Dunia pedalangan kembali berduka. Setelah Ki Seno Nugroho pada tahun lalu, kini giliran dalang kondang lainnya Ki Manteb Soedharsono yang meninggal dunia (2 Juli 2021, di usia ke-73 tahun). Manteb Soedharsono menjadi puncak bagi keagungan eksistensi dunia wayang kulit di Jawa. Ia juga menjadi bintang iklan, wajahnya begitu mudah dijumpai di layar televisi. Karena iklan itu pula ia dikenal sebagai dalang "oye", kata yang begitu lekat pada produk kesehatan di mana ia menjadi bintangnya.
Beberapa waktu belakangan kondisi Ki Manteb memang kurang sehat. Tetapi, bagi seorang dalang, mendalang adalah sebuah ziarah hidup yang harus terus dilakoni, terlepas dari apapun rintangannya. Dalam kondisi yang demikian, ia masih memaksakan diri untuk berpentas pada 27 Juni 2021 di kediamannya. Pementasan itu disiarkan secara daring. Lakon yang dibawakan berjudul Srikandi Senopati, tentang keperkasaan perempuan, mendekonstruksi dominasi laki-laki yang selama ini terlalu pekat dalam khazanah dunia pewayangan, baik Mahabarata maupun Ramayana.
Beberapa waktu belakangan kondisi Ki Manteb memang kurang sehat. Tetapi, bagi seorang dalang, mendalang adalah sebuah ziarah hidup yang harus terus dilakoni, terlepas dari apapun rintangannya. Dalam kondisi yang demikian, ia masih memaksakan diri untuk berpentas pada 27 Juni 2021 di kediamannya. Pementasan itu disiarkan secara daring. Lakon yang dibawakan berjudul Srikandi Senopati, tentang keperkasaan perempuan, mendekonstruksi dominasi laki-laki yang selama ini terlalu pekat dalam khazanah dunia pewayangan, baik Mahabarata maupun Ramayana.
Dalam dua kitab itu, perempuan seringkali ditempatkan sebagai objek yang terus dieksploitasi, sebagai pemantik atas kuasa maskulinitas kaum adam. Lakon terakhir yang dibawakan oleh Ki Manteb berupaya menunjukkan bahwa perempuan punya tempat yang istimewa dalam jagat wayang. Perempuan tampil sebagai subjek, bukan lagi objek.
Dalang Setan
Jauh sebelum nama makanan bersentuhan dengan dunia gaib, seperti mie pocong, bakso kuntilanak, dan nasi wewe gombel, Manteb Soedharsono justru telah mendapat julukan sebagai "dalang setan". Boediardjo, Menteri Penerangan pada masa awal Orde Baru memberinya julukan tersebut. Julukan itu melekat pada sosok Manteb karena keterampilannya memainkan boneka-boneka wayang, terutama dalam konteks sabet perangnya yang memukau.
Pada zaman itu, kehadiran Manteb Soedharsono menjadi antitesis dari pergelaran wayang Ki Anom Suroto yang lebih mengandalkan keindahan suara merdunya. Ki Anom begitu dipuja oleh penggemar radio. Suaranya mampu menghipnotis pendengar. Tetapi Manteb justru tampil dengan lebih mengandalkan citra visual, gerakan boneka wayang yang akrobatik. Manteb tak begitu digandrungi di radio sebagaimana Ki Anom, tetapi publik serasa wajib datang di mana pun ia berpentas.
Oleh karenanya, dalam setiap kali pementasan, penonton selalu berdesakan menyaksikan kemampuannya mengolah gerakan wayang. Di tangan Ki Manteb, wayang itu serasa hidup, bukan lagi boneka, tapi memiliki nyawa.
Puncak ketenaran Manteb Soedharsono diawali pada 1988 saat dirinya diminta oleh Sudarko Prawiroyudo, anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan, mementaskan pergelaran wayang kulit dengan serial Bima di Jakarta, mulai dari lahirnya Bima (Bima Bungkus) hingga saat-saat menjelang kematian Bima (Bima Muksa). Manteb dalam penuturannya lewat buku Ki Manteb Soedharsono: Pemikiran dan Karya Pedalangannya (2015) menjelaskan bahwa serial wayang tersebut dipentaskan tiap bulan sekali selama satu tahun. Artinya, tiap bulan harus ada lakon baru yang berkaitan dengan kisah-kisah Bima.
Sadar bahwa pementasan itu akan menentukan arah masa depannya di dunia pedalangan, ia meminta waktu tiga bulan untuk merenungkan dan menggarap sanggit yang menurutnya ideal, dan tentu saja "menjual". Ia berkelana ke Alas Purwa di Banyuwangi. Berdiam dan bersemedi. Pada hari kelima dalam semedinya, ia bermimpi bertemu dengan Soekarno (presiden pertama Indonesia) yang memberinya cempala (kayu pemukul kotak wayang).
Manteb terbangun, bergegas pulang dan menyusun sanggit Banjaran (serial) Bima. Pentas bertema Bima selama 12 bulan berturut-turut itu menampilkan lakon Bima Bungkus, Bale Sigala-gala, Gandamana Sayembara, Babad Wanamarta, Sesaji Rajasuya, Dewa Ruci, Bimasuci, Pandhawa Dhadhu, Wirathaparwa, Dursasana Jambak, Duryudana Gugur, dan Pandhawa Muksa. Pementasan tersebut berlangsung sukses, penonton memadati panggung, dan tokoh-tokoh nasional silih berganti melihat pertunjukannya.
Sejak itulah pemberitaan tentang sosok Manteb Soedharsono berlangsung secara gencar dan masif di berbagai media. Ia menjadi langganan tampil di lembaga "plat merah", dan menjadi dalang kesayangan para pejabat Ibu Kota. Manteb Soedharsono bukan sekadar terampil memainkan wayang, namun juga jeli dan kreatif dalam membuat lakon-lakon yang menggoda publik.
Laku
Manteb tidak dibesarkan dalam lingkungan pendidikan seni formal semacam Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) --sekarang ISI-- Surakarta. Namun persentuhannya dengan dunia pendidikan seni tersebut telah berlangsung lama, diawali dari kekagumannya pada sosok Gendhon Humardani yang memberikan ceramah tentang "pakeliran padat" dalam acara bertajuk Sarasehan Pedalangan di Kabupaten Sragen pada 1973.
Gendhon mengeluh, pertunjukan wayang kulit dirasa terlalu lama dan menjemukan bila digelar semalam suntuk. Pandangan Gendhon tentu saja mematik polemik. Bagi dalang-dalang yang patuh pada tradisi, pendapat Gendhon dianggap menyalahi kodrat atau pakem. Oleh karena itu mereka tak menghiraukan. Tapi sebaliknya, bagi Manteb Soedharsono, ungkapan Gendhon itu serasa sebuah tawaran yang wajib ia coba.
Upaya meringkas pertunjukan wayang kulit semalam suntuk hanya menjadi beberapa jam (lazim disebut dengan "pakeliran padat") belum banyak dilakukan kala itu. Laku kreatif dijalani Manteb, berupaya mengemas pertunjukan singkat namun memiliki bobot selayaknya semalam suntuk. Sadar bahwa dirinya adalah manusia yang butuh ilmu, Manteb kerap datang ke ASKI Surakarta untuk berdiskusi, melihat, dan mengamati bagaimana mahasiswa dan dosen di Jurusan Pedalangan berproses. Dari situ ia mengenal lebih dekat sosok-sosok intelektual di balik konsep pemampatan waktu pertunjukan wayang seperti Bambang Suwarno, Blacius Subono, serta Sumanto.
Pergaulan intelektual yang demikian semakin memberinya kesadaran bahwa memadatkan pertunjukan wayang bukan semata menyingkat waktu, tapi juga harus diikuti dengan kematangan konsep, daya tarik lakon, garap musik, dan sanggit yang menggigit. Intinya adalah kebaruan, tidak semata menghibur, namun juga mampu membawa pesan-pesan moral dengan lebih bernas.
Konsep pekeliran padat juga mematik ide lain bagi Manteb Soedharsono. Selama ini, pakeliran padat hanya berisi satu lakon, selayaknya cerpen dalam karya sastra. Disajikan kurang lebih satu hingga dua jam. Lalu, apa yang terjadi bila pertunjukan semalam suntuk dikemas selayaknya pakeliran padat? Artinya, pertunjukan semalam suntuk itu menjadi bunga rampai lakon selayaknya kumpulan cerpen dalam bendel satu buku. Manteb mencoba hal ini.
Penonton tidak harus melihat dan menunggu pertunjukan usai hingga semalam suntuk untuk mendapatkan kesimpulan cerita. Penonton dapat menyudahi di tengah pertunjukan manakala satu babak lakon telah usai dibawakan, dan apabila masih penasaran dapat melanjutkan lakon atau babak berikutnya hingga akhir. Sebagaimana ia menggabungkan lakon Dewa Ruci dan Bimasuci dalam satu sajian.
Manteb Soedharsono (di samping Anom Suroto) adalah generasi dalang yang meraih popularitas tertinggi setelah era Ki Narto Sabdo berakhir. Manteb telah melakukan terobosan penting dalam upaya menjaga denyut hidup wayang kulit tetap berdetak. Ia tidak saja mewariskan tentang pertunjukan sabet dan sanggit yang memukau, namun juga kreativitas berupa temuan-temuan monumental dalam semangat menolak kemonotonan dan kebekuan pertunjukan wayang.
Kini Ki Manteb Soedharsono telah tiada. Ia pun menjadi legenda. Kita sulit memprediksi nasib hidup wayang kulit ke depan, di kala pesimisme seringkali menyeruak, dan pertunjukan-pertunjukan generasi (dalang) wayang terbaru semakin picisan. Manteb menjadi monumen yang mengekalkan ingatan kita tentang kreativitas yang tak pernah padam. Bahwa ia masih nekat mendalang di detik-detik menjelang kematiannya, adalah sebuah laku indah bagi jalan menuju keabadian, mendekat pada Sang Dalang Sejati. Selamat jalan, Ki Manteb Soedharsono!
Aris Setiawan pengajar di ISI Surakarta
(mmu/mmu)