Publik kembali dibuat gaduh dengan beredarnya informasi adanya pasal "penghinaan" kepada Presiden/Wakil Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Tidak sedikit publik yang berargumen bahwa pasal tersebut akan berpeluang mengancam kebebasan berpendapat.
Kegaduhan ini juga muncul karena pasal-pasal tersebut pernah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Bahkan secara gamblang MK pada waktu itu menyatakan tidak boleh lagi ada pasal-pasal yang isinya "sama atau mirip" dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP.
Yang menarik kemudian, mengapa pasal-pasal yang pernah dibatalkan oleh MK "seolah-olah" dilegislasikan kembali dalam RKUHP, padahal putusan MK bersifat final dan mengikat? Apakah hal ini tidak kontradiktif dengan Putusan MK? Apakah pasal tersebut juga akan mengancam kebebasan berpendapat di negeri ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dibahas dalam tulisan ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Peter Gerangelos, putusan yang bersifat final mengandung arti bahwa tidak ada lagi mekanisme lebih lanjut untuk banding terhadap perkara yang telah diputus oleh hakim (Pan, 2019). Putusan final tersebut merupakan merupakan upaya yang pertama (the first resort) sekaligus upaya terakhir (the last resort). [Sutiyoso, 2006].
Implikasinya, putusan yang bersifat final tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh lembaga negara lain dan warga negara, terlebih oleh addressat putusan itu sendiri, dalam hal ini lembaga pembentuk undang-undang (DPR bersama Presiden). Artinya, norma yang nyata-nyata pernah dinyatakan inkonstitusional tidak boleh dihidupkan lagi, karena akan menyebabkan ketidakpastian hukum.
Lalu, apakah pasal dalam RKHUP tersebut merupakan penghidupan pasal? Pertama, jika dilihat secara seksama, rumusan pasal-pasal dalam RKUHP tidaklah serupa dengan pasal sebelumnya, baik secara konsep maupun redaksionalnya.
Secara redaksional, frasa yang digunakan dalam RKUHP adalah penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, berbeda sekali dengan pasal-pasal yang dinyatakan inkonstitusional tadi, yaitu penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden.
Begitu pula secara konsep pun berbeda; sebelumnya delik penghinaan merupakan delik biasa (gewone delicten), dalam RKUHP ini adalah delik aduan (klacht delicten).
Kedua, seperti diketahui argumentasi MK yang tertuang dalam pertimbangan hukumnya (ratio decidendi) menyatakan, ketiga pasal a quo dinyatakan inkonstitusional karena bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (rechts onzekerjeid). Sebab sangat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden (hal. 60).
Lebih lanjut MK menyatakan, delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden yang seharusnya digunakan adalah Pasal 310-Pasal 321 KUHP bilamana penghinaannya ditujukan dalam kualitas pribadinya. Sementara dalam hal penghinaan ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden "selaku pejabat" (als ambtsdrager), maka menggunakan Pasal 207 KUHP.
Jika ditafsirkan secara sistematis argumentasi MK tersebut, maka merumuskan delik penghinaan kepada Presiden dalam RKUHP baik dalam kapasitasnya sebagai pribadi maupun jabatan adalah sah-sah saja dan konstitusional.
Dalam kapasitas jabatan, sebetulnya telah memiliki legitimasi dalam Putusan MK a quo. Dengan catatan, penuntutan terhadapnya dilakukan atas dasar pengaduan (bij klacht).
Yang dimaksud dengan delik aduan bahwa suatu tindak pidana hanya dapat dituntut bilamana ada pengaduan dari orang yang berkepentingan. Artinya, penuntutannya sangat bergantung pada kehendak dari yang berkepentingan atau yang terkena tindak pidana, apakah pelaku itu akan dilakukan penuntutan atau tidak.
Dalam konteks a quo, jika Presiden dihina maka dituntut-tidaknya pelaku bergantung kehendak Presiden. Sekalipun seandainya menurut pandangan masyarakat umum suatu perbuatan merupakan penghinaan kepada Presiden, tetapi Presiden tidak berkehendak untuk melakukan penuntutan, maka si pelaku tidak akan dituntut. Begitu pula sebaliknya.
Selama delik penghinaan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut dikategorikan sebagai delik aduan tidaklah bertentangan dengan UUD NRI 1945. Justru yang dilarang oleh MK adalah jika dalam RKUHP rumusan pasal-pasalnya --sama atau mirip-- seperti Pasal Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP. Sebab, ketiga pasal tersebut menurut MK menegasikan prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan berpendapat, dan prinsip kepastian hukum.
Dengan demikian, tidaklah tepat apabila menganggap pasal-pasal tersebut merupakan penghidupan pasal yang pernah dinyatakan inkonstitusional, melainkan pasal-pasal tersebut merupakan pasal dengan rumusan yang baru sama sekali.
Berpendapat Secara Bermartabat
Sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum, negara memiliki kewajiban untuk melindungi, menghormati, dan menjamin pemenuhan kebebasan atau kemerdekaan berpendapat --di dalamnya termasuk untuk menyampaikan kritik (bukan penghinaan) kepada Presiden.
Kemerdekaan berpendapat telah memiliki payung hukum dalam UUD NRI 1945, tepatnya Pasal 28E. Tetapi, negara juga tidak melindungi pelaku penghinaan yang dapat merendahkan harkat dan martabat seseorang, kepada siapa pun itu, termasuk kepada Presiden.
Dalam konteks ini, ius constituendum delik "penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden" bukan berarti Presiden dan/atau Wakil Presiden antikritik, tetapi pasal ini justru di kemudian hari akan menjadi alat untuk mengontrol masyarakat agar bisa dan terbiasa mengemukakan pendapat --termasuk mengkritik kebijakan pemerintah-- secara bermartabat dan beradab.
Kita pun akan sepakat, kebebasan berpendapat bukanlah memberikan ruang sebebas-bebasnya, melainkan perlu batasan. Tanpa batasan (aturan) orang akan menyatakan pikiran baik dengan lisan maupun tulisan secara brutal. Itulah alasan suatu aturan perlu dibuat, supaya orang-orang bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Sesuai dengan fungsi hukum itu sendiri, yaitu sebagai rekayasa dan kontrol sosial (a tool of social control and engineering).
Nofan legislative drafter pada Kantor Hukum dan Organisasi UGM
Simak juga 'Warga Papua Curhat ke Fraksi PAN DPR soal Revisi UU Otsus':