Mempunyai anak yang duduk di kelas 12 menjadi salah satu pengalaman mendebarkan bagi saya. Yakni ketika anak berjuang mempersiapkan diri masuk PTN, berjibaku dengan berbagai les dan bimbel, bergelut dengan buku dan bermacam soal ujian, serta mengikuti beragam try out. Ditambah lagi kondisi pandemi yang menyebabkan perubahan-perubahan aturan dan persyaratan masuk, baik melalui jalur SNMPTN, SBMPTN, maupun mandiri. Sebuah proses yang benar-benar membutuhkan kerja sama superkompak antara anak dan orangtua.
Tahun 2020 menjadi tahun bersejarah bagi kami sekeluarga. Anak pertama kami berhasil diterima di Jurusan Teknik di salah satu PTN ternama di Jawa Barat. Setelah perjuangan dan kerja kerasnya yang luar biasa, disertai dengan banyak drama yang membuat kami 'spot' jantung berbulan-bulan, akhirnya ditutup dengan happy ending. Walaupun dia diterima di jurusan yang tidak sesuai dengan keinginannya, tapi kami yakin inilah yang terbaik baginya dan masa depannya.
Hingga saat ini saya masih belum tahu pasti, mana kondisi yang lebih baik. Mempunyai anak dengan cita-cita yang setegar batu karang, atau yang mengalir begitu saja tanpa tujuan. Kebetulan anak pertama saya ini adalah tipe anak yang kekeuh dengan cita-citanya. Sejak TK, SD, SMP hingga SMA cita-citanya tidak pernah berubah, ingin menjadi dokter. Kami berusaha merayunya untuk mau melirik jurusan lain, karena menyadari beratnya persaingan di jurusan ini, apalagi di PTN favorit. Tapi sampai detik pendaftaran SNMPTN, Jurusan Kedokteran tetap tak tergoyahkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketegangan dimulai sejak memasuki bulan Januari, senyum mulai sulit terlihat di wajahnya. Keinginannya untuk masuk Kedokteran membuat kami orangtuanya ikut merasa stres. Kemauan belajarnya sungguh keras dan sangat rajin mengikuti berbagai try out. Beruntung pandemi ini membuat saya lebih banyak bekerja di rumah. Saya bisa mengamati perkembangan belajarnya sambil WFH. Menjamin kecukupan gizinya dengan pasokan makanan dan vitamin yang memadai. Berupaya agar dia tidak sakit di hari-hari penting ujian.
Tahap pertama yang harus dilalui adalah pendaftaran SNMPTN. Jalur prestasi ini yang paling diharapkan untuk bisa diterima di Kedokteran tanpa tes. Walaupun tidak punya sertifikat kejuaraan, nilai-nilai rapornya cukup bagus dan masuk 50 besar siswa yang diusulkan sekolah di jalur SNMPTN. Kami berdiskusi untuk menentukan PTN tujuan, akhirnya pilihan jatuh di satu PTN di Jawa Timur dan satunya lagi di Jawa Tengah, dua-duanya tentu saja di Jurusan Kedokteran. Setelah melakukan pendaftaran sambil menunggu pengumuman, kami mendorongnya untuk persiapan ke tahap berikutnya.
Tahap pertama ternyata gagal, optimisme dari nilai rapor yang bagus ternyata tidak cukup untuk meraih keberhasilan. Ternyata Jurusan Kedokteran di PTN yang dituju merupakan jurusan favorit SNMPTN 2020, dengan pesaing ribuan. Kami harus ekstra menghibur dan mensuportnya untuk tetap semangat mengikuti tahap berikutnya. Sementara try out terus berjalan, saya perhatikan nilai-nilainya bagus dan stabil, tapi memang belum cukup optimal untuk jurusan yang dituju. Hingga tiba saatnya kami melakukan konseling jurusan dengan mentor bimbelnya.
Konseling jurusan ini menjadi awal perubahan jurusan yang dituju. Menurut mentornya, nilai-nilai try out-nya masuk kategori padat merayap untuk kedokteran PTN favorit di Pulau Jawa. Mentornya menyarankan untuk memilih Kedokteran di luar Jawa agar bisa "gaspol". Pilihan yang sulit, lagi-lagi kami harus merayunya agar mau melirik jurusan lain. Yang tadinya dia begitu berkeras hanya ingin masuk Kedokteran, akhirnya luluh mau mencoba ke Jurusan Teknik.
Untuk memastikan pilihan, kami browsing kurikulum tiap Jurusan Teknik yang akan dituju. Lengkap dengan informasi prospek kerja dari jurusan-jurusan tersebut. Ayahnya yang berkecimpung di dunia konstruksi memberikan gambaran dunia kerja di bidang-bidang teknik. Kebetulan dia menyukai otomotif, kami mencoba mengarahkan agar hobinya ini bisa tersalur. Akhirnya ditentukan dua pilihan untuk SBMPTN. Pilihan 1 masih tetap kekeuh di Kedokteran dan pilihan 2 Jurusan Teknik.
Setelah mengikuti UTBK, kami mulai melakukan pendaftaran mandiri. Untuk memudahkan proses pendaftaran, saya membuat rekapitulasi jalur mandiri di berbagai PTN. Kapan jadwal pendaftaran, kapan jadwal ujian, apa saja persyaratannya, kapan pengumuman hingga berapa biaya masuk dan biaya per semester. Persyaratan masuk saat itu memang berbeda-beda, ada yang menggunakan nilai rapor, ada yang menggunakan nilai UTBK, dan ada pula yang harus mengikuti ujian. Tak lupa, saya juga merekap jurusan-jurusan yang dipilih dari masing-masing PTN tersebut.
Ujian-ujian mandiri satu per satu dilewati, ada 10 PTN terpilih yang menyebar dari Jawa Barat hingga Jawa Timur. Jurusan Kedokteran masih tetap mendominasi, di samping Jurusan Teknik yang dipilihnya sebagai alternatif. Sambil menunggu pengumuman SBMPTN yang cukup lama, hari-hari terasa sangat menegangkan. Walaupun kami yakin dengan kemampuannya, tetap saja ada rasa kuatir membayangkan kekecewaan yang akan dialaminya bila gagal. Tak henti kami berdoa agar diberikan yang terbaik baginya.
Kami bersyukur akhirnya dia diterima SBMPTN di Jurusan Teknik PTN di Jawa Tengah. Walaupun agak sedikit kecewa tidak diterima di Kedokteran, tapi itu sudah cukup membuatnya sedikit cerah ceria. Paling tidak sudah ada satu jurusan yang pasti dipegang. Setelah sempat cerah ceria di hari itu, hari-hari berikutnya drama kembali terjadi. Dalam waktu dua minggu 6 PTN secara berturut-turut mengumumkan kegagalannya untuk semua Jurusan Kedokteran. Pupus sudah harapannya menjadi dokter. Saking kecewanya, dia tidak mau lagi melihat pengumuman 4 PTN yang lain. Dia sudah menyerah dan siap registrasi di PTN yang menerimanya melalui jalur SBMPTN. Kami pun segera melengkapi administrasi dan melunasi biaya-biaya masuk di PTN tersebut.
Hari itu, Jumat tanggal 28 Agustus 2020, saya penasaran ingin melihat pengumuman di PTN berikutnya. Rasanya tak percaya membaca ucapan selamat atas namanya. Setelah sujud syukur, saya lari mengejarnya yang sudah siap berangkat jumatan. Saya ciumi pipinya sebagai ucapan selamat. Sementara dia bingung tidak percaya, saya tunjukkan screenshot pengumuman penerimaannya di salah PTN ternama di Jawa Barat. Dia tampak begitu bahagia dan kembali terlihat percaya diri. Tak disangka sore harinya dia mau melihat sendiri pengumuman lainnya. Dan ternyata dia juga diterima di PTN Jawa Timur, bahagianya dia diterima di 2 PTN pada hari yang sama.
Hari berikutnya tanggal 29 dia kembali membawa berita gembira. Diterima di PTN Jawa Timur, dan terakhir pada tanggal 30 kembali dia diterima di PTN Jawa Tengah. Sungguh luar biasa...dia diterima di 5 PTN dan semuanya di Jurusan Teknik dengan passing grade tinggi. Tidak sia-sia jerih payahnya selama ini. Dua minggu yang penuh kekecewaan dibayar tuntas dengan tiga hari penuh kemenangan. Dan dengan berbagai pertimbangan, dia mengundurkan diri dari 4 PTN yang lain. Yang dipilihnya adalah PTN di Jawa Barat, dan ternyata jurusan ini masuk dalam 10 besar rata-rata nilai UTBK tertinggi secara nasional pada 2020.
Saya minta dia membingkai pengumuman di 5 PTN tersebut sebagai kenang-kenangan atas hasil kerja kerasnya. Kami berdiskusi untuk mengevaluasi bagaimana semua keajaiban ini bisa terjadi. Menurutnya, ini kode keras dari Tuhan bahwa dia tidak boleh menjadi dokter. Dia menyadari mungkin tidak akan sanggup memenuhi konsekuensi dan tuntutan profesi dokter yang cukup berat. Dia juga menyadari karakternya yang mood swings dan sedikit kurang sabar, sehingga mungkin kurang cocok untuk profesi dokter.
Dan bersama jalannya waktu, dia mulai menjalani rutinitasnya sebagai mahasiswa Jurusan Teknik. Awal tahun ini iseng-iseng saya tanyakan padanya, apakah masih ingin menjadi dokter dan mau ikut ujian lagi. Dia bilang sudah move on dari kedokteran. Alhamdulillah...saya sungguh bersyukur. Dia sudah menyadari, yang diinginkannya belum tentu yang terbaik. Dia juga sudah menyadari, menjadi sukses dan menjadi manusia yang berguna tidak harus menjadi dokter. Insinyur juga masih sangat dibutuhkan untuk membangun negeri ini. Profesi di bidang apapun akan dapat meraih kesuksesan dengan ketekunan dan kerja keras. Dukungan orangtua dan keluarga, akan membuat anak-anak Indonesia menjadi orang-orang hebat di masa depan.
Simak juga '3 Arahan Jokowi soal Sekolah Tatap Muka Usai Kasus Corona Naik':