Fenomena mewabahnya Corona memberikan kesan tersendiri bagi orang desa. Mereka menyikapi munculnya wabah tersebut dengan berbagai sikap. Tak sedikit yang menganggapnya sebagai ancaman serius. Namun, banyak juga yang memandangnya sebelah mata. Bahkan, sebagian orang menganggap virus Corona sebagai "permainan" para elite politik atau pemerintah. Bagi yang terakhir, munculnya Corona dinilai sebagai upaya mengalihkan perhatian masyarakat dari peristiwa-peristiwa penting yang seharusnya mendapat penanganan serius oleh negara.
Bagi mereka yang menilai bahwa Corona adalah virus mematikan, mematuhi kebijakan pemerintah adalah sebuah keniscayaan. Mereka akan senantiasa mengikuti imbauan dan instruksi pemerintah. Mereka siap mematuhi beragam ketentuan yang digariskan oleh pemerintah untuk menanggulangi Corona. Tetapi, bagi yang mengira bahwa Corona merupakan virus biasa atau bahkan sebagai "bualan" semata, mereka tak mungkin terusik dengan bahayanya.
Mereka sama sekali tak memedulikan data yang menginformasikan banyaknya warga negara Indonesia yang terpapar Corona. Mereka tak ambil pusing dengan kasus-kasus baru Corona di berbagai wilayah Indonesia yang rajin disajikan melalui media massa dan daring. Kondisi terakhir ini ternyata mengakibatkan minimnya kepedulian masyarakat desa terhadap menjamurnya Corona.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan demikian, ada keterkaitan erat antara melonjak atau menurunnya kasus-kasus Corona dengan cara berpikir orang desa. Dalam taraf tertentu, corak pandang orang desa turut menentukan apakah pergerakan virus ini bisa dihambat, dicegah, atau dibiarkan.
Dampak Pandemi
Hingga kini belum ada tanda-tanda berakhirnya pandemi Corona. Sejumlah pakar dan peneliti bahkan memperkirakan bahwa pandemi ini akan berakhir pada tahun 2024. Barang tentu perkiraan ini dicemaskan dan dikhawatirkan oleh orang-orang desa, termasuk mereka yang merantau ke kota-kota besar semisal Jakarta, Surabaya, dan Semarang.
Para buruh, karyawan pabrik, dan pekerja informal lainnya benar-benar merasakan dampak mewabahnya Corona. Orang-orang desa yang bekerja di luar kota terpaksa menerima kenyataan pahit. Seiring dengan menyempitnya lahan pekerjaan di wilayah urban akibat munculnya Covid-19, mereka memutuskan untuk pulang. Mereka tentu tidak bisa bertahan di kota dengan segala permasalahannya.
Saat kembali ke kampung halaman inilah, mereka tetap memupuk optimisme. Meskipun buah kesejahteraan tidak bisa dipetik di kantong-kantong urban, namun mereka masih menyimpan harapan di desa. Mereka bertekad melakukan apa saja demi menghasilkan sejumput rupiah. Dengan berniat "kerja serabutan" di wilayah pedesaan, mereka berangan memperoleh sedikit penghiburan. Optimisme ini semakin kuat ketika mereka menyadari bahwa hidup di desa memberikan kesenangan tersendiri: lebih dekat dengan buah hati dan keluarga tercinta.
Secara perlahan harapan mereka kandas ketika mengetahui kondisi di desa yang lebih parah. Desa merupakan tempat bagi siapa saja yang menginginkan ketenangan sekaligus ketentraman, namun tak menjanjikan secuil pun harapan. Apabila di kota tampak menyempit, maka lahan pekerjaan di desa cenderung menghilang. Melambatnya perputaran roda perekonomian masyarakat mengakibatkan usaha mikro dan menengah (UMKM) gulung tikar.
Tingkat Ekonomi
Parahnya, kondisi perekonomian masyarakat desa turut berpengaruh terhadap sikap, perilaku, serta tindakan mereka yang cenderung apatis. Tingkat ekonomi yang rendah membuat sebagian orang desa kurang berpikir jernih dan rasional. Setiap hari mereka hanya disibukkan dengan berbagai cara agar dapur tetap bisa "ngebul". Mereka semakin dipusingkan dengan kebijakan pemerintah yang kadang kontraproduktif, semisal diterapkannya sanksi sosial atau denda bagi pelanggar protokol kesehatan. Bagi mereka, hal ini bukannya mengatasi permasalahan, tetapi justru membuatnya lebih rumit.
Para pekerja informal barang tentu merasa keberatan untuk mematuhi kebijakan pemerintah terkait penanggulangan Corona. Beratnya menghidupi nafkah keluarga di saat pandemi membuat kesadaran mereka untuk mematuhi protokol kesehatan cukup rendah. Selain menjaga kebersihan badan dan lingkungan, upaya menghindari kerumunan juga sangat sulit dilakukan.
Di satu sisi, jenis pekerjaan buruh dan pekerja serabutan menimbulkan kesulitan tersendiri untuk menaati kebijakan pemerintah terkait Corona. Adapun di sisi lain, dalam tataran psikologis, mereka sudah merasa jenuh dengan kondisi yang tak kunjung membaik. Mereka seakan tidak peduli lagi dengan anjuran pemerintah untuk tetap mengenakan masker, melakukan social and physical distancing, mencuci tangan dengan sabun, dan lain sebagainya.
Optimalisasi
Permasalahan terkait Corona yang ada di desa sangat kompleks. Oleh karena itu, mengurainya butuh penanganan serius. Dalam konteks inilah, optimalisasi peran pemerintah desa menemukan relevansinya. Dalam rangka membantu pemerintah dalam upaya memotong mata rantai penyebaran Covid-19, pemerintah desa bisa melakukan beberapa langkah berikut.
Pertama, kepala desa beserta perangkat desa lainnya diharapkan mampu memberdayakan relawan desa. Bagaimanapun, relawan desa yang dibentuk sebagai ikhtiar menanggulangi penyebaran Covid-19 memiliki tanggung jawab strategis.
Kedua, melakukan pendekatan sosiologis. Pendekatan ini harus dilakukan oleh perangkat desa dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat. Semua lapisan masyarakat diberikan pemahaman mendalam tentang bahaya Covid-19. Dalam kehidupan masyarakat desa, pendekatan sosiologis terbukti lebih efektif daripada pendekatan formal. Mengingat, jalannya kehidupan desa selama ratusan tahun meniscayakan hubungan personal dan emosional yang kuat antara satu orang dengan orang lainnya.
Ketiga, memaksimalkan penggunaan dana desa. Selain dimanfaatkan untuk menggencarkan program Padat Karya Tunai Desa (PKTD), dana desa juga bisa diwujudkan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT). Diambilnya dua skema ini oleh pemerintah barang tentu diharapkan mampu menguatkan kondisi perekonomian masyarakat desa. Sayangnya, data terkait siapa saja yang berhak menerima dana tersebut seringkali salah. Imbasnya, di berbagai daerah, demonstrasi digelar guna memprotes pemerintah desa.
Riza Multazam Luthfy peneliti desa, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya
(mmu/mmu)