"Anggota saya banyak yang tepar, Mas." Begitu isi salah satu pesan Whatsapp yang saya terima dari seorang Wakapolres. Lega hati mengetahui seorang pimpinan menaruh kepedulian pada personelnya serta tidak menutup-nutupi kelemahan manusiawi yang faktanya juga bisa menimpa petugas polisi. Sekaligus mengagetkan, karena sejauh ini belum ada satu pun data tentang jumlah personel Polri yang sakit atau bahkan mungkin wafat dalam tugas akibat diterjang Covid-19. Kontras dengan angka demi angka para dokter dan perawat yang secara kontinu tersaji di media.
Berat nian bekerja sebagai polisi. Sekarang pun turut dikerahkan untuk menyukseskan program vaksinasi nasional. Daya penetrasi yang tinggi sekaligus mentalitas 'harus siap' memang memberikan kemampuan ekstra bagi polisi untuk mempercepat penyelenggaraan program vaksinasi. Tapi itu tadi; secara umum khalayak lupa bahwa personel polisi juga hanya punya satu nyawa.
Berapa risiko polisi terpapar virus Corona, masih perlu dikaji. Tapi memahami beratnya tanggung jawab perpolisian pandemi yang harus mereka pikul, sangat mungkin risikonya sangat tinggi. Dengan asumsi sedemikian rupa, maka kian nyata tekanan tugas bisa memunculkan kesakitan yang sama sekali tak bisa dipandang sebelah mata. Berikut ini adalah sejumlah gambaran tentang perbandingan risiko yang dihadapi polisi dan masyarakat dalam berbagai masalah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Polisi yang dalam sehari semalam tidur kurang dari enam jam juga empat kali lebih banyak daripada warga biasa. Masalah obesitas, walau selisihnya tidak terlalu besar, dialami polisi lebih banyak daripada masyarakat. Begitu pula terkait gangguan metabolisme dan kadar kolesterol, polisi --selaku pelayan masyarakat-- mengungguli pihak yang dilayani.
Tidak sebatas problem fisik. Pengidap depresi, misalnya, secara persentase polisi dua kali lipat lebih tinggi daripada masyarakat. Dibandingkan profesi-profesi lain, polisi memiliki risiko lebih tinggi untuk melakukan bunuh diri. Bahkan, terdapat data bahwa bunuh diri di kalangan polisi ternyata tiga kali lebih menonjol ketimbang polisi yang cedera saat melaksanakan tugas.
Survei yang dilakukan di sekian banyak wilayah di negeri Paman Sam pada tahun ini menunjukkan bahwa personel polisi yang meninggal akibat Covid-19 telah melewati angka seratus orang. Itu berarti, jumlah polisi yang tak terselamatkan akibat virus Corona adalah lebih banyak daripada petugas yang tewas akibat penembakan, kecelakaan lalu lintas, serangan jantung, dan sebab-sebab lainnya.
Total jenderal, hitung-hitungan di atas kertas, usia harapan hidup polisi lebih pendek secara signifikan daripada usia harapan hidup warga sipil.
Pada sisi lain, sulit dipungkiri, risiko negatif yang dialami petugas polisi sebagian di antaranya juga datang dari pola hidup buruk mereka sendiri. Misalnya, untuk urusan merokok, perbandingannya adalah 25,5 persen berbanding 5,3 persen. Itu artinya, ketika antarkelompok dibandingkan, jumlah polisi yang merokok lima kali lebih banyak ketimbang warga sipil.
Dikonversi ke dalam mata uang, biaya hilangnya produktivitas kerja yang harus ditanggung akibat rokok mencapai 5,521 juta hingga 57,316 juta dolar per tahunnya.
Ada satu lagi masalah yang secara sengaja dibikin oleh personel polisi sendiri. Dan ini sensitif sekali. Saat disigi, 67,4 persen polisi mengaku pernah melakukan hubungan seksual bersama orang yang bukan pasangannya dan hanya 24,4 persen yang menggunakan alat kontrasepsi. "Untungnya", disfungsi seksual hanya diderita 5,7 persen personel, disfungsi ereksi (8,3 persen), dan ejakulasi prematur (30,1 persen).
Betapa pun sekian banyak kondisi yang tergambar di atas terkesan negatif, pada sisi lain personel polisi memberikan 3,2 bintang dari total 5 bintang. Dengan kata lain, personel tetap merasa puas dengan pekerjaan yang mereka geluti. Bintang sebanyak itu didasarkan pada lima unsur. Pertama, besaran gaji. Kedua, pekerjaan sebagai sesuatu yang bermakna atau bermanfaat dalam hidup. Ketiga, kesesuaian antara kepribadian dan kegiatan sehari-hari. Keempat, pengaruh lingkungan kerja. Dan kelima, seberapa jauh personel semaksimal mungkin memanfaatkan kemampuan mereka.
Lalu?
Di atas telah dijabarkan sebagian sisi lahir dan batin para personel polisi. Besarnya tantangan yang harus dialami polisi pada waktu-waktu lampau sepertinya kian berat saja seiring dengan berlangsungnya musim pagebluk yang entah kapan usainya.
Bagaimana pun situasi pelik dari wabah yang tidak terduga itu, institusi kepolisian tetap harus selekas mungkin menyesuaikan diri mereka dengan mempraktikkan perpolisian pandemi (pandemic policing). Sejatinya tidak mudah. Apalagi karena perbendaharaan riset tentang pengaruh Covid-19 terhadap kerja polisi terbilang masih sangat minim. Tanpa mengesampingkan itu semua, polisi perlu memerhatikan empat dimensi penting.
Pertama, terkait kesehatan fisik dan mental personel. Institusi kepolisian perlu memiliki keinsafan bahwa para personel juga bisa terdampak sebagai korban Covid-19. Status korban tidak melulu dimiliki oleh petugas yang terkena virus, melainkan juga personel yang mengalami keletihan maupun keguncangan mental. Untuk mengantisipasinya, lembaga perlu membangun safeguard untuk menangkal personel agar tidak melarikan diri ke penyalahgunaan narkoba, miras, dan zat adiktif lainnya semisal rokok.
Kedua, relasi personel dengan sejawat mereka di dalam organisasi kepolisian. Manakala personel yang bertugas di lapangan berkurang akibat terdampak Covid-19, ini dapat memengaruhi kinerja para personel yang masih bekerja seperti biasa. Anggaplah lembaga telah menyediakan perlengkapan keamanan ekstra serta menyelenggarakan pelatihan tambahan, namun --studi menemukan-- kesiapan personel lebih ditentukan oleh seberapa jauh mereka yakin bahwa keluarga mereka terlindungi keamanan dan kesejahteraannya. Jadi, seiring dengan pemberian tugas tambahan kepada personel, institusi kepolisian perlu pula menyediakan jaminan ekstra bagi keluarga personel.
Ketiga, hubungan antara polisi dengan institusi-institusi lain. Koordinasi dan komunikasi merupakan dua elemen kunci yang perlu ditata sebaik-baiknya.
Keempat, relasi antara polisi dan masyarakat. Penting bagi polisi untuk menjaga keseimbangan antara menegakkan aturan selama pandemi dan merawat kepercayaan masyarakat. Satu garis bawah: ketika polisi mengkriminalisasi anggota masyarakat, tindakan tersebut melukai kepatuhan masyarakat dan berpeluang menaikkan resistensi terhadap polisi.
Selamat Hari Bhayangkara. Mengedepankan masyarakat tak kenal kata jeda.
Reza Indragiri Amriel alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne