Baru-baru ini, publik digegerkan dengan isu "pilih Al-Quran atau Pancasila?". Pertanyaan ini muncul dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) bagi pegawai KPK yang dialihstatuskan menjadi ASN. Pertanyaan tersebut memunculkan kegaduhan dalam masyarakat, khususnya umat Islam yang merasa dilecehkan. Terlebih, pertanyaan di atas dinilai mengada-ada dan tidak ada relevansinya dengan tes kepegawaian.
Kata penghubung "atau" dalam pertanyaan tersebut seakan-akan menyatakan keduanya saling bertentangan. Secara posisi, keduanya memang memiliki posisi yang berbeda, tetapi secara substansi keduanya tidak berseberangan. Kitab suci menjadi falsafah dan pedoman beragama, sedangkan Pancasila adalah pedoman berbangsa dan bernegara. Pilihan yang ditawarkan pertanyaan tersebut terkesan timpang, tidak apple to apple.
Lagu Lama
Pertanyaan di atas memunculkan kembali perdebatan relasi agama dan negara yang sudah menjadi lagu lama dalam alur sejarah Indonesia sekaligus hangat sampai detik ini. Dalam narasi kemerdekaan bangsa, para pejuang kemerdekaan notabene adalah orang yang taat dalam beragama. Tidak sedikit dari mereka yang menjadikan ajaran agama sebagai mode of thought dalam merespons persoalan kolonialisme.
Artinya, nasionalisme yang tumbuh dalam diri pejuang bangsa berangkat dari interpretasi ajaran agamanya yang konstruktif dan objektif. Kita bisa melihat pemikiran HOS. Cokroaminoto yang memadukan konsep sosialisme dan ajaran Islam untuk mengampanyekan gerakan transformasi sosial melawan penjajah. Tan Malaka pun merukunkan komunisme dan islamisme. Ia menilai bahwa agama (Islam) memiliki potensi revolusioner dalam melawan penjajah (Yudi Latif, 2015: 68).
Begitu pula, KH. Ahmad Dahlan dengan teologi al-Ma'un-nya berupaya memberdayakan sosial dan pendidikan umat Islam Indonesia yang tersisihkan pada masa kolonial. Dari NU, Kiai Hasyim Asy'ari mendeklarasikan resolusi jihad berangkat dari ajaran Islam tentang hubbul wathan minal iman.
Fakta historis di atas mengindikasikan gagasan keagamaan telah menyejarah dalam sejarah bangsa ini. Bela negara mereka tidak dapat dilepaskan dari ajaran agama yang dipeluknya. Mereka berhasil menampilkan sisi objektif agama yang memiliki keberpihakan terhadap keadilan, kemerdekaan dan pemberdayaan umat. Lalu apa yang objektif, kalau bukan ilmu?
Berpijak pada Ilmu
Dalam pemikiran keislaman Kuntowijoyo, Islam (agama) haruslah menjadi paradigma dalam kehidupan yang berpijak pada ilmu. Pengilmuan agama berorientasi mengubah sisi subjektif agama menjadi sisi objektif ilmu (Kuntowijoyo, 2006). Misalnya tentang nasionalisme, setiap agama mengajarkan mengenai cinta Tanah Air, demikian pun agama (Islam). Oleh karena itu, bersikap nasionalis dianggap sebagai perbuatan objektif karena bersifat natural dan dapat diterima oleh banyak orang.
Dalam epistemologi Islam Kuntowijoyo, pengilmuan Islam (agama) selain menghendaki objektivikasi (penerjemahan nilai-nilai agama ke dalam kategori objektif), juga menghendaki integralisasi yakni penyatuan kembali wahyu dengan temuan pikiran manusia secara substantif bukan secara formalistik. Objektivikasi berupaya menghilangkan dominasi agama tertentu dalam masyarakat sedangkan integralisasi berorientasi mengikis praktik sekularisasi (Kuntowijoyo, 2018).
Para pejuang Indonesia telah berhasil membangun paradigma agama yang objektif plus integralistik-substantif. Ini dapat dilihat dari kelapangan para tokoh nasionalis-agamis dalam menerima penghapusan tujuh kata pada sila pertama Piagam Jakarta. Mereka berhasil menginternalisasikan ajaran agama yang kemudian dieksternalisasikan ke dalam kriteria objektif bernama nasionalisme dan pluralisme.
Etos cinta Tanah Air mereka yang terepresentasikan dalam sila Pancasila dibangun atas dasar objektivikasi ajaran agama dalam kehidupan berbangsa. Singkatnya, agama (wahyu) yg dijadikan ilmu objektif akan mentransformasikan kesadaran individual (sektarian) menjadi kesadaran kolektif, kesadaran sejarah, dan kesadaran perlunya objektivikasi (Kuntowijoyo, 2006).
Kepentingan Politik
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Munculnya perdebatan "pilih Al-Quran atau Pancasila" menunjukkan adanya kesalahpahaman dalam memahami hubungan agama dan negara, wahyu dan Pancasila. Meruncingnya persoalan ini yang muncul dalam TWK pegawai KPK tidak luput dari kepentingan dan permainan politik. Meskipun begitu, kita perlu mendudukkan perkaranya agar kita tidak terjerumus pada hiruk pikuk politik dan tidak tersesat dalam paradigma sekularisme.
Betapa banyak tulisan yang mengulas bahwa sila-sila Pancasila selaras dengan nilai-nilai agama (wahyu sebagai sumber pengetahuan) dan sebaliknya. Artinya, Pancasila merupakan sari pati etika agama yang objektif dan universal. Namun, dalam eksistensi kesejarahannya, keduanya selalu saja dipertentangkan, demikian pula substansi dari pertanyaan "pilih Al-Quran atau Pancasila?".
Sebagai sistem simbol untuk melihat realitas, keduanya memiliki hakikat sendiri dan cara sendiri untuk melestarikannya (Kuntowijoyo, 2018). Persoalannya, munculnya zealotisme (semangat atau pengabdian yang berlebihan, garis keras, fanatisme) baik pada Pancasila ataupun agama. Isu talibanisme dalam KPK dapat dinilai sebagai bentuk dari zealotisme Pancasila. Orang yang mengklaim dirinya Pancasilais menggunakan Pancasila sebagai alat untuk memukul pihak-pihak yang menghalangi kepentingan politiknya.
Menurut Kuntowijoyo, kesalahpahaman terhadap Pancasila dan agama terjadi pada sisi praktiknya bukan substansinya. Di pihak umat beragama, mereka takut Pancasila menjadi agama, sebaliknya pihak yang mengklaim Pancasilais takut agama menggantikan Pancasila sebagai ideologi berbangsa. Keduanya terjadi karena kedua simbol tersebut masih disosialisasikan secara ideologis yang sarat kepentingan. Jika demikian, keduanya terlihat bertentangan.
Singkatnya, baik agama dan Pancasila, keduanya harus dimasyarakatkan sebagai ilmu yang inklusif bukan ideologi yang eksklusif. Manifestasi Pancasila sebagai ideologi terbuka dan Islam sebagai agama yang inklusif akan menjalin relasi yang ilmiah, terbuka dan objektif. Agama bukanlah musuh Pancasila dan sebaliknya. Keduanya saling mengisi ruang publik dengan nilai-nilai keadaban.
Sebagai common sense,, Pancasila menjadi payung bersama yang menaungi semua golongan agama, ras, dan suku dalam ikatan kebhinnekaan. Sedangkan, agama menjadi pilar rumah Pancasila. Untuk itu, tidak boleh lagi ada pikiran dikotomis sebagaimana yang termanifestasikan dalam salah satu pertanyaan TWK "pilih Pancasila atau Al-Quran".
Disintegrasi peradaban Nusantara akan terjadi jika visi spiritual melemah dan menguap dalam masyarakat. Arnold Toynbee, dikutip oleh Yudi Latif (2015) menyatakan agama sebagai sumber spiritual akan membekali kehidupan berbangsa dan bernegara dengan nilai-nilai kemajuan jika dieksternalisasikan berdasarkan ilmu. Dari sini, kita perlu meneladani perjuangan para pahlawan bangsa (ulama) yang berhasil meramu nilai agama dalam Pancasila secara objektif berdasarkan ilmu bukan ideologi kelompok tertentu.
Rahmat Hidayat peneliti sejarah sosial-politik Islam Indonesia, alumnus Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga
Simak video 'Sudah Kantongi Surat Komnas HAM soal TWK? KPK: Sedang Dipelajari':
(mmu/mmu)