CEO Tesla, Elon Musk dalam The World Artificial Intelligence Conference (29/08/19) mengatakan bahwa hari ini kita semua sudah menjadi cyborg. Akan sulit untuk benar-benar menghargai perbedaan. Seberapa pintar kita dibandingkan dengan smartphone atau komputer daripada tanpa alat tersebut?
Jika kata Elon Musk, sebenarnya kita menjadi jauh lebih pintar. Kita dapat menjawab pertanyaan apa pun. Jika kita terhubung ke internet, kita dapat menjawab pertanyaan apa pun secara instan. Juga perhitungan apapun.
"Memori ponsel Anda pada dasarnya sempurna. Anda dapat mengingat dengan sempurna. Ponsel Anda dapat mengingat gambar video. Semuanya sempurna. Ponsel Anda sudah menjadi perpanjangan dari Anda," kata Elon Musk dalam konferensi tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebanyakan dari kita tidak menyadari bahwa kita sudah menjadi cyborg. Rasa panik yang dirasakan saat perangkat kita akan mati, cara kita berbicara tentang baterai yang kehabisan daya, dan hilangnya rasa kepercayaan diri yang kita rasakan saat berpisah dari smartphone mengungkapkan sifat cyborg kita.
Banyak dari kita yang beralih ke internet ketika kita memiliki pertanyaan tentang apa pun yang ada di dunia. Internet menjadi otak kedua kita. Tren ini bukanlah hal baru. Smartphone menjadi literasi terbaru dari tradisi memadukan teknologi dengan biologi kita.
Mungkin kita tidak akan menerima jika dilabeli sebagai cyborg. Kita sebagai manusia sudah terbiasa merasa paling berkuasa di dunia. Mulai dari menjadi makhluk paling dominan di bumi, memiliki kecerdasan dan pengetahuan untuk mengintip rahasia semesta, bahkan bagaimana kita para manusia berusaha menjadi perpanjangan tangan Tuhan dalam menciptakan temuan-temuan.
Tapi, apa yang kita lakukan tidak bisa menghindari pernyataan tersebut. Belum mewujud cyborg sebagaimana yang dicita-citakan (mencangkokkan mesin ke dalam tubuh), tetapi lebih pada kebiasaan dan ketergantungan kita terhadap teknologi terbarukan. Teknologi dan media baru justru melegitimasi kelemahan kita sebagai makhluk yang katanya paling sempurna.
Kita berpikir bahwa mengoperasikan tubuh virtual dari balik layar dan melakukan aktivitas sebagaimana yang dilakukan tubuh biologis adalah sebuah kemajuan dan babak baru peradaban yang seperti di surga. Semua serba ada dan bisa. Berbelanja online, sekolah lewat aplikasi, bekerja dari rumah, apapun bisa kita lakukan hanya dengan kekuatan ujung jari. Seperti imajinasi bim salabim, dengan satu klik, dunia ada di dalam genggaman.
Di dalam budaya digital, tubuh-tubuh biologis semakin kehilangan maknanya. Berganti dengan permainan simbol-simbol yang mengidentitaskan tubuh sebagai "teks-virtual". Berisi akun-akun serta kode-kode yang merepresentasikan diri biologis. Di dunia digital, kita bebas membentuk dan mengubah diri kita. Setiap orang bebas mengimajinasikan dirinya, ingin terlihat seperti apa dan menjadi apa.
Ruang eksistensi kita bukan lagi ketika tubuh biologis berada di ruang sosial dan berdialektika dengan tubuh biologis lainnya. Eksistensi saat ini sudah berganti dari semboyan milik Rene Descartes "Aku berpikir maka aku ada" menjadi "Aku update maka aku ada". Yang tanpa disadari, romantisme kita dengan teknologi juga semakin membiaskan kita dengan diskursus pengetahuan.
Semakin ke sini, orang semakin enggan untuk mencari tahu lebih dalam tentang suatu teks atau informasi. Merasa semua bisa ditanyakan kepada dewa Google dan menggantungkan diri terhadap informasi yang ada di dalamnya. Pada akhirnya, dialektika pengetahuan menjadi tumpul dan kita menjadi begitu malas mencari tahu serta mudah percaya dengan apa yang ditampilkan di dalam ruang digital.
Gagasan bahwa kita adalah cyborg sebenarnya sudah ada dan mendahului kemunculan internet serta smartphone. Misalnya, esai yang ditulis oleh Donna Haraway pada 1985 yang berjudul A Cyborg Manifesto mengacu pada gagasan manusia sebagai cyborg dan keruntuhan batas-batas antara manusia dan hewan pada abad ke-20, organisme dan mesin, serta fisik dan non-fisik.
Bagi Haraway, tenggelamnya kita dari eksistensi teknologi bukan hanya disebabkan oleh kelemahan kita di hadapan Artificial Intelligence (AI), tetapi juga karena kita tidak mampu mengintegrasikan teknologi tersebut dengan kemampuan alamiah kita (menalar dan mencari tahu kebenaran). Cahaya kemajuan begitu menyilaukan dan membuat kita lupa bahwa kita mempunyai diri yang juga butuh eksistensi, sebagaimana manusia yang berpikir dan bermoral serta memiliki kesadaran dalam berpengetahuan dan berproses dalam menentukan "siapa diri kita".
Dalam himpitan laju teknologi dan kecepatan informasi, apakah kita benar-benar sudah mampu mewujudkan mimpi utopis tentang hidup yang "sempurna"? Atau justru sebaliknya, kemudahan-kemudahan itu menjadi mimpi yang memperlena kita dari realitas hidup dan kesadaran terhadap esensi kita sebagai manusia?
Ainun Nafisah kru LPM IDEA Semarang, mahasiswa Filsafat UIN Walisongo