Sepasang remaja ditemukan di sebuah kamar pukul dua dinihari. Entah keduanya hendak belajar kelompok atau belajar lainnya. Yang jelas, warga sudah mengendus gelagat si remaja laki-laki ketika berjalan menuju rumah pasangannya tersebut. Kebetulan sekali orangtua remaja tersebut tidak di rumah. Belum sempat pelajaran dimulai, pasangan remaja bukan suami-istri itu diteriaki oleh warga.
Hampir saja keduanya dihakimi massa. Untung Ketua RT setempat segera bertindak. Kepada kedua remaja bukan suami-istri tadi diberikan dua pilihan. Diseret ke kantor polisi pakai motor ka-el-ek atau diserahkan kepada orangtua masing-masing dengan syarat segera dinikahkan. Dua pilihan itu sama-sama tidak menguntungkan, terutama yang kedua, dinikahkan tanpa peduli sesiap apa dua bocah remaja yang baru mendaftar SMA tersebut untuk menikah.
Mereka diberi pilihan yang saya pikir tidak menyelesaikan masalah, tapi justru berpotensi menimbulkan masalah baru lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mari kita bersepakat bahwa menikah bukan perkara yang bisa selesai satu tahun, dua tahun atau beberapa tahun. Menikah adalah long life relationship. Ikatan seumur hidup, satu pasangan hingga maut menjemput --idealnya begitu. Menikah juga bukan karena paksaan keadaan. Nah, bagi mereka yang telanjur berbuat dan dipaksa menikah oleh keadaan, bagaimana kiranya kualitas pernikahan mereka? Apa persiapan yang mereka miliki?
Bukankah karena dipaksa justru akan menimbulkan mudarat baru di kehidupan yang akan datang? Tapi rasanya para orangtua tidaklah berpikir sejauh itu. Bagi orangtua yang putra putrinya bermasalah, menikahkan anak-anak mereka meskipun di bawah umur adalah cara terbaik untuk menghapus dosa sosial serta memulihkan nama baik keluarga. Terlihat bijak dan sangat solutif, padahal jika kita amati lebih saksama, pilihan inilah yang berpotensi melanggengkan rantai nikah dini di Indonesia.
Para orangtua ini tahu, hakim di Pengadilan Agama hatinya baik, karena hampir semua pengajuan dispensasi nikah dikabulkan. Dalihnya, menjaga kehormatan keluarga, menjaga kehormatan para pemohon, dan menjaga kehormatan Majelis Sidang.
Sebelum ke Pengadilan, para orangtua mengajukan pendaftaran nikah untuk anaknya ke KUA. Di KUA, berkas dan syarat diverifikasi. Perkara usia, KUA akan menolak berkas yang calon pengantinnya masih berusia di bawah 19 tahun, itu pasti. Setelah ditolak, KUA akan membuatkan surat penolakan bagi yang hendak maju ke Pengadilan untuk memohon dispensasi nikah.
Ketika pihak yang berkepentingan maju ke Pengadilan untuk sidang, jika hasil penetapan dari majelis mengizinkan dan memberikan dispensasi usia kepada mereka, KUA tidak bisa menolak untuk menikahkan. Akhirnya, pernikahan yang sering kita sebut dengan pernikahan dini pun terjadi.
Lingkaran Setan
Perkara nikah dini banyak sekali yang menentangnya. Mulai dari masyarakat awam, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), komisi-komisi di pemerintahan, bahkan pemerintah itu sendiri berusaha melawan praktik nikah dini dengan salah satunya merevisi aturan batas usia minimal menikah yang tadinya 16 tahun bagi perempuan, sekarang 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan.
Namun faktanya, kita belum sepenuhnya mampu menghapus praktik tersebut. Ada beberapa faktor yang menyebabkan nikah dini terjadi di Indonesia. Faktor ekonomi, lingkungan, dan pendidikan adalah beberapa hal yang tidak dipungkiri membuat angka nikah dini dapat meningkat atau menurun.
Lemahnya kontrol orangtua pun menjadi sebab serius yang perlu diperhatikan. Ketika anak mereka bermain gawai tanpa batas, orangtua yang lepas kendali akan membuat sang buah hati terjerumus. Kenal lawan jenis, bertemu, melakukan hubungan terlarang, banyak orangtua tidak tahu dengan siapa anaknya berhubungan. Orangtua akan kaget ketika datang warga berduyun-duyun di depan rumah.
Nikah dini dapat pula disebabkan keputusasaan orangtua karena tidak dapat menyekolahkan anak hingga tinggi, akhirnya memilih menikahkan saja anaknya (biasanya putri) kepada seseorang agar meringankan beban ekonomi mereka.
Dispensasi nikah sebagai pintu masuk nikah dini sudah cukup lama menjadi perbincangan serius di kalangan akademisi maupun praktisi dan pemerhati anak di Indonesia. Saya juga memahami bahwa dispensasi nikah bagi hakim di PA ibarat buah simalakama. Jika dikabulkan, membuat seolah dispensasi nikah sangat permisif dan mencederai UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan khususnya dalam batas usia minimal menikah.
Tetapi jika ditolak, apalagi yang mengajukan calon pengantin perempuannya sudah berbadan dua, maka perlindungan hukum kepada perempuan tersebut seolah ditinggalkan. Perempuan tersebut tidak jadi menikah, akhirnya memilih menikah siri atau ekstremnya lagi menggugurkan janin yang sedang dikandungnya.
Perkara dispensasi nikah, para hakimlah yang punya wewenang memutuskan, dan seringnya dikabulkan. Celakanya, kita terlena dengan kondisi demikian. Remaja masih sekolah kemudian pacaran, lalu hamil, memohon dispensasi nikah ke PA, akhirnya menikah (tanpa kesiapan yang matang), dan berakhir dengan perceraian. Ini adalah lingkaran setan yang tiada habisnya.
Saya cenderung melihat kasus nikah dini seperti saat kita sedang sakit. Ingat sebuah pesan dokter bahwa "mencegah lebih baik daripada mengobati"? Nah, saya rasa hal demikian juga berlaku untuk kasus nikah dini. Pencegahan yang kita lakukan saat ini sungguh minim sekali. Edukasi di sekolah hampir tidak ada wujudnya. Kalaupun ada, itu hanya sebagai agenda untuk menghabiskan anggaran yang itu pun tidak mesti digelar setahun sekali.
Di sinilah sinergi pemerintah dan masyarakat perlu digalakkan. Buang jauh sikap reaktif-kuratif. Dalam kasus pernikahan dini, pendekatan antisipatif-preventif tentu lebih diutamakan. Ada beberapa hal yang bisa kita tempuh dengan mengandalkan kegiatan lintas sektoral. Masyarakat, pemerintah, dan para LSM perlu bersinergi.
Pertama, kokohkan fondasi keluarga dari dalam. Hubungan harmonis dan sikap terbuka perlu ditanamkan sejak dini. Kedua, melalui program PKK atau perkumpulan RT dengan memberikan edukasi seputar nikah dini. Ketiga, dari pemerintah dalam hal ini KUA melalui para Penyuluh Agama dapat memberikan pembinaan rutin dan pemahaman kepada orangtua yang memiliki putra-putri berusia di bawah 19 tahun.
Kalau elemen masyarakat turut berpartisipasi aktif, semoga angka nikah dini dapat ditekan seminimal mungkin. Karena jika kita hanya merespons setelah kasus nikah dini terjadi, berulang dan terus berulang, maka kita seolah hanya berjalan di tempat. Tetapi dengan memahami akar dari maraknya kasus pernikahan dini, setidaknya kita dapat melakukan pencegahan yang lebih baik.
Jika sudah terlanjur terjadi, saya rasa perlu ada tindakan tegas dari pemerintah terkait pelaku nikah dini. Bisa berupa sanksi perdata, atau tindakan lain yang dapat membuat oran tua dan anak-anak di bawah umur lainnya berpikir ulang untuk menikah di bawah usia yang ditetapkan pemerintah.
Cilacap, 27 Juni 2021
Wildan Kurniawan Petugas Pencatat Perkawinan di Kab. Cilacap