitif, yaitu sebatas mengingat materi-materi umum sebagai wawasan awal mengenal bangsanya. Seperti apa dasar negara, apa makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika, siapa Bapak Pendidikan, sampai siapa Presiden dan Wakil Presiden, dan seterusnya. Ironisnya, anak-anak sekolah tersebut begitu mudah mengingat terhadap kebiasaan harian, seperti bermain game online maupun berselancar di Youtube. Apakah ini output pendidikan yang kita inginkan? Tentu tidak.
Akhirnya, apapun model pembelajaran di tahun ajaran baru ini, harus bisa menumbuhkan sekaligus memupuk semangat anak untuk terus belajar, terus bersekolah. Tetapi yang tak kalah pentingnya, keselamatan dan kesehatan anak didik, pendidik, orangtua murid harus dikedepankan.
Muh. Fajaruddin Atsnan dosen UIN Antasari Banjarmasin
(mmu/mmu)