BEM UI, Gerakan Mahasiswa Kini dan Demokrasi RI

Herzaky Mahendra Putra - detikNews
Jumat, 02 Jul 2021 12:06 WIB
Foto: Herzaky Mahendra Putra (Dok: Istimewa)
Jakarta -

Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) mengguncang jagad politik nasional. Kritik tajamnya kepada Presiden Joko Widodo menyita perhatian publik. BEM UI dengan beraninya menyematkan gelar The King of Lip Service kepada Presiden Joko Widodo. Apa yang disampaikan dan dijanjikan Joko Widodo, berbeda dengan apa yang terjadi atau apa yang dilaksanakan di lapangan, demikian alasan BEM UI menyebut Presiden Joko Widodo sebagai The King of Lip Service.

Publik pun kemudian terbelah. Ada yang mengapresiasi keberanian BEM UI. Berani menyuarakan pendapatnya, tanpa takut direpresi oleh penguasa. Apalagi deretan pengkritik tajam pemerintah, tak ada yang bernasib baik. Dari serangan buzzer di media sosial, upaya meretas akun media sosial pribadi para pengkritik, bahkan doxing, dan intimidasi langsung, Keberanian BEM UI seakan oase di tengah gersang dan garingnya kritik mahasiswa akhir-akhir ini. Apalagi di tengah pandemi covid-19, yang memunculkan berbagai pembatasan dan keterbatasan dalam banyak hal. Ada pula yang mengkritik balik para pengurus BEM UI. Dari menuduh masuk UI dengan menyogok, tidak tahu tata krama, sampai menggelarnya binaan kadrun. Dari serangan buzzer secara terorganisir dan sistematis ke akun media sosial BEM UI maupun akun media sosial pribadi para pengurus BEM UI, sampai ke pemanggilan oleh pihak otoritas kampus di hari Minggu yang notabene hari libur. Bahkan, ada pula yang menuduh BEM UI menghina simbol negara.

Lalu, bagaimana seharusnya kita memaknai kritik tajam yang dilancarkan BEM UI ini? Apa dampaknya terhadap gerakan mahasiswa zaman sekarang? Lalu, adakah sumbangan yang akan diberikannya untuk demokrasi Indonesia? Mari kita ulas satu persatu.

Platform Baru

Kritik BEM UI yang menganugerahkan gelar The King of Lip Service kepada Presiden Joko Widodo dalam waktu singkat berhasil menyedot perhatian publik, dengan cara yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Tidak ada aksi massa yang digelar berhari-hari, tidak ada aksi massa dengan peserta ratusan atau ribuan, tidak ada aksi massa yang digelar di berbagai tempat atau kota, dan tidak ada aksi massa yang diikuti elemen lintas kampus ataupun lintas unsur masyarakat.

Cukup satu postingan Instagram. Iya, satu. Iya, di media sosial. Iya, melalui meme, sebagai upaya mengungkapkan ekspresinya, manifestasi atau gambaran dari apa yang sedang terjadi (Davison, 2012).

Postingan di akun Instagram BEM UI pada hari Jumat, 25 Juni 2021, dalam satu hari menjadi viral. Berbagai tangkapan layar maupun tautan postingan BEM UI yang menyebut Jokowi sebagai The King of Lip Service, menyebar ke berbagai grup percakapan. Lalu, diposting di berbagai media sosial. Media-media massa online pun memberitakannya. Pro dan kontra kemudian merebak di publik, dimulai dari netizen. Media televisi pun kemudian berlomba meliputnya. Berhari-hari BEM UI menjadi trending topic di twitter, termasuk dengan keyword turunannya seperti Rektor UI.

Banyak pihak kemudian ikut merespon isu ini. Dari rektorat UI hingga jubir Presiden. Dari anggota Dewan hingga tokoh politik. Dari akademisi hingga koalisi masyarakat sipil. Bahkan dari kalangan masyarakat umum, yang tak bersentuhan dengan urusan politik.

Dukungan dari sesama mahasiswa, kemudian bermunculan. Dari tetangga dekat UI, Bogor, lalu Bandung, Jawa Tengah, Yogya, Malang, sampai kemudian dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan berbagai daerah lainnya di Indonesia. Dari sesama badan eksekutif mahasiswa, hingga aliansi mahasiswa lintas kampus, dan berbagai bentuk organisasi mahasiswa lainnya. Solidaritas sesama mahasiswa, sesama organisasi mahasiswa, terbentuk dengan cepat.

Satu hal menarik lainnya adalah bentuk dukungan yang ditunjukkan oleh sesama mahasiswa dan organisasi kemahasiswa seluruh Indonesia. Bukan dengan demonstrasi, bukan dengan aksi massa seperti halnya platform gerakan mahasiswa yang sering menyedot perhatian di tiap era, dari Orde Lama ke Orde Reformasi. Melainkan dengan postingan di Instagram pula. Memberikan like, memberikan komentar dengan tone positif dan dukungan di postingan instagram BEM UI. Lalu, mereka pun memposting artikel senada dengan apa yang disampaikan oleh BEM UI. Tak lupa, akun twitter pribadi Ketua BEM UI, Leon, mendapatkan respon sangat luas sejak itu.

Berbagai liputan media massa nasional maupun lokal pun memuat pendapat dukungan untuk BEM UI, hasil rilis pernyataan dari berbagai organisasi kemahasiswaan. Acara berita, talkshow di televisi, dipenuhi oleh wajah mahasiswa dari berbagai kampus. Bukan lagi perwakilan BEM UI semata. Begitu pula dengan channel-channel Youtube. Berbagai program dialog dipenuhi oleh pembahasan mengenai perdebatan seputar penobatan Presiden Joko Widodo sebagai The King of Lip Service oleh BEM UI.

Memang, seperti apa yang disampaikan Jordan (1999), media sosial sejak lama telah meningkat menjadi medium aspirasi warga secara online, bukan lagi hanya dimanfaatkan untuk menceritakan diri (self disclosure). Tetapi, belum pernah ada respon seluas dan semasif seperti yang terjadi pada meme BEM UI ini yang menobatkan Presiden Joko Widodo selaku The King of Lip Service. Hanya dalam beberapa hari, yang menyukai postingan BEM UI ini mendekati angka 400 ribu. Sedangkan yang memberikan komentar sudah di atas 30 ribu pengguna. Pengikutnya pun beranjak naik melebihi 150 ribu. BEM UI sukses memindahkan medan pergerakan mahasiswa, dari aksi lapangan ke platform baru, media sosial.

Budaya Baru

Penggunaan platform media sosial yang digunakan BEM UI sebagai terobosan dalam menyampaikan kritik dan aspirasi, memang memberikan kelebihan lain. Para penggunanya memang lebih senang melihat postingan berupa foto atau video yang artistik. Dikemas sehingga nyaman dipandang mata. Tampilan grafis pun bisa menjadi daya tarik untuk membetot perhatian para penggunanya.

BEM UI tahu, di sinilah salah satu tempat utama bagi generasinya, generasi Z (lahir tahun 1995-2010), sebagian masuk dalam kategori milenial, berkumpul. Menyimak. Mendengarkan. Menyampaikan aspirasi. Berdiskusi. Tarikan pertama memang tampilan grafis yang menarik. Daya tarik kedua, adalah pilihan kata. Tempat terbatas, kadang hanya dilihat sekilas, perlu ada pilihan kata yang kuat, untuk memberikan stopping effect bagi para pengguna yang sedang melihat-lihat berbagai postingan.

BEM UI juga tahu, bagi generasinya yang mengkonsumsi platform media sosial ini, tidak bakal banyak yang merespon jika kontennya sekedar menarik di tampilan, dengan pilihan kata tajam, tapi isinya tidak berbobot. Kalau demikian, postingannya hanya ramai di awal, tapi kemudian hilang dalam waktu singkat. Karena itulah, mesti didukung dengan data dan fakta, yang tentunya memerlukan kajian tidak sebentar.

Kalau demonstrasi atau aksi massa di jalanan, ruang yang tersedia untuk menjelaskan inti dari aspirasi atau harapan yang diperjuangkan sangatlah terbatas. Poster, spanduk, yang dipegang para pelaku demonstrasi, seringkali hanya bisa memunculkan kata-kata kunci saja. Orasi pun tidak mungkin digunakan untuk menjelaskan secara detail dan latar belakang isu yang diangkat. Selebaran berisi penjelasan ataupun kajian, saat di lapangan, hampir jarang disimak oleh publik.

Berbeda dengan platform media sosial yang mereka pilih. Ada ruang yang cukup luas bagi mereka untuk menjelaskan. Cukup menggeser foto atau meme yang mereka buat, lalu kemudian beralih ke meme selanjutnya, masih di postingan yang sama. Begitulah yang mereka lakukan, dengan postingan The King of Lip Service. Ada delapan slide dalam satu postingan.

Postingannya pun bisa berumur lama. Yang terlambat menyimak, masih bisa ke postingan itu. Membaca satu demi satu slide penjelasannya. Dengan demikian, pemahaman akan konten bisa semakin mendalam. Pembacanya bisa semakin luas.

Budaya politik baru pun kembali diinisiasi BEM UI. Mengkritik yang didasari dengan hasil kajian, dan mengemasnya dengan tampilan grafis menarik serta pilihan kata yang tajam. Ini mengamini apa yang disampaikan Rycroft (2007), ruang virtual di internet mendorong munculnya budaya politik baru.

Asa Baru

Keberanian BEM UI melancarkan kritik kepada Presiden Joko Widodo pun memunculkan asa baru di tengah masyarakat. Selama ini ada ketakutan yang meningkat di publik untuk menyuarakan pendapat secara terbuka, apalagi berseberangan dengan pemerintah. Survei Indikator Politik yang dirilis Oktober 2020 menunjukkan 79,6 persen responden mengamini kalau saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat. Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2020 pun terendah selama 14 tahun menurut The Economist Intelligence Unit, dan salah satunya dipicu oleh menurunnya kebebasan sipil.

Pandemi covid-19 dengan segala pembatasannya pun membuat publik serasa semakin terkekang. Berkumpul untuk menyuarakan aspirasi, kini bisa dikenakan tuduhan membuat kerumunan, yang berujung penjara, ataupun minimal denda dalam jumlah besar. Beberapa rekan mahasiswa BEM UI yang melakukan aksi unjuk rasa beberapa waktu lalu pun merasakan dampaknya. Dengan mudahnya direpresi dan mereka ditahan dalam sel sampai dengan saat ini. Seakan tak ada jalan untuk menyampaikan pendapat ataupun aspirasi mereka. Semua pintu seakan tertutup tembok.

Terobosan yang dilakukan oleh BEM UI pun membuat asa yang sempat redup itu menyala kembali. Ternyata masih ada ruang untuk menyampaikan aspirasi kita. Masih ada jalan untuk memperjuangkan apa yang menjadi harapan rakyat. Seperti yang disampaikan Dr. Rulli Nasrullah (2015), media sosial memberikan ruang dan panggung bagi pengguna sebagai warga negara untuk turut menyampaikan apa yang menjadi perhatian mereka yang selama ini tidak terdengar, dan BEM UI berhasil mengoptimalkannya.

Apa yang dilakukan oleh BEM UI pun kemudian menjadi inspirasi bagi mahasiswa-mahasiswa dari berbagai pelosok tanah air. Ada pola baru yang bisa digunakan dalam pergerakan mahasiswa zaman kekinian. Bukan lagi menggelar aksi massa di lapangan, melainkan memanfaatkan media sosial dengan optimal. Keterbatasan dan pembatasan yang terjadi karena pandemi covid-19, bukan menjadi alasan. Aksi sederhana BEM UI, memberikan sumbangan berarti dan napas tambahan, untuk demokrasi Indonesia.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Bung Karno, beri aku sepuluh anak muda, dan akan kutaklukkan dunia. Atau apa yang disampaikan Agus Harimurti Yudhoyono, muda adalah kekuatan.

Mari kita ucapkan, selamat datang era baru bagi gerakan mahasiswa.

Herzaky Mahendra Putra, Kepala Bakomstra/Koordinator Jubir Partai Demokrat, Alumni UI Angkatan 97




(mae/mae)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork