Marcus Tullius Cicero. Sampai saya membaca buku How to Tell a Joke (2021) yang berisi secuplik karya monumentalnya di On the Ideal Orator terkhusus soal humor, saya belum tahu kalau negarawan, ahli pidato, hingga tokoh Stoa dari zaman Romawi Kuno itu ternyata dijuluki oleh musuh-musuh politiknya sebagai consularis sculla. Stand-up consul, dalam bahasa Inggris.
Exactly, stand-up as in stand-up comedy.
Cicero gemar melempar joke saat berbicara dan berargumen di depan orang banyak. Dianggap terlalu humoris untuk seorang pejabat publik di zamannya, Cicero pun dipandang bak badut. Wajar, kala itu, pendapat Plato dan Aristoteles bahwa tertawa cenderung terasosiasi dengan aktivitas kaum tak terhormat masih sangat dominan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun ternyata, dengan julukan "serendah" itu, reputasi Cicero sebagai pengacara dan politisi justru melejit. Ia sering memenangkan kasus di pengadilan sampai pemilu untuk menjadi konsul Romawi Kuno (setara presiden) di usia yang sangat muda alias ambang bawah kualifikasi jabatan tersebut: 42 tahun.
"Humor," kata Cicero, "bisa meruntuhkan perbedaan antara seorang orator dan komedian."
Ia berhasil membuktikan, ketika humor digunakan dengan kadar yang pas dan bijak di muka umum, kuasa sosial hingga politik bisa dimenangkan. Tetapi saat humor digunakan dengan sembrono di hadapan orang-orang, kita bisa saja dicap sebagai badut seperti Cicero --tanpa prestasi yang selevel dengannya.
Kini, adaptasi humor sebagai strategi komunikasi kian relevan. Gebetan, kolega di kantor, content creator, pemuka agama, sampai kepala negara sekalipun rasanya mulai tak ragu dan canggung untuk berhumor di hadapan Anda atau khalayak.
Namun dengan masih bermunculannya blunder karena humor di sana-sini, sepertinya belum semua pelontar humor tahu tujuan mereka sendiri dalam berhumor. Sebagai strategi berelasi dengan orang lain kah? Atau sebagai sarana ekspresi diri semata? Rasa-rasanya, kebutuhan minimal yang sebenarnya ingin dicapai itu masih blur.
Dalam hemat saya, keduanya sama-sama punya peran krusial dalam hidup, tetapi sebisa mungkin kita tidak mencampuraduknya supaya hasil akhir yang diinginkan lebih realistis tercapai.
Begini simpelnya. Apabila kita ingin menggunakan humor untuk kepentingan yang pertama, yakni berelasi dengan orang lain, maka satu-satunya tujuan dari strategi ini haruslah mendapatkan simpati. Hibur orang-orang supaya mereka mau menjadi "simpatisan" bagi Anda, bisnis Anda, atau isu yang tengah Anda advokasi.
Nah, karena tujuannya memenangkan hati orang lain, maka strategi yang memungkinkan adalah dengan memanfaatkan humor yang menyatukan.
Meminjam konsepsi profesor komunikasi University of Southern Mississippi, John C. Meyer (2000), humor yang menyatukan contohnya adalah humor yang diintensikan untuk memperjelas isu atau posisi yang sedang dijadikan topik pembicaraan (clarification). Misal, humor yang digunakan dalam penjabaran contoh kasus.
Jenis humor konstruktif lain adalah humor yang dengan sengaja menempatkan orang lain setara --bahkan di atas Anda bila perlu-- supaya mereka merasa nyaman dan secara sukarela memberikan dukungannya pada Anda (identification). Aplikasinya bisa berupa self-deprecating humor atau humor yang meledek diri si pelontarnya sendiri.
Maka dari itulah, strategi humor ini cocok sekali untuk diimplementasikan di tempat kerja, untuk menambah kredibilitas dalam memimpin, meningkatkan awareness terhadap kampanye tertentu, dan kesempatan-kesempatan lain yang membutuhkan konsolidasi atau kerelaan untuk bergerak bersama.
Beda cerita ketika kita ingin menggunakan humor sebagai sarana berekspresi. Humor untuk mengekspresikan diri relatif mengabaikan perasaan masyarakat secara umum. Jika ada segelintir orang yang bisa menerima atau menyepakati humor ekspresif kita, secara tujuan artinya sudah tercapai.
"Yang penting, diri ini dapat kepuasan," begitu lebih kurang jeritan pikiran orang yang memakai humor untuk melepaskan dirinya dari jerat-jerat memuakkan, kalau ditranskrip pakai alat canggih.
Karena orientasinya adalah kepuasan diri, biasanya, semakin humor ekspresif tadi bertentangan dengan norma atau aturan yang berlaku, semakin lepas dan puaslah si komunikator. Di sini, humor menjadi sarana pelarian yang "sehat".
Ya, alih-alih membuat keonaran atau kerusakan fisik, kita bisa menyalurkan kejengahan pikiran dan menyuarakan kejujuran kita lewat humor. Tak ayal, strategi humor untuk urusan ini dekat sekali dengan jenis humor yang menyindir bahkan merendahkan orang atau pihak lain (put-down humor).
Komedi, sebagai kesenian pembungkus humor, cocok sekali untuk menampung kebutuhan yang satu ini. Pasalnya, seringkali komedi mencoba menguji bahkan mendobrak ideologi atau tatanan yang mapan.
Namun, kita tak harus menjadi komedian dulu untuk berekspresi lewat humor. Asalkan Anda tahu kapan, di mana, dan kepada siapa humor yang ekspresif itu disalurkan, siapa pun tetap bisa menjadi "komedian untuk kalangannya sendiri".
Makanya, jangan kaget kala mencuri dengar humor yang bersirkulasi di lingkungan yang sangat-sangat terbatas, seperti di para staf suatu kantor yang lagi nongkrong bareng atau kelompok-kelompok sosial yang anggotanya cenderung homogen dan "sefrekuensi", isinya biasa menarget pihak tertentu.
Humor pada dasarnya hanya sebuah alat, sama seperti pisau. Mau dipakai untuk memasak makanan kesukaan orang yang ingin Anda bahagiakan, bisa. Mau ditodong-todongkan ke orang lain sembari tertawa puas menari-nari bahagia melihat muka tak nyaman mereka, bisa pula.
Yang penting, mari lebih melek dan sadar dalam berhumor. Minimal, tahu apa yang sedang ingin Anda sendiri capai, meraup simpati atau untuk mengekspresikan diri.
Ulwan Fakhri peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3)