Ketika masih sering labil dulu saya pernah mutung tidak mau main Facebook karena mangkel dengan teman saya. Gara-garanya, dia tidak membela saya ketika saya terlibat "gelut" dengan facebooker lain. Sudah jelas-jelas dia sama-sama online dan tentu saja melihat status saya. Kok ya tega melihat saya menjadi single fighter sendirian. Bukannya saya aleman karena sebenarnya tipe saya memang penyendiri. Tapi masa-masa itu memang masa-masanya caper dan butuh validasi dari orang lain.
"Kamu kan jelas-jelas lihat sih, mbok aku dibelain," kata saya bersungut-sungut. Tapi jawabannya sungguh di luar harapan saya. "Kamu itu salah ya. Tidak seharusnya kubela. Justru sebagai temanmu aku memperingatkanmu kalau yang kamu lakukan itu salah. Apa yang kamu yakini tidak seharusnya menjadi kebenaran tunggal. Jangan suka mengejek prinsip hidup orang lain. Coba dibalik, kamu mau nggak digituin?"
Kata-kata teman saya itu sungguh menohok dan membuat saya berpikir berhari-hari. Bukankah memang benar ya apa yang dikatakan teman saya tersebut? Sebagai teman justru sikapnya sudah benar. Tidak selalu mengiyakan semua perbuatan saya apalagi jika saya memang salah. Justru dengan berani dia menegur saya. Sekarang saya jadi mikir, sebenarnya berat ya jadi teman saya di masa itu. Pasti dia terjebak rasa sungkan digital (meminjam judul kolom Iqbal Aji Daryono) karena di satu sisi dia adalah teman baik saya, tapi di satu sisi dia tidak setuju dengan sikap saya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sudah mending dia tidak mengata-ngatai saya di komentar, tapi memilih mengomeli saya di belakang. Meski sebenarnya ketika saya diomeli di komentar pun harusnya tidak masalah. Tapi teman saya memilih menjaga perasaan semua orang.
Sejak saat itu saya amati memang saya hanya akan dibela teman saya ketika memang saya benar. Itu pun ketika dirasa saya butuh bantuan. Kalau bisa saya selesaikan sendiri ya saya selesaikan sendiri. Setelah kasus berantem itu saya sering main aman dengan menulis status yang netral-netral saja dan sering membicarakan hal remeh-temeh. Tapi sekarang, senetral dan seremeh-temeh apapun status saya, tetap saja berpotensi menimbulkan "gelut" online. Biang keributan sepertinya sudah menjadi gawan bayi bagi saya.
Sebulanan ini lini masa medsos saya lumayan panas. Saya tidak berusaha mencari tahu pun mereka tetap berseliweran. Yang pertama adalah kasus plagiasi desain produk pakaian. Seorang tokoh A diduga melakukan plagiasi desain produk tokoh B; ketika sang pemilik desain marah, malah dirundung fans dari tokoh yang diduga melakukan plagiasi. Ya memang wagu sih, wong yang salah siapa yang marah siapa. Lalu terjadilah kasak-kusuk yang merembet kepada tokoh lain; kenapa tokoh C yang seprofesi dan selingkaran dengan mereka tidak bersuara? Ya, seharusnya hal tersebut tidak usah ditanyakan. Lha wong tokoh C ini masih keluarga dekat dengan tokoh A.
Kita hanya bisa menduga-duga, bisa saja tokoh C membela tokoh A karena masih satu family atau sebenarnya tokoh C ya tidak sependapat dengan tokoh A, tapi pekewuh saja jika mengungkapkannya di media sosial karena bisa saja dia menjaga hubungan keluarga agar tidak terlihat kisruh.
Yang kedua adalah rame-rame dari dunia sastra. Seorang sastrawan sekaligus mentor menulis senior melakukan eksperimen dengan mengirim karya muridnya dengan namanya sebagai pembuktian kalau nama besar memang jaminan dimuat. Tentu saja hal ini memantik banyak komentar baik yang pro maupun kontra. Selama memang argumen mereka masih tentang etika tulis menulis sih saya oke-oke saja. Tapi saya amati ada beberapa komentar yang menurut saya tidak relevan. Ada yang ngotot di kolom komentar meyakinkan kalau si tokoh ini adalah orang baik dalam kesehariannya, seperti dia tidak pernah salah. Komentar ini saya tangkap sebagai pembelaan terhadap tokoh yang sedang dikritik seakan-akan kita tidak boleh mengkritiknya karena dia adalah orang baik.
Kita bergeser dulu ke dunia hiburan yang sempat ramai sampai menjadi trending topic di linimasa Twitter. Seorang selebriti tersandung kasus pelecehan seksual kepada penggemarnya. Hal ini terungkap karena korban menulis pengakuannya dalam utas di akun Twitter-nya. Saya mengamati pola yang sama seperti kasus sebelumnya. Selain dihujat banyak orang, tentu saja selebriti ini juga dibela oleh beberapa orang karena selebriti ini dianggap sebagai orang baik. Saya melihat video pernyataan seorang temannya yang berkata bahwa si selebriti ini adalah orang baik. Bahkan pernyataan lanjutan teman selebriti ini membuat gemas karena dia menyalahkan korban. Saya lebih setuju dengan temannya yang lain yang bilang bahwa dia mengakui kalau yang sedang tersandung kasus ini adalah temannya, tapi dia tetap membela korban.
Saya sendiri juga sempat terkejut ketika ada tokoh sastra lain yang menjadikan pelecehan seksual sebagai guyonan. Tokoh ini memang tidak berhubungan langsung dengan saya. Saya mengikuti tulisannya sejak dulu dan menantikan karyanya yang akan diflilmkan. Tapi memang saya lumayan berkomunikasi dengan istrinya baik melalui WhatsApp ataupun guyon di komentar Facebook. Hubungan kami baik, tentu saja. Dan mereka memang setahu saya adalah orang yang baik. Tapi tetap saja saya tidak membenarkan komentarnya yang menjadikan pelecehan seksual sebagai guyonan. Saya pernah menjadi korban pelecehan seksual lebih dari sekali, tentu saja hal-hal seperti ini mudah memicu pengalaman buruk saya di masa lalu.
Saya sampai merenung dan menarik kesimpulan begini, tempatkanlah kebaikan dan kesalahan seseorang pada konteksnya. Bisa jadi memang benar mereka adalah orang-orang yang baik bagi keluarga ataupun teman-temannya. Tapi dalam konteks masalah yang saya sebut sebelumnya, bisa jadi mereka memang bersalah. Hal ini tentu saja juga berlaku untuk saya. Teman-teman saya yang mengenal saya secara pribadi bisa saja mengatakan saya baik, ramah, suka membantu teman, tidak pelit, suka menraktir, dan sederet kebaikan lain. Ini misalnya lho ya.
Tapi ketika saya berbuat kesalahan, misalnya juga, menjelek-jelekkan k-popers dengan mengatakan idola dan musik kesukaan mereka adalah sampah, ya jelas saya salah dong. Ketika banyak anggota fandom yang marah dan teman-teman saya membela saya karena saya adalah teman mereka dan mengatakan sederet kebaikan saya sehari-harinya, ya tetap saja tidak menghapus fakta kalau saya memang bersalah.
Lha coba saja lihat koruptor. Mereka juga baik bagi keluarga, teman-teman, dan orang-orang yang ditolongnya. Tidak sedikit juga mereka yang menyumbang untuk tempat ibadah, panti asuhan, dan pesantren. Tapi ketika dia melakukan korupsi, tetap saja bersalah kan? Karena definisi orang baik ini tergantung siapa yang menyebut. Sebaik-baik manusia tetap ada jeleknya dan sebaliknya.
Terkadang melihat orang yang berbuat salah yang masih berteman atau berkerabat memang membuat sebal dan kita tidak mau dikaitkan. Tapi kalau teringat dia pernah baik, pasti ada perasaan dilematisnya juga. Kita tidak tahu kapan kita kepleset. Kepleset lidah mungkin bisa kita maklumi karena lidah tak bertulang. Tapi kalau kepleset jari? Apakah jari tidak bertulang? Makanya di kalangan teman-teman saya selain saling mendoakan sehat dan lancar rezeki juga sering ditambahkan semoga kita tidak kepleset dalam hal yang fatal.
Jadi sebenarnya apa yang harus kita bela? Pertemanan atau kebenaran? Kembali lagi ke pernyataan saya tadi, tempatkanlah kebaikan dan kesalahan seseorang pada konteksnya. Gampang? Ya, namanya juga teori. Praktiknya ya silakan diamalkan sendiri-sendiri.
Mendungan, 12 Juni 2021
Impian Nopitasari penulis cerita berbahasa Indonesia dan Jawa. Tinggal di Solo
(mmu/mmu)