Tahun 2021 ini merupakan tahun pencatatan sejarah tersendiri bagi industri perbankan syariah. Kebijakan merger tiga bank umum syariah yang merupakan anak perusahaan dari tiga bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) menjadi PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) pada awal tahun ini menjadi lompatan besar bagi industri perbankan syariah di Indonesia.
Secara kalkulasi keuangan, para ahli sudah mengungkapkan bahwa hampir pasti akan memberikan dampak positif bagi industri bank syariah, baik dari sisi aset, profitabilitas, permodalan, maupun instrumen keuangan lain. Tetapi ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi bank syariah untuk meningkatkan layanannya bagi masyarakat.
Lompatan kedua hadir dari ujung barat Indonesia, bumi Nangroe Aceh Darussalam, sebagai implementasi Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah yang berlaku sejak diundangkan pada 4 Januari 2019. Dengan ketentuan tersebut, maka lembaga keuangan (baik bank maupun non bank) yang beroperasi di Provinsi Aceh wajib menerapkan prinsip syariah dalam operasional perbankan maupun layanan keuangannya. Dan, tahun 2021 ini merupakan batas akhir bagi Lembaga keuangan di Aceh untuk menyesuaikan diri dan menentukan "nasib"-nya untuk disesuaikan dengan qanun tersebut.
Penerapan qanun Aceh tentang Lembaga Keuangan Syariah ini sebenarnya telah diwujudkan lebih awal dalam aksi korporasi berupa konversi Bank Aceh menjadi Bank Aceh Syariah. Sebuah aksi warming up yang dilakukan sebelum munculnya qanun tersebut, tepatnya pada September 2016. Bank Aceh Syariah menjadi bank daerah pertama yang melakukan konversi penuh menjadi Bank Syariah. Langkah konversi ini kemudian disusul oleh Bank BPD Nusa Tenggara Barat Syariah pada tahun 2018.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejumlah bank nasional yang pamit dari Aceh yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk, hingga PT Bank Panin Tbk. Bagi bank-bank Himbara (BRI, BNI, dan Mandiri) mereka masing-masing sudah memiliki anak perusahaan berupa bank umum syariah, yang pada awal tahun ini sudah dilakukan merger menjadi rumah besar PT. Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI).
Begitu juga Bank CIMB Niaga sudah memiliki Unit Usaha Syariah. Sehingga meskipun secara korporasi mereka harus hengkang dari Aceh, namun masih tetap bisa menempatkan anak perusahaan perbankan syariahnya di Aceh. Lain halnya bagi Bank Panin dan bank-bank konvensional lainnya yang tidak memiliki anak perusahaan maupun Unit Usaha Syariah, maka tidak ada pilihan lain bagi mereka selain harus meninggalkan ceruk bisnisnya dari bumi serambi Mekah itu.
Kedua langkah ekspansi perbankan syariah tersebut akan memberikan tantangan yang cukup besar bagi bank syariah. Tantangan ini terutama akan banyak dihadapi oleh perbankan syariah di Aceh. Proses transisi ini memberikan paling tidak dua tantangan yang harus dihadapi oleh bank syariah maupun lembaga keuangan syariah secara umum. Tantangan terkait dari sisi karakteristik nasabah dan tantangan layanan digitalisasi perbankan.
Karakteristik Nasabah
Dalam buku Marketing to the Middle Class Moslem, Yuswohadi mengungkapkan bahwa dalam hal respons terhadap bank syariah, ada empat tipe konsumen (apathist, conformist, rationalist, dan universalist) yang bisa disamakan dengan tiga segmen masyarakat muslim kita, yakni conventional loyalist, syariah loyalist, dan floating mass.
Kelompok apathist bisa dikategorikan kepada kelompok conventional loyalist, Sementara kelompok conformist yang dalam membeli produk harus berlabel halal adalah kelompok syariah loyalist. Sementara tipe konsumen rationalist dan universalist dapat dikategorikan dalam floating mass.
Dalam berbagai penelitian, segmen masyarakat floating mass masih mendominasi kategori masyarakat muslim kita dalam merespons bank syariah. Hal ini menjadi semakin menguat dengan data marketshare perbankan syariah yang saat ini masih berada pada angka 6,51 persen. Data OJK tahun 2019 juga mengungkapkan bahwa inklusi keuangan syariah masih berada pada angka 9,10%.
Fakta ini menjadi tantangan bagi bank-bank syariah untuk lebih intens menggarap segmen nasabah rasional dan universal. Konsekuensi yang akan dihadapi dari para nasabah rasional dan universal adalah sikap membandingkan layanan-layanan perbankan konvensional dengan perbankan syariah. Terutama bagi nasabah bank syariah di Aceh, masyarakat yang selama ini sudah terbiasa dan menikmati layanan bank konvensional pasti akan menuntut performa layanan yang sama oleh bank syariah.
Lebih menariknya lagi pada sisi nasabah syariah loyalist. Beberapa tahun terakhir ini ada pergeseran pandangan dari nasabah syariah loyalist, dari halal MUI oriented menjadi syar'i oriented --tentunya dengan kecenderungan pemahaman syar'i di luar Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI dan cenderung lebih ketat. Kecenderungan ini diperkuat dengan lahirnya berbagai komunitas-komunitas anti-riba yang marak beberapa tahun terakhir ini.
Pergeseran tersebut sebenarnya sudah diantisipasi dan direspons oleh salah satu bank Himbara yang saat ini ikut dalam proyek merger BSI. Terdapat beberapa produk yang mengakomodasi pemahaman syariah loyalist. Langkah ini tentu berdasarkan persetujuan dan rekomendasi dari OJK selaku regulator, karena memang sebenarnya regulasi perbankan syariah sangat mengakomodasi berbagai pandangan fikih keuangan syariah.
Harapannya tentu saja, produk-produk akomodatif untuk berbagai segmen nasabah ini terus dilakukan. Strategi dan produk-produk inovatif juga terus dilahirkan dari bank-bank syariah.
Digitalisasi dan Layanan Elektronik
Konsekuensi dari dual banking system yang dianut oleh sistem perbankan kita, layanan bank syariah akan dihadapkan langsung dengan layanan perbankan konvensional. Tidak terkecuali layanan elektronik dan digital yang sudah menjadi lifestyle masyarakat saat ini.
Jika kita melihat tiga bank Himbara yang merger dalam rumah besar BSI, dari sisi digitalisasi perbankan, ada dua kecenderungan layanan digital bank syariah Himbara. Pertama, layanan digital mandiri yang dimiliki bank syariah. Bagi bank syariah yang memiliki layanan digital mandiri ini tidak akan banyak mengalami kendala. Apalagi support system layanan digital perbankan BSI di-backup dengan sistem digital salah satu bank Himbara tersebut, sehingga layanan dan fasilitasnya tidak akan jauh berbeda.
Lain halnya dengan kategori yang kedua, bank syariah yang meskipun secara status perusahaannya sudah berdiri sendiri dan terpisah dari bank induk konvensionalnya, namun layanan digitalnya masih menjadi satu dengan bank induk. Pilihan ini menjadikan support system layanan digital perbankan konvensional yang sudah cukup mapan dapat pula dinikmati oleh nasabah-nasabah syariah. Termasuk layanan ATM-nya yang sudah menjangkau luas wilayah di Indonesia.
Kebijakan BSI yang menjadikan support system layanan digital perbankan BSI di-backup dengan sistem digital salah satu bank Himbara menjadi tantangan yang harus dijawab dengan fasilitas layanan digital yang mumpuni. Kendala teknis dalam proses migrasi harus diantisipasi dan di-upgrade untuk dapat menjawab kebutuhan nasabah yang sudah menikmati layanan digital bank induk.
Terlebih bagi bank syariah di Aceh, tantangan ini menjadi lebih besar, dengan kebijakan full syariah banking yang mulai dijalankan tahun ini. Layanan prima dan inovatif menjadi tantangan yang harus dijawab dan dibuktikan oleh stakeholder perbankan syariah.
Proses transisi sedang berlangsung. Bank-bank syarah di Aceh mulai menata diri dan menawarkan layanan terbaiknya bagi masyarakat Aceh. Proses migrasi eks bank Himbara sudah mulai dilakukan bertahap di berbagai wilayah di Indonesia. Bulan Mei, wilayah Jogja-Jawa Tengah baru saja menyelesaikan proses migrasi. Sampai akhir tahun, proses migrasi akan dilakukan di seluruh wilayah Indonesia secara bertahap. Semua berlomba menyajikan layanan syariah terbaik bagi masyarakat.
Inilah saatnya bagi bank syariah membuktikan eksistensinya. Tidaklah berlebihan jika kita katakan bahwa berhasil tidaknya proses migrasi BSI dan Penerapan Qanun LKS Aceh menjadi indikator eksistensi perbankan syariah di Indonesia. Semoga!