Salah satu yang saat ini mungkin dirasakan para guru se-Indonesia adalah galau dengan hasil evaluasi Penilaian Akhir Semester (PAS) untuk periode semester genap tahun ini. Penyebabnya bukan terkait penyusunan instrumen soal yang akan diujikan. Bukan juga terkait menentukan ukuran tingkat kesulitan soal yang digunakan. Melainkan galau dengan hasil ujian akhir siswa. Pasalnya, hasil penilaian akhir semester siswa di luar dari yang diharapkan.
Jika semua guru memberlakukan penilaian secara objektif, maka banyak siswa dipastikan tidak akan mencapai batas Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) yang ditetapkan. Hal ini sebagai akibat dari proses belajar dari rumah (BDR) yang dilaksanakan ala kadarnya. Risiko dari BDR seperti tidak semua Kompetensi Dasar (KD) dapat secara tuntas diajarkan ditengarai menjadi penyebabnya.
Para guru memang tidak dituntut untuk menyelesaikan semua KD atau hanya memprioritaskan KD esensial, tetapi fatalnya terdapat mata pelajaran tertentu seperti matematika dan IPA yang bersifat sangat sistematis. Sistematis karena penguasaan materi pada KD selanjutnya sangat bergantung pada penguasaan materi pada KD sebelumnya. Akibatnya risiko learning loss seperti kekurangan pengetahuan kognitif benar-benar terjadi.
Beruntunglah bagi sekolah yang tidak terdampak, sebab proses pembelajaran hingga evaluasi tetap berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Namun bagi yang terdampak, tidak dapat dipungkiri lagi, para guru akan merasakan kegalauan yang sama. Dan di Indonesia, banyak data yang menunjukkan bahwa lebih banyak siswa yang terdampak. Artinya banyak guru di-Indonesia yang akan mengalami kegalauan serupa.
Kendati learning loss kian nyata, tetapi nilai hasil belajar yang tertera pada rapor pendidikan siswa pastinya akan terlihat tidak bermasalah. Nilai pengetahuan kognitif maupun keterampilan siswa akan terlihat baik-baik saja seperti halnya sebelum pandemi. Padahal data dari banyak lembaga terkait sudah menunjukkan bahwa BDR di Indonesia dilakukan seadanya saja.
Beragam argumen untuk mendukung manipulasi nilai rapor pun dimunculkan seperti cari aman (menghindari konflik dengan wali murid) ataupun disengaja agar siswa dapat dengan mudah mengakses sekolah negeri ketika Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) saat lulus nanti. Karenanya nilai rapor siswa Indonesia di masa pandemi ibarat seperti kuburan. Terlihat tampak mewah dan bagus dari luar, tetapi menyimpan banyak hasil yang nyatanya penuh dengan rekayasa.
Namun ibarat sebuah bangkai busuk, sepintar-pintarnya bangkai ditutupi tetap akan tercium juga. Pendidikan di masa pandemi pun demikian. Sebagus apapun nilai rapor siswa Indonesia, faktanya siswa Indonesia selalu menempati daftar paling bawah dari beragam survei pendidikan yang dilakukan. Contoh berikut relevan untuk dijadikan sebagai bukti bahwa learning loss seperti kekurangan pengetahuan kognitif pada siswa Indonesia bukanlah teori dan konspirasi belaka.
Ada sebuah video pendek yang oleh para konten kreator dinamakan sebagai video eksperimen. Video ini memperlihatkan sebuah eksperimen yang dilakukan terhadap anak-anak Sekolah Dasar (SD). Bentuk eksperimen berupa wawancara atau lebih tepatnya pembuat konten mengajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana (pengetahuan umum) terhadap siswa SD yang dipilih secara acak. Contoh pertanyaan-pertanyaan seperti: apa kepanjangan dari SD? Siapa presiden Indonesia sekarang? Ibu kota dari negara Indonesia? dan beberapa pertanyaan lainnya terkait pengetahuan umum.
Setiap jawaban dari peserta eksperimen tersebut ternyata mengundang gelak tawa hingga akhirnya membuat video tersebut viral. Ya, jawaban dari mereka salah dan terdengar sangat-sangat konyol. Dalam benak saya, seharusnya pertanyaan tersebut dapat dengan mudah dijawab oleh anak seusia mereka.
Saya mencoba berpikir, mungkin eksperimen tersebut hannyalah sebuah acara setting-an atau rekayasa dari para konten kreator seperti halnya konten-konten lain pada umumnya. Namun kepolosan dan keluguan anak-anak yang ditampilkan meyakinkan saya bahwa benar, ini riil, nyata, dan bukan hasil rekayasa.
Eksperimen tersebut selain menghadirkan tawa bagi yang menonton, di lain sisi mempertegas bahwa kekurangan pengetahuan kognitif memang nyata. Kemampuan mengingat yang adalah salah satu kemampuan paling dasar dari pengetahuan kognitif (versi Taksonomi Bloom) pada anak-anak yang dilibatkan dalam konten tersebut memang patut dipertanyakan.
Kekurangan pengetahuan kognitif berkaitan dengan dengan nalar atau proses berpikir, yaitu kemampuan dan aktivitas otak untuk mengembangkan kemampuan rasional. Kemampuan kognitif dalam ruang kelas dapat diukur melalui kemampuan untuk mengenali dan mengingat materiβmateri yang telah dipelajari mulai dari hal sederhana hingga mengingat teoriβteori yang memerlukan kedalaman berpikir dan juga kemampuan mengingat konsep, proses, metode, serta struktur.
Kekurangan pengetahuan kognitif tidak bisa diganti melalui pemberian stimulus, pelatihan keterampilan ataupun bantuan sosial dan bantuan sejenisnya. Ini murni terkait proses mengingat materi, memahami hingga pada mengaplikasikannya yang diperoleh hanya melalui proses belajar baik di sekolah maupun di rumah.
Kekurangan kemampuan kognitif tidak bisa diukur dengan materi. Isu learning loss seperti kekurangan kemampuan kognitif dalam beberapa hal sangat berbeda karakteristiknya dengan pandemi. Tidak seperti pandemi yang terjadinya cepat dan dampaknnya dirasakan oleh semua pihak, learning loss terjadi secara perlahan dan dampaknya secara nyata akan dirasakan oleh generasi di masa yang akan datang.
Memanfaatkan Libur Semester
Untuk itu respons setiap orangtua ketika menerima rapor pendidikan dari sekolah seharusnya adalah tidak boleh larut, bereuforia dan terlena dengan nilai-nilai yang tertera pada buku rapor siswa. Nilai pada buku rapor siswa hanya akan memunculkan kesenangan semu bagi orang tua. Sisakan sedikit euforia untuk memastikan kebenaran apakah memang kemampuan anak memang demikian.
Pertanyaan seperti, apakah anak sudah layak untuk pindah atau naik ke kelas berikutnya menjadi pertanyaan yang harus tertanam dalam benak setiap orangtua atau wali murid. Karenanya eksperimen seperti dalam video yang saya tonton sebelumnya bisa menjadi contoh untuk ditiru. Me-review sejauh mana perkembangan anak-anak kita dalam proses belajarnya perlu dilakukan masing-masing orangtua/wali murid.
Mendeteksi kemampuan seorang anak di akhir Tahun Pelajaran penting dilakukan untuk bisa merumuskan langkah antisipatif apa yang dapat dilakukan selanjutnya. Libur pada semester genap tahun ini seharusnya menjadi momentum paling tepat melakukan itu.
Namun, kultur terkait libur semester di Indonesia sangatlah bertolak belakang dengan niat mulia tersebut. Kultur libur semester di Indonesia adalah meliburkan siswa dari semua aktivitas belajar baik itu di sekolah dan di rumah. Liburan semester juga sudah sering dan selalu diterjemahkan sebagian orangtua untuk berplesiran ke luar kota, menjauhkan diri secara total dari buku-buku pelajaran dan melakukan aktivitas refresing lainnya.
Kultur masyarakat Indonesia dalam memaknai libur semester ataupun libur lainnya memang masih berkutat pada aktivitas yang sifatnya hiburan dan berwisata ria. Lihat saja kebijakan terkait pelarangan mudik pada libur lebaran baru-baru ini. Walaupun secara yuridis sudah ada perangkat aturan yang secara jelas melarang, tetapi aktivitas mudik dan berwisata yang memicu keramaian masih menjadi aktivitas favorit masyarakat kita.
Mengubah Paradigma
Tetapi rasanya semua sudah bersepakat baik yang ahli maupun awam bahwa pendidikan di masa pandemi seperti saat ini sudah tidak lagi berjalan normal. Karenanya paradigma baru terkait libur semester kali ini harus dimunculkan.
Orangtua atau wali murid harus bisa memanfaatkan momentum libur semester untuk lebih mendekatkan anak pada aktivitas belajar dan bukan malah sebaliknya. Libur semester kali ini harus dimaknai sebagai waktu tambahan yang seharusnya digunakan untuk mengejar dan memangkas ketertinggalan kemampuan anak-anak utamanya kemampuan kognitif.
Rasanya eksperimen perlu dicoba masing orangtua pada anak dengan mengajukan pertanyaan sederhana sesuai dengan jenjang pendidikan anak. Saya percaya, jika setiap orangtua punya kepedulian yang sama terhadap pendidikan anak maka risiko learning loss seharusnya menjadi kegalauan bersama bukan hanya guru tetapi juga orangtua. Jika guru dan orangtua sudah mempunyai perasaan yang sama, maka langkah antisipatif selanjutnya dapat dengan mudah dilakukan.
Jefrianus Kolimo guru di SMPN Satu Atap Eirobo, Sabu Raijua
Simak video 'Nadiem Jamin Kebijakan Sekolah Tatap Muka Tak Bertentangan Aturan PPKM':
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT