Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi perjalanan sejarah ekonomi kita. Tidak hanya menyangkut urusan keuangan negara saja, tetapi juga keuangan sebagian besar rumah tangga keluarga rakyat Indonesia. Banyak kepala keluarga yang kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian akibat krisis Covid-19. Sementara sebagian yang lain harus berusaha tetap bertahan di tengah penurunan penghasilan yang drastis.
Selain itu, ternyata banyak pekerja rentan yang tidak memungkinkan untuk menerapkan konsep bekerja dari rumah (work from home). Para driver ojek, kurir, penjaja kaki lima, dan semacamnya harus tetap ke luar rumah. Mereka hanya punya pilihan antara bertaruh sakit tertular virus Covid-19 atau kelaparan esok harinya.
Di antara rumitnya urusan menjaga dapur tetap mengebul tersebut, bagi keluarga yang memiliki anak usia sekolah, harus ditambah dengan memikirkan biaya pulsa. Konsep "belajar dari rumah" yang diterapkan guna menghindari penularan Covid-19 merupakan kemewahan bagi keluarga yang tidak memiliki handphone, laptop, pulsa, atau jaringan internet yang memadai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, di saat sebagian besar orang berjuang di tengah krisis ini, ada sebagian orang lagi yang tetap bisa hidup nyaman dan aman. Kondisi keuangan mereka tidak terlalu terguncang karena memiliki simpanan aset yang lebih dari cukup. Aset-aset ini bahkan tidak hanya pasif, namun juga aktif memberikan penghasilan walau mereka sedang tertidur sekalipun. Mereka adalah individu dengan aset likuid yang tinggi (high net worth individual) atau singkatnya para orang kaya.
Bagi mereka, bekerja dari rumah pun bukan halangan karena semua fasilitas telah terlengkapi dengan memadai. Bahkan mereka jadi punya lebih banyak waktu untuk menikmati hari-hari sembari sarapan nasi dari beras premium dan lauk daging sapi wagyu dengan grade A5.
Untuk sekolah atau belajar online pun, para orangtua kaya ini tidak perlu khawatir akan jaringan internet yang ngadat. Bahkan mereka juga mampu menghadirkan pendidikan ke rumah. Mereka bisa memanggilkan tutor atau guru privat yang tentu saja telah dibayar tinggi yang selain untuk memberikan pengajaran yang berkualitas, juga untuk membiayai swab-test agar nyaman dan aman belajarnya.
Tentu lebarnya ketimpangan ini adalah realita pahit yang terjadi saat krisis pandemi ini. Negara sewajarnya memang hadir dalam rangka membantu para keluarga yang rentan dengan memberikan berbagai bantuan dan insetif. Kaum miskin diberikan bantuan sosial; para pekerja dan pelaku UMKM ditanggung pemerintah pajaknya; pelajar dan mahasiswa diberikan bantuan pulsa; dan berbagai kebijakan pendukung lainnya.
Hanya saja, untuk menopang ekonomi akibat krisis ini, negara harus membayar mahal. Walau pemerintah sangat berhati-hati dalam pengelolaan keuangan negara, namun pelebaran defisit anggaran dan penumpukan utang tidak dapat dihindarkan.
Hal ini seharusnya dapat diatasi dengan semangat gotong-royong. Para orang kaya tersebut semestinya bisa berkontribusi lebih dalam rangka membantu negara untuk melindungi mereka yang rentan. Maka dari itu, pemerintah punya kewajiban untuk mengurangi ketimpangan dan menciptakan keadilan ini. Instrumen yang memungkinkan untuk mewujudkan tersebut tentu saja dengan pajak.
Bukan Perkara Sederhana
Hanya saja memajaki para orang kaya ini bukan perkara yang sederhana. Salah satu rencana yang pernah digulirkan yakni menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) menjadi 35% bagi Orang Pribadi yang memiliki penghasilan di atas lima miliar rupiah setahun. Hal tentu ini perlu pengkajian lebih lanjut terkait keefektivannya. Karena sejatinya memajaki para orang kaya ini tidak hanya penghasilan pribadinya saja, melainkan juga meliputi berbagai aset dan perusahaan yang dimilikinya.
Maka dari itu, penting juga untuk meningkatkan pajak dari perusahaan-perusahaan para orang kaya tersebut. Namun, kondisi saat ini tarif PPh Badan atau korporasi di dunia saat ini mengalami penurunan. Berbagai negara berlomba-lomba menurunkan tarif PPh Badan demi menarik investasi dan penerimaan pajak ke negaranya (race to the bottom). Sehingga tidak bijak jika justru Indonesia malah menaikkan tarif PPh Badan.
Bisa jadi nantinya perusahaan-perusahaan tersebut akan beralih ke negara yang menerapkan pajak lebih rendah. Maka dari itu, negara harus memikirkan alternatif kebijakan pemajakan bagi orang-orang kaya. Jika tidak dapat memajaki dari sisi penghasilan, tentunya sisi konsumsi bisa menjadi pilihan.
Instrumen pemajakan konsumsi di Indonesia, khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) belum sepenuhnya dapat mengakomodasi terciptanya keadilan. Orang kaya dan miskin tetap membayar tarif pajak yang sama (umumnya 10%) dalam mengkonsumsi.
Selain itu, untuk beberapa barang atau jasa yang dikecualikan, misalnya beras, jagung, daging, jasa pendidikan, dan sebagainya, para orang-orang kaya ini juga turut serta menikmati pengecualian. Padahal jenis dan harga yang dikonsumsi sangat jauh berbeda.
Oleh karena itu, pemerintah kini berupaya memperbaiki konstruksi hukum PPN. Pengenaan PPN tidak lagi menggunakan tarif tunggal melainkan multitarif. Untuk barang-barang yang dikonsumsi orang-orang kaya, dapat dikenakan tarif maksimal. Begitu pun sebaliknya, barang-barang kebutuhan rakyat banyak dikenakan tarif rendah bahkan 0%.
Barang-barang yang semula dikecualikan dari PPN, kini dihapus seluruhnya agar dapat diklasifikasi ulang pengenaan tarifnya. Daging steak wagyu tentu tidak bisa disamakan dengan daging sate yang dijual di pasar tradisional. Dengan klasifikasi yang spesifik, tentunya keadilan antara konsumsi si kaya dan si miskin dapat terwujud.
Penyeimbang Ketimpangan
Selain PPN, pengenaan Pajak Karbon juga dapat menjadi alternatif pemajakan konsumsi bagi kaum berpunya. Pajak Karbon merupakan biaya tambahan bagi konsumsi bahan bakar fosil yang menghasilkan kerusakan lingkungan. Sehingga selain menambah penerimaan pajak negara, kenaikan biaya tersebut bertujuan untuk menekan produksi atau konsumsi barang yang menghasilkan emisi karbon.
Seirama dengan kampanye perang terhadap perubahan iklim, pajak karbon berfungsi pula sebagai penyeimbang ketimpangan. Karena emisi karbon biasanya dihasilkan oleh kaum berada sementara yang terkena dampaknya adalah kaum rentan. Perusahaan-perusahaan besar mengkonsumsi energi dan menghasilkan limbah karbon atau polusi udara yang dihasilkan dari penggunaan kendaraan pribadi haruslah dapat dikenakan pajak.
Selain menekan penggunaan bahan bakar karbon, hasil dari pemungutan pajak tersebut dapat digunakan negara untuk membiayai penyediaan transportasi publik, bantuan sosial, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya bagi masyarakat umum.
Pandemi Covid-19 mengajarkan kita bagaimana penanganan krisis harus melibatkan semua elemen masyarakat secara gotong-royong. Terutama bagi yang mampu agar membantu kaum yang rentan dan lemah. Prinsip gotong-royong tersebut dapat diewajantahkan salah satunya dengan menggunakan instrumen pajak. Oleh karena itu penting meregulasi sistem pajak yang berkeadilan guna mengurangi ketimpangan tersebut.
Elam Sanurihim Ayatuna pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan; tulisan ini pendapat pribadi