Beberapa tahun lalu, setelah berganti nomor ponsel, saya mendapatkan warisan. Tetapi bukan warisan harta. Melainkan warisan tagihan utang dari pemilik nomor ponsel terdahulu. Ya, ternyata nomor yang saya gunakan itu adalah nomor daur ulang. Dan agaknya pemilik nomor terdahulu sempat berutang kepada orang yang menghubungi saya di nomor baru tersebut.
Saya sudah berusaha menjelaskan kepada orang yang rajin mengirim teror tagihan melalui pesan singkat dan telepon itu bahwa saya bukanlah orang yang dia maksud. Tetapi yang bersangkutan menolak percaya. Dia terus gigih meneror saya. Belakangan, setelah nomornya saya blokir, ada nomor-nomor lain yang melakukan hal yang sama. Karena merasa terganggu dan tidak menemukan alternatif solusi, akhirnya nomor baru itu saya matikan.
Itu bukanlah pengalaman meresahkan terakhir saya dengan daur ulang nomor ponsel. Baru-baru ini saya kembali mengalami kejadian yang berhubungan dengan daur ulang nomor ponsel. Bedanya, kali ini sayalah pemilik lama nomor ponselnya.
Berangkat dari ketidaktahuan saya akan masa jeda daur ulang suatu nomor dan kekhawatiran saya untuk pergi ke tempat publik di masa pandemi, saya selalu menunda untuk mengurus akuisisi kembali nomor itu. Saya mulai menyadari bahwa nomor lama saya telah didaur ulang saat ada rekan kerja yang protes karena saya tidak merespons dokumen pekerjaan yang dia kirimkan lewat WhatsApp. Kesadaran ini berekor pada keresahan.
Saya resah jika ada orang yang mengira nomor itu masih menjadi milik saya. Tentu, saya telah melakukan semua upaya untuk memberi tahu kenalan bahwa nomor tersebut tidak lagi milik saya, tetapi nyatanya tidak semua orang telah terinformasikan. Orang bisa saja mengirimkan pesan yang seharusnya rahasia ke nomor tersebut.
Saya juga khawatir jika masih ada rekening atau akun email dan media sosial yang terhubung ke nomor itu. Setelah menggunakan nomor itu secara aktif selama sepuluh tahun saya tidak lagi bisa mengingat semua hal yang sudah saya lakukan dengan nomor tersebut. Dengan banyaknya aplikasi yang mensyaratkan nomor ponsel sebagai media penghubung, nomor ponsel tidak lagi sekadar alamat pengguna, tetapi juga telah menjadi bagian dari identitas digital seseorang.
Berdasarkan hasil penelusuran di mesin pencari, ternyata permasalahan yang muncul dari daur ulang ini bervariasi. Mulai dari ada orang yang menerima tagihan utang atau menerima pesan mesum hingga bobolnya rekening di bank dan akun email atau media sosial. Ada juga artikel yang menyebutkan bahwa ada semacam sindikat yang memang sengaja membobol rekening lewat nomor ponsel yang telah mati. Sindikat ini memiliki jaringan yang di antaranya terdiri dari pihak yang berperan sebagai penyedia informasi nomor-nomor yang sudah mati, tetapi masih terhubung ke akun perbankan atau e-commerce dan pelaku pembobolannya sendiri.
Berangkat dari sini saya makin yakin bahwa kekhawatiran saya tidak berlebihan dan tidak saya alami sendiri. Saya juga menjadi bertanya-tanya: apakah saya yang terlambat tahu atau apakah sistem di negara ini yang belum memungkinkan terinformasikannya hal tersebut dengan memadai? Jika demikian halnya, tidakkah itu berarti bahwa rentannya data pribadi warga tidak saja terjadi karena kelalaian, tetapi juga karena sistem yang belum memberikan perlindungan optimal?
***
Daur ulang nomor diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 14 Tahun 2018. Aturan ini menyatakan, "Nomor Pelanggan yang karena satu dan lain sebab tidak dipergunakan lagi oleh pelanggan pemiliknya, harus dimanfaatkan untuk calon pelanggan lain yang membutuhkan."
Nomor di sini tidak saja meliputi nomor ponsel, tetapi semua nomor dalam jasa telekomunikasi. Regulasi ini juga mengatur perlunya jeda selama paling pendek enam puluh hari sebelum sebuah nomor dijual kepada pengguna baru. Selain di Indonesia, aturan daur ulang ini juga diterapkan di negara lain. Yang membedakan adalah jeda waktu daur ulang dan beberapa ketentuan teknis penyertanya.
Sebenarnya alasan perlu dilakukannya daur ulang nomor ini adalah hal yang logis dan bisa dipahami. Sebagaimana juga tersebut di dalam Permenkominfo tersebut, alokasi nomor bagi setiap penyelenggara jasa telekomunikasi dibatasi. Sementara jumlah pengguna, terutama pengguna nomor ponsel, terus meningkat. Apalagi sejak pandemi Covid-19, dimana terjadi migrasi digital sebagai ekses dari pelaksanaan bekerja dan belajar dari rumah.
Oleh karena itu, mau tidak mau, memang harus dilakukan daur ulang. Masalahnya, apakah hanya karena sesuatu itu logis dan bisa dipahami, kita bisa berharap semua pihak, terutama pengguna, bisa langsung mengetahui ketentuan ini? Terus terang, saya belum lama tahu lamanya jeda masa daur ulang sebuah nomor. Itu pun, informasinya saya peroleh secara mandiri dan saya peroleh setelah nomor lama saya dipakai orang.
Saya yakin, saya bukan satu-satunya orang yang berada dalam kondisi ini. Selain itu, terlepas dari kewajiban pengguna jasa komunikasi untuk mengetahui tentang regulasi yang melingkupi suatu jasa yang digunakannya, tidakkah penyedia jasa dan negara juga memiliki kewajiban untuk memberikan informasi terkait hal ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita lihat kembali hak konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal 4 UU tersebut selain menuntut konsumen untuk "membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan," juga menyatakan bahwa konsumen berhak atas "kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa."
Selain itu konsumen juga berhak atas "informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa." Pasal ini saya pahami sebagai perlu adanya timbal balik dari penyedia dengan pengguna untuk saling memberi dan menerima informasi terkait barang atau jasa yang dipergunakan.
Dalam konteks diskusi kita, artinya penyedia jasa telekomunikasi juga memiliki kewajiban untuk memberi informasi kepada para pengguna layanannya atas adanya kebijakan daur ulang nomor. Berikut perlu adanya informasi terkait lamanya masa jeda dilakukannya daur ulang. Informasi ini perlu diberikan secara proaktif sebagai bagian dari kontrak jasa di antara kedua belah pihak.
Toh, pemberian informasi atas akan dilakukannya daur ulang ini tidak hanya akan menguntungkan pengguna, tetapi juga menguntungkan penyedia jasa. Pasalnya, bukan tidak mungkin kalau setelah memperoleh informasi tersebut, si pengguna nomor ponsel akan berpikir ulang jika hendak berganti nomor. Jika pengguna nomor urung menonaktifkan nomornya, tidakkah itu artinya penyedia jasa juga batal kehilangan konsumen?
Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen itu juga secara implisit menyatakan bahwa berdasarkan alasan keamanan dan kenyamanan, pemerintah perlu menerbitkan aturan teknis yang memerintahkan penyedia untuk memberikan informasi kepada pengguna jasanya. Perintah, bukan sekadar anjuran.
Aturan pemberian informasi ini sebenarnya hanya merupakan salah satu upaya. Pemerintah masih bisa melakukan upaya lain. Upaya-upaya yang selaras dengan komitmen pemerintah dan DPR untuk melindungi data pribadi warga melalui dijadikannya UU tentang Perlindungan Data Pribadi sebagai bagian dari Program Legislasi Nasional 2021.
Saya sudah berusaha menjelaskan kepada orang yang rajin mengirim teror tagihan melalui pesan singkat dan telepon itu bahwa saya bukanlah orang yang dia maksud. Tetapi yang bersangkutan menolak percaya. Dia terus gigih meneror saya. Belakangan, setelah nomornya saya blokir, ada nomor-nomor lain yang melakukan hal yang sama. Karena merasa terganggu dan tidak menemukan alternatif solusi, akhirnya nomor baru itu saya matikan.
Itu bukanlah pengalaman meresahkan terakhir saya dengan daur ulang nomor ponsel. Baru-baru ini saya kembali mengalami kejadian yang berhubungan dengan daur ulang nomor ponsel. Bedanya, kali ini sayalah pemilik lama nomor ponselnya.
Berangkat dari ketidaktahuan saya akan masa jeda daur ulang suatu nomor dan kekhawatiran saya untuk pergi ke tempat publik di masa pandemi, saya selalu menunda untuk mengurus akuisisi kembali nomor itu. Saya mulai menyadari bahwa nomor lama saya telah didaur ulang saat ada rekan kerja yang protes karena saya tidak merespons dokumen pekerjaan yang dia kirimkan lewat WhatsApp. Kesadaran ini berekor pada keresahan.
Saya resah jika ada orang yang mengira nomor itu masih menjadi milik saya. Tentu, saya telah melakukan semua upaya untuk memberi tahu kenalan bahwa nomor tersebut tidak lagi milik saya, tetapi nyatanya tidak semua orang telah terinformasikan. Orang bisa saja mengirimkan pesan yang seharusnya rahasia ke nomor tersebut.
Saya juga khawatir jika masih ada rekening atau akun email dan media sosial yang terhubung ke nomor itu. Setelah menggunakan nomor itu secara aktif selama sepuluh tahun saya tidak lagi bisa mengingat semua hal yang sudah saya lakukan dengan nomor tersebut. Dengan banyaknya aplikasi yang mensyaratkan nomor ponsel sebagai media penghubung, nomor ponsel tidak lagi sekadar alamat pengguna, tetapi juga telah menjadi bagian dari identitas digital seseorang.
Berdasarkan hasil penelusuran di mesin pencari, ternyata permasalahan yang muncul dari daur ulang ini bervariasi. Mulai dari ada orang yang menerima tagihan utang atau menerima pesan mesum hingga bobolnya rekening di bank dan akun email atau media sosial. Ada juga artikel yang menyebutkan bahwa ada semacam sindikat yang memang sengaja membobol rekening lewat nomor ponsel yang telah mati. Sindikat ini memiliki jaringan yang di antaranya terdiri dari pihak yang berperan sebagai penyedia informasi nomor-nomor yang sudah mati, tetapi masih terhubung ke akun perbankan atau e-commerce dan pelaku pembobolannya sendiri.
Berangkat dari sini saya makin yakin bahwa kekhawatiran saya tidak berlebihan dan tidak saya alami sendiri. Saya juga menjadi bertanya-tanya: apakah saya yang terlambat tahu atau apakah sistem di negara ini yang belum memungkinkan terinformasikannya hal tersebut dengan memadai? Jika demikian halnya, tidakkah itu berarti bahwa rentannya data pribadi warga tidak saja terjadi karena kelalaian, tetapi juga karena sistem yang belum memberikan perlindungan optimal?
***
Daur ulang nomor diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 14 Tahun 2018. Aturan ini menyatakan, "Nomor Pelanggan yang karena satu dan lain sebab tidak dipergunakan lagi oleh pelanggan pemiliknya, harus dimanfaatkan untuk calon pelanggan lain yang membutuhkan."
Nomor di sini tidak saja meliputi nomor ponsel, tetapi semua nomor dalam jasa telekomunikasi. Regulasi ini juga mengatur perlunya jeda selama paling pendek enam puluh hari sebelum sebuah nomor dijual kepada pengguna baru. Selain di Indonesia, aturan daur ulang ini juga diterapkan di negara lain. Yang membedakan adalah jeda waktu daur ulang dan beberapa ketentuan teknis penyertanya.
Sebenarnya alasan perlu dilakukannya daur ulang nomor ini adalah hal yang logis dan bisa dipahami. Sebagaimana juga tersebut di dalam Permenkominfo tersebut, alokasi nomor bagi setiap penyelenggara jasa telekomunikasi dibatasi. Sementara jumlah pengguna, terutama pengguna nomor ponsel, terus meningkat. Apalagi sejak pandemi Covid-19, dimana terjadi migrasi digital sebagai ekses dari pelaksanaan bekerja dan belajar dari rumah.
Oleh karena itu, mau tidak mau, memang harus dilakukan daur ulang. Masalahnya, apakah hanya karena sesuatu itu logis dan bisa dipahami, kita bisa berharap semua pihak, terutama pengguna, bisa langsung mengetahui ketentuan ini? Terus terang, saya belum lama tahu lamanya jeda masa daur ulang sebuah nomor. Itu pun, informasinya saya peroleh secara mandiri dan saya peroleh setelah nomor lama saya dipakai orang.
Saya yakin, saya bukan satu-satunya orang yang berada dalam kondisi ini. Selain itu, terlepas dari kewajiban pengguna jasa komunikasi untuk mengetahui tentang regulasi yang melingkupi suatu jasa yang digunakannya, tidakkah penyedia jasa dan negara juga memiliki kewajiban untuk memberikan informasi terkait hal ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita lihat kembali hak konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal 4 UU tersebut selain menuntut konsumen untuk "membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan," juga menyatakan bahwa konsumen berhak atas "kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa."
Selain itu konsumen juga berhak atas "informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa." Pasal ini saya pahami sebagai perlu adanya timbal balik dari penyedia dengan pengguna untuk saling memberi dan menerima informasi terkait barang atau jasa yang dipergunakan.
Dalam konteks diskusi kita, artinya penyedia jasa telekomunikasi juga memiliki kewajiban untuk memberi informasi kepada para pengguna layanannya atas adanya kebijakan daur ulang nomor. Berikut perlu adanya informasi terkait lamanya masa jeda dilakukannya daur ulang. Informasi ini perlu diberikan secara proaktif sebagai bagian dari kontrak jasa di antara kedua belah pihak.
Toh, pemberian informasi atas akan dilakukannya daur ulang ini tidak hanya akan menguntungkan pengguna, tetapi juga menguntungkan penyedia jasa. Pasalnya, bukan tidak mungkin kalau setelah memperoleh informasi tersebut, si pengguna nomor ponsel akan berpikir ulang jika hendak berganti nomor. Jika pengguna nomor urung menonaktifkan nomornya, tidakkah itu artinya penyedia jasa juga batal kehilangan konsumen?
Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen itu juga secara implisit menyatakan bahwa berdasarkan alasan keamanan dan kenyamanan, pemerintah perlu menerbitkan aturan teknis yang memerintahkan penyedia untuk memberikan informasi kepada pengguna jasanya. Perintah, bukan sekadar anjuran.
Aturan pemberian informasi ini sebenarnya hanya merupakan salah satu upaya. Pemerintah masih bisa melakukan upaya lain. Upaya-upaya yang selaras dengan komitmen pemerintah dan DPR untuk melindungi data pribadi warga melalui dijadikannya UU tentang Perlindungan Data Pribadi sebagai bagian dari Program Legislasi Nasional 2021.
Simak video 'Ini Alasan RUU Perlindungan Data Pribadi Tak Kunjung Selesai Dibahas':
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini