Tahun ajaran baru 2021/2022 siap menyambut. Meski masih dalam situasi pandemi, pemerintah mendorong sekolah-sekolah untuk melakukan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di seluruh wilayah Indonesia.
Beberapa pertimbangan dikemukakan mengapa kebijakan PTM terbatas diperlukan, seperti keterbatasan keterampilan, sarana, dan prasarana untuk melakukan pembelajaran jarak jauh, ancaman putus sekolah, pernikahan anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga lost generation.
Untuk sekolah yang sudah mulai melaksanakan PTM sejak awal tahun, saya dapat sedikit menceritakan bagaimana sekolah saya, SD negeri di Kota Solok, ketika awal-awal PTM terbatas dilakukan. Ada banyak prosedur yang perlu dipenuhi hingga dapat melaksanakan PTM terbatas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, sekolah perlu meminta persetujuan tertulis orangtua dan peserta didik untuk melaksanakan PTM terbatas. Sekolah juga harus menyiapkan segala alat kelengkapan protokol kesehatan yang diperlukan. Kemudian, Dinas Pendidikan menyiapkan model PTM terbatas, skenario pembelajaran, dan langkah antisipasi terhadap skenario terburuk yang mungkin terjadi.
Prinsip utama dari setiap model PTM terbatas yang akan dilaksanakan tetaplah berlandaskan pada protokol kesehatan 3M yang sudah sama-sama diketahui, sehingga peserta didik sangat diharapkan membawa kelengkapan seperti masker, penyanitasi tangan, tisu, dan bekal makanan. Selain itu, mengharuskan pembelajaran di dalam kelas dibagi ke dalam beberapa rombongan belajar (rombel).
Untuk pembagian rombel, sekolah menerapkan 50 persen dari kapasitas kelas dan/atau maksimal 15 orang, sehingga tercipta paling sedikit satu rombel. Masing-masing rombel belajar selama lebih kurang 2,5 jam di sekolah. Sistem masuk kelasnya pernah tiga kali seminggu secara bergantian dan kemudian berganti menjadi lima kali seminggu secara sif hingga sekarang.
Sementara, untuk penentuan jadwal sif pernah dengan sistem putus dan sistem tidak terputus. Sistem putus artinya guru harus mengajar dari pagi untuk sif pertama, jeda beberapa jam, dan mulai lagi pukul 13.00 untuk sif kedua hingga selesai pukul 15.30. Sistem ini kemudian cukup memberatkan para guru sehingga diterapkan sistem tidak terputus, mulai dari pukul 07.30 hingga pukul 10.15 dan lanjut sif kedua 30 menit setelahnya hingga pukul 13.15.
Model PTM terbatas memang dapat berubah cukup fleksibel. Hal ini terjadi karena evaluasi terhadap faktor-faktor risiko dan efektivitas model rutin dilakukan. Sehingga risiko dapat diminimalkan sembari peserta didik mendapatkan hak mereka untuk belajar secara lebih seimbang dengan hak untuk hidup dan kesehatan. Sekali lagi bahwa PTM terbatas bukanlah sebuah kewajiban, melainkan pilihan sebagai solusi untuk pemenuhan hak belajar.
Perlu juga dipahami bahwa keputusan PTM terbatas tidaklah terjadi satu arah dari pemerintah. Secara pribadi dan sebagai guru, saya menginginkan PTM terbatas ini terus berlanjut. Demikian juga aspirasi sebagian besar orangtua dan peserta didik. Sebab banyak hal yang selama ini hilang --yang juga esensial-- dari proses pendidikan ketika itu dilakukan secara jarak jauh. Namun kemudian dapat mereka rasakan kembali dengan belajar tatap muka di sekolah.
Selalu Ada Hikmah
Pandemi tidak perlu disesali dan membuat kita berhenti untuk mencoba berbagai solusi terbaik untuk memajukan pendidikan. Meski ini adalah ujian terberat sekali pun, mestinya tetap ada hikmah yang dapat diambil dari kejadian ini. Demikian Vicktor E. Frankle pernah berkata.
Setelah lebih kurang enam bulan penerapan PTM terbatas, ada beberapa hal yang saya kira sebagai hikmah dari situasi ini. Pertama, PTM terbatas dilaksanakan dengan pengurangan jam belajar-mengajar yang cukup radikal untuk peserta didik (tidak untuk pendidik). Biasanya peserta didik di sekolah lebih kurang 6 jam sehari, kemudian menjadi hanya 2,5 jam.
Durasi belajar yang singkat ini ternyata malah mengurangi kejenuhan peserta didik di sekolah. Peserta didik merasa lebih bahagia dan antusias ke sekolah untuk belajar (meski dalam keadaan pandemi). Hal ini seharusnya menjadi catatan serius tentang bagaimana proses pendidikan mesti dilakukan ke depan. Mengingat selama ini kita cenderung beranggapan bahwa semakin lama peserta didik di sekolah, semakin lama mereka belajar.
Padahal, yang terjadi adalah mereka semakin jenuh dijejali berbagai materi dari guru yang juga sudah kehabisan ide dan bahan untuk disampaikan. Dengan kata lain, pembelajaran sudah cenderung menjadi tidak berkualitas. Aspek kualitas inilah yang sebetulnya perlu mendapat penekanan dari para pemangku kepentingan alih-alih kuantitas semata.
Namun, selagi kita masih menjadikan sekolah sebagai tempat penitipan anak, maka harapan tersebut akan sulit untuk terwujud. Namun jika kita masih mengharapkan itu terjadi, dalam hal ini, guru memiliki pekerjaan rumah lebih (pekerjaan sekolah dibawa ke rumah) untuk memikirkan bagaimana memadukan aspek kuantitas dan kualitas dalam pembelajaran. Memang, terdengar bersemangat, semoga tidak terdengar utopis.
Kedua, pembagian rombel menjadi dua sif membuat kelas menjadi lebih kondusif untuk proses pembelajaran. Dengan jumlah peserta didik yang berkurang guru juga dapat lebih mudah memantau perkembangan peserta didik. Selain itu, guru dapat melakukan refleksi dan perbaikan pembelajaran di hari yang sama untuk suatu materi pembelajaran pada sif berikutnya. Sehingga guru tidak harus menunggu "tahun depan" untuk memperbaiki kesalahan atau kekurangan terhadap materi atau penyampaian yang telah terjadi.
Pembagian kelas menjadi dua sif juga membantu guru melakukan pengelompokan peserta didik menurut kemampuan belajar. Sehingga guru tidak perlu menurunkan rata-rata kelas terlalu jauh untuk menyampaikan suatu materi pembelajaran.
Terakhir, dengan jumlah waktu belajar yang berkurang, turut menuntut berkurangnya jumlah materi yang diajarkan. Untuk itu, pemerintah memang sudah menyiapkan materi esensial yang paling dibutuhkan untuk dapat lanjut ke tahap berikutnya dan, terutama-, sebagai bekal untuk hidup.
Dengan demikian, tuntutan untuk "kejar target" jadi berkurang sehingga peserta didik dan guru terhindar dari dari stres yang berlebih dan dapat lebih fokus pada pemantapan dan pendalaman materi.
Harapan saya, semoga hal-hal baik yang kita temui dari situasi ini dapat dijadikan bahan refleksi ke depan untuk perbaikan sistem pendidikan. Pertanyaannya, jika pandemi ini pada akhirnya menemukan ujungnya, mungkinkah dapat terwujud?
Muhammad Arif educator, columnist, environmentalist, promoting science and reason
Simak video 'Nadiem Jamin Kebijakan Sekolah Tatap Muka Tak Bertentangan Aturan PPKM':