Kudus menjadi sorotan media atas predikatnya sebagai satu-satunya zona merah di Pulau Jawa. Usai perayaan Lebaran, serangan Covid-19 telah melumpuhkan 196 orang nakes, serta 298 warganya positif dengan status pasien di RS, 972 menjalani isolasi mandiri ,dan telah merenggut 626 jiwa (data per 2 Juni). Saat tulisan ini dibuat, kasus Covid di Kudus meningkat 30 kali lipat hanya dalam waktu sepekan, dan menjadikan 42 desa masuk zona merah.
Sebagai warga Kudus, saya merasakan berada dalam suasana yang menyedihkan, ketika dalam sehari mendengar suara sirine ambulans silih berganti melintas di jalan utama maupun perkampungan. Ditambah lagi, berita kematian yang disiarkan oleh masjid maupun musala setiap bakda Subuh yang bersahut-sahutan di sekitar permukiman tempat saya tinggal, seolah membuat perasaan semakin pilu.
"Gusjigang"
Kudus tidak bisa lepas dari semboyan "gusjigang", sebuah nilai yang diajarkan oleh Sunan Kudus. Gusjigang adalah singkatan dari "bagus", "ngaji", dan "dagang". Ini merupakan nilai-nilai kearifan lokal yang ditanamkan oleh Sunan Kudus bagi masyarakatnya untuk berperilaku baik, rajin mengaji maupun ibadah, dan pandai dalam berdagang. Harapan Sunan Kudus, ketiga aspek tersebut dapat terinternalisasi secara berimbang pada jiwa masyarakat Kudus sebagai masyarakat yang piawai dalam berwirausaha, namun tidak mengesampingkan kekuatan spiritual mereka yang tercermin dalam ketekunan dalam mencari ilmu (ngaji) dan memiliki budi pekerti yang baik.
Masyarakat Kudus adalah masyarakat yang relijius. Nilai "gusjigang" adalah penjabarannya; masyarakat yang relijius selalu melakukan sesuatu dengan berpijak pada nilai-nilai agama yang mereka peroleh dari kegiatan menuntut ilmu atau mengaji dari majlis taklim, 'sekolah, pesantren) yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk perilaku atau budi pekerti sehingga melahirkan perilaku yang baik, perilaku yang 'alim (orang berilmu), dengan indikasi tidak menyimpang dari norma agama, hukum, sosial, dan budaya.
Selain relijius, masyarakat Kudus adalah masyarakat yang pandai berdagang. Kepiawaian berdagang adalah karakteritik masyarakat industri yang ditunjukkan dengan kemampuan masyarakatnya dalam berwirausaha sehingga mobilitas perekonomian berjalan dinamis. Dinamika perekonomian di Kudus juga tak lepas dari keberadaan beberapa perusahaan raksasa seperti Pabrik Rokok Djarum, Nojorono, Polytron yang juga berkontribusi dalam dinamika perekonomian di Kudus.
Namun sayangnya, dari ketiga nilai dalam filosofi "gusjigang" tersebut, harapan Sunan Kudus agar terimplementasi secara seimbang tidak lagi terpenuhi. Bila dikaitkan dengan fenomena Kudus yang seolah babak belur atas hantaman Covid-19, ini tidak terlepas dari perilaku masyarakat yang abai terhadap protokol kesehatan (prokes), abai terhadap semua imbauan pemerintah untuk menjaga diri dari pandemi yang belum berakhir.
Masih banyak masyarakat yang tidak percaya tentang adanya wabah Covid-19 dan dampaknya. Ketidakpercayaan tersebut melahirkan arogansi dan pengabaian terhadap aturan pemerintah tentang prokes yang bertujuan untuk melindungi warganya. Sikap abai masyarakat atas anjuran prokes dapat dilihat pada bagaimana mereka melakukan semua kegiatan secara semaunya sendiri, mengadakan hajatan, halal bilhalal, dan semua kegiatan ekonomi, sosial ,maupun keagamaan tanpa mematuhi aturan prokes. Alasannya, Covid tidak ada --kalaupun ada, ya sudah selesai.
Dalam aktivitas perekonomian, tidak sedikit masyarakat lebih mengedepankan orientasi keuntungan materi di atas nilai-nilai spiritual. Dominasi motif ekonomi ini kerap menjadikan mereka lupa akan nilai-nilai perilaku baik yang harus dijunjung tinggi dan lebih mengutamakan pemuasan atas pemerolehan untung sebanyak-banyaknya. Lupa untuk melindungi hak keselamatan diri dan orang lain yang harus dipenuhi.
Banyak pedagang yang enggan memakai masker karena alasan mengurangi kenyamanan dalam beraktivitas dagang, abai atas perintah jaga jarak demi menarik pembeli sebanyak-banyaknya dan ketiadaan fasilitas untuk mencuci tangan karena dirasa akan menambah beban operasional. Maka tidak heran bila selain kluster keluarga dan perkantoran, pasar ataupun beberapa pusat perdagangan menjadi salah satu sarang penyebaran virus yang disebabkan oleh kelalaian masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan.
Introspeksi
Sudah saatnya, masyarakat Kudus kembali melakukan introspeksi diri atas wabah Covid-19 yang menghajar mereka. Saatnya memahami kembali tujuan Sunan Kudus mengajarkan nilai "ngaji" adalah agar masyarakatnya berilmu, mau berpikir, mencari pengetahuan, mengaji pada berbagai sumber tentang segala informasi yang memiliki nilai pengetahuan dan bermanfaat pada kehidupan.
Mengaji (mencari tahu) pada sumber yang dipercaya tentang berbagai informasi termasuk Covid adalah jalan edukasi yang saat ini masih menjadi tantangan tidak hanya masyarakat Kudus, tapi masyarakat di daerah mana pun sehingga pemahaman masyarakat atas informasi seputar Covid-19 masih sangat lemah. Lemahnya pengetahuan dan pemahaman inilah yang menjadi sumber utama dari sikap abai yang menjadi pemicu ganasnya wabah Covid-19, di Kudus khususnya.
Lemahnya pengetahuan dan pemahaman tentang Covid-19 ini pula yang menjadikan kendala yang dihadapi pemerintah dalam melakukan penanganan terhadap masyarakat yang telah terpapar virus ini, seperti penolakan untuk testing dengan alasan takut, ketidakjujuran dalam tracing, hingga penolakan treatment termasuk ketidakdisiplinan dalam menjalani isolasi mandiri.
Minimnya pemahaman tentang Covid-19 tersebut juga memicu stigmastisasi (pengucilan) terhadap masyarakat yang telah terinfeksi virus ini. Penderita Covid dianggap sebagai aib yang harus ditutup-tutupi. Dampaknya adalah ketakutan masyarakat untuk dilakukan intervensi medis baik pada level pencegahan maupun penanganan. Kondisi tersebut yang menjadikan permasalahan penanganan Covid-19 menjadi semakin rumit.
Posisi Ulama
Bila meninjau karakter masyarakat Kudus yang relijius, maka posisi ulama menjadi garda terdepan dalam membangun pengetahuan masyarakat atas pentingnya menjaga diri dari wabah Covid-19 ini. Ulama (kiai) bagi masyarakat relijius seperti Kudus merupakan sumber informasi yang dianggap paling andal dan dapat dipercaya.
Posisi strategis ulama (kiai) hendaknya menjadikan kesadaran atas PR besar yang harus mereka realisasikan yakni membentuk pengetahuan, kesadaran, pemahaman, sikap, dan perilaku masyarakat untuk lebih kooperatif dalam mematuhi prokes yang menjadi aturan pemerintah.
Modifikasi sikap dan perilaku patuh oleh ulama terhadap masyarakat dapat dilakukan dalam kegiatan "ngaji" yang menjadi tradisi masyarakat Kudus selama ini sehingga terbentuk perilaku taat terhadap aturan umara (pemerintah). Ketaatan masyarakat dalam menjalankan prokes merupakan indikasi budi pekerti yang baik ("bagus") sebagaimana tujuan dari filosofi "gusjigang".
Keberhasilan implementasi nilai-nilai budaya lokal ini akan menjadi alternatif utama dalam menyelesaikan problematika penanganan wabah Covid-19 di Kudus (khususnya) yang semoga segera berlalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fatma Laili warga Kudus
(mmu/mmu)