Tragedi kecelakaan di laut kembali terjadi pada tanggal 29 Juni 2021 lalu sekitar pukul 19.12 di perairan Gilimanuk, Kabupaten Jembrana, Bali. KM Yunicee milik PT Surya Timur Lines, Surabaya terbalik membawa penumpang dan ABK sebanyak 62 orang serta 25 kendaraan tercebur di Selat Bali. Sampai akhir minggu lalu sudah terdeteksi 9 orang meninggal dunia dan belum ditemukan sebanyak 10 orang.
Memang arus di Selat Bali cukup deras kala itu sekitar 5 knot. Jadi jika kondisi kapal tidak prima, penataan kendaraan di palka sembarangan, dan jumlah penumpang melebihi kapasitas bisa menjadi penyebab kecelakaan jika tiba-tiba cuaca berubah drastis. Namun, ini sebuah kecelakaan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Persoalan angkutan sungai, danau dan penyeberangan (ASDP) sejak puluhan tahun lalu bermasalah secara regulasi, namun Kementerian Perhubungan tidak kunjung menertibkan hingga hari ini.
ASDP medan jelajahnya di laut dan seharusnya mematuhi semua peraturan perundangan laut yang diatur oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Namun hingga hari ini ASDP diatur oleh Direktorat Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. 122 Tahun 2018 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada Pasal 136 dan Pasal 237 - 259 PM Perhubungan No. 122 Tahun 2018, angkutan sungai, danau dan penyeberangan diatur oleh Ditjen Perhubungan Darat. Bagaimana bisa moda angkutan air (umumnya di laut) tidak diatur oleh Ditjen Perhubungan Laut? Di sinilah kekacauan regulasi secara terstruktur dilakukan oleh Kementerian Perhubungan dan terus berlangsung hingga sekarang. Bagaimana bisa kapal, pelabuhan, dan berbagai peraturan keselamatan di laut, sungai, dan danau diatur oleh regulator darat?
Buruknya pengaturan Kemenhub terhadap moda transportasi laut dan penyeberangan membuat keselamatan manusia terabaikan. Jadi jangan heran kalau kecelakaan dan kekacauan di transportasi di danau, sungai, dan penyeberangan laut terus berlangsung. Masih ingat kecelakaan kapal penyeberangan Lestari Maju di perairan P. Selayar tahun 2018 (34 orang meninggal dunia), kemudian tenggelamnya kapal penyeberangan KM Sinar Bangun di D.Toba tahun 2018 bersama 164 penumpangnya merupakan contoh diabaikannya keselamatan pelayaran.
Sayangnya pemerintah belum sadar diri untuk memperbaiki kekacauan ini. Mana bisa regulator transportasi darat mengatur transportasi sungai, danau, dan laut yang berbasis air!
Kondisi Lapangan
Dari catatan Internasional Maritime Organization (IMO) ada tiga negara yang industri penyeberangannya sangat berbahaya, yaitu Filipina, Indonesia, dan Banglades. Artinya industri penyeberangan kapal antar pulau atau danau atau sungai memang mengabaikan faktor keselamatan.
Kasus penumpang berlebih, pengaturan parkir kendaraan di palka yang sembarangan, tidak lengkapnya perlengkapan keselamatan pelayaran (seperti pemadam kebakaran, sprinkle, pelampung serta sekoci penyelamat dan sebagainya), biasanya menjadi penyebab utama kecelakaan pelayaran sebagai akibat lemahnya pelaksanaan peraturan yang berlaku tanpa ada tindakan tegas dari regulator. Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP), yang merupakan wakil dari Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan sering tidak berfungsi dengan baik dalam mengurus keselamatan pelayaran.
Tumpang tindihnya kebijakan tentunya terkait dengan pemberian ijin merugikan industri pelayaran. Seperti kita ketahui izin operasi angkutan penyeberangan/sungai/danau dikeluarkan oleh Dirjen Perhubungan Darat dengan dasar PM Perhubungan No. 104 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Penyeberangan di Indonesia. Sedangkan ijin operasi angkutan laut berdasarkan pemberian Rencana Pengoperasian Kapal (RPK) yang dikeluarkan oleh Dirjen Perhubungan Laut, berdasarkan PM Perhubungan No. 93 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut.
Kedua peraturan tersebut tidak berbicara secara jelas tentang definisi angkutan laut dan penyeberangan, sehingga dapat memunculkan dua lintasan yang berbeda atau saling berhimpitan karena dikeluarkan oleh dua Direktorat Jenderal (Ditjen Perhubungan Darat maupun Ditjen Perhubungan Laut), untuk kapal yang sejenis. Seharusnya Menteri Perhubungan mengeluarkan pembagian yang jelas supaya rute bisa diatur secara berbeda oleh Dirjen Perhubungan Darat dan Dirjen Perhubungan Laut. Selain itu kapal yang diberi izin juga harus dibedakan type atau jenisnya jangan disamakan karena akan merugikan industri penyeberangan.
Sekali lagi busuknya regulasi dan penegakan hukum di angkutan penyeberangan sungai/selat/danau membuat keselamatan manusia terabaikan. Sedangkan bagi operator kapal penyeberangan kondisi ini membuat bisnis penyeberangan di manapun tidak menjanjikan, yang penting kapal bisa jalan, bisa menggaji pegawai dan mendapat keuntungan sedikit.
Kebijakan yang dibuat oleh Ditjen Perhubungan Darat lebih "ruwet" dibanding dengan yang dikeluarkan oleh Ditjen Perhubungan Laut. Sehingga sangat merugikan industri penyeberangan jika harus bersaing dengan kapal penyeberangan jenis lain, misalnya sea short shipping antar pulau yang diatur oleh Ditjen Perhubungan Laut. Industri penyeberangan perlu kebijakan yang kondusif.
Langkah Pemerintah
Kasus tenggelamnya KM Yanicee di Gilimanuk malam itu memang masih menjadi misteri dan sedang dalam investigasi KNKT. Dari sisi manisfes penumpang dan kendaraan yang diangkut terindikasi tidak melebihi kapasitas, begitu pula perlengkapan keselamatan lengkap dan berfungsi. Lalu perlu diinvestigasi apakah mesin kapal mati sebelum tenggelam atau air laut masuk lalu mesin mati dan kemudian kapal terbalik dan tenggelam. Lalu perlu diperiksa, apakah izin berlayar kapal masih berlaku dan kapal serta awak dalam kondisi layak berlayar karena ombak dan arus di Selat Bali memang cukup tinggi.
Sekali lagi saya sarankan supaya Menteri Perhubungan melakukan penertiban peraturan karena sangat tidak lazim dan hampir tidak ada kapal penyeberangan selat/sungai/danau di negara lain regulatornya Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, apapun alasannya. Saat ini transportasi penyeberangan tidak hanya berlayar melalui selat/danau/sungai, tetapi juga laut lepas, misalnya rute Pelabuhan Patimban ke Pontianak atau Banjarmasin atau beberapa rute penyeberangan lain di NTT-Maluku-Papua
Untuk itu segera revisi PM Perhubungan No. 122 Tahun 2018 supaya regulator untuk kapal penyeberangan adalah Ditjen Perhubungan Laut, bukan Ditjen Perhubungan Darat seperti saat ini. Industri penyeberangan selat/sungai/danau yang sehat pasti akan meningkatkan keselamatan pelayaran di mana pun. Sehingga "arisan nyawa" di sektor pelayaran akan berkurang.
Agus Pambagio pengamat kebijakan publik dan perlindungan konsumen
(mmu/mmu)