Di tengah perayaan Hari Raya Idul Fitri, kabar duka menyelimuti dunia pariwisata Indonesia. Sembilan orang tewas akibat perahu wisata yang ditumpangi terbalik di Waduk Kedung Ombo (WKO), Boyolali, Minggu (16/5).
Kecelakaan ditengarai akibat perahu kelebihan muatan penumpang, tidak ada alat keamanan seperti pelampung, hingga operator perahu yang masih berusia 13 tahun dan tidak berizin. Akibatnya, kawasan WKO ditutup karena dianggap gagal menerapkan protokol keselamatan sekaligus kesehatan.
Kejadian ini sangat memprihatinkan bagi industri pariwisata daerah yang telah terpukul hebat sejak awal pandemi Covid-19. Jantung ekonomi WKO yang sempat berdetak karena bergulirnya izin wisata di masa Lebaran pun kembali terhenti.
Selain itu, kerugian imateriil berupa tercorengnya reputasi kawasan wisata ini memerlukan upaya yang besar demi mengembalikan kepercayaan masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Risiko di Lokasi Wisata
Industri pariwisata memang identik dengan pengalaman yang menyenangkan. Namun di sisi lain, banyak risiko yang bisa berakibat fatal bagi wisatawan. Risiko tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain bencana alam, pengelolaan tempat wisata, pengunjung, dan kejahatan pihak ketiga (Yudistira, 2012).
Dalam empat tahun terakhir, tercatat puluhan orang tewas dan ratusan lainnya terluka akibat lemahnya aspek keselamatan di lokasi wisata.
Di tahun 2018, dua orang tewas akibat kecelakaan jeep di kawasan Lava Tour, Gunung Merapi, DIY. Dari pemeriksaan polisi, sopir jeep tidak memiliki SIM dan kendaraan tidak memiliki STNK.
Sementara di tahun 2017, kapal wisata Zahro Express yang menuju Pulau Tidung, DKI Jakarta mengalami kebakaran hebat dan menewaskan 23 orang. Jatuhnya banyak korban jiwa diakibatkan oleh kapal yang kelebihan muatan serta tidak adanya prosedur darurat dan penanganan risiko kebakaran.
Beberapa kejadian memilukan tersebut hanyalah segelintir dari banyak berita kecelakaan di lokasi wisata saat musim liburan tiba. Tentu manajemen risiko di lokasi wisata bukan hanya menjadi tanggung jawab pengelola dan penyedia jasa wisata.
Kesadaran para wisatawan serta pengawasan dan penindakan tegas oleh instansi pemerintah terkait juga sama krusialnya. Sehingga, perlu ada kesadaran kolektif untuk menjadikan aspek keselamatan sebagai norma sosial saat berwisata di era new normal.
Keselamatan dan Norma Sosial
Norma sosial dapat diartikan sebagai standar dan aturan yang dimengerti oleh masyarakat, dan akan menjadi panduan atau membatasi perilaku sosial tanpa memerlukan 'paksaan' hukum (Cialdini dan Trost, 1998).
Dalam konteks pariwisata, aspek keselamatan telah diadopsi sebagai norma sosial oleh Organisasi Pariwisata Dunia (WTO) dalam Kode Etik Kepariwisataan Dunia (GCET). Pengelola tempat wisata, penyedia jasa dan pemerintah diharuskan bersinergi untuk mencegah kecelakaan, memberikan perlindungan keselamatan, serta kondisi dan kualitas jasa wisata kepada wisatawan.
Kewajiban para pelaku usaha wisata untuk mematuhi GCET telah tercantum sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pariwisata nasional dalam UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Namun, serangkaian kejadian kecelakaan di lokasi wisata dalam beberapa tahun terakhir menjadi preseden buruk bahwa aspek keselamatan masih belum menjadi norma sosial di Indonesia.
Kejadian tersebut juga mengindikasikan lemahnya koordinasi sektoral antar lembaga pemerintah dalam memastikan aspek keselamatan untuk wisatawan. Pemerintah Kabupaten Boyolali mengaku kesulitan mengawasi izin dan operasional perahu wisata karena hal tersebut menjadi wewenang Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana.
Polemik wewenang izin dan pengawasan akan selalu muncul jika tidak ada upaya konkret dari pemerintah pusat hingga daerah untuk memperkuat koordinasi lintas sektoral. Sehingga, perlu ada inovasi kebijakan publik untuk menjadikan aspek keselamatan sebagai norma sosial pariwisata, salah satunya lewat konsep collaborative governance.
Penerapan Collaborative Governance
Collaborative governance adalah pengaturan koordinatif dimana satu atau beberapa lembaga publik secara langsung melibatkan para pemangku kepentingan dalam proses pembuatan keputusan yang bersifat konsultatif dan formal untuk menerapkan suatu kebijakan publik (Ansell dan Gash, 2007). Konsep ini terdiri atas empat pilar yakni pemahaman atas kondisi awal, kepemimpinan fasilitatif, desain institusional, dan proses kolaboratif.
Penerapan collaborative governance dapat menjadi salah satu opsi kebijakan pemerintah dalam memperkuat aspek keselamatan di industri pariwisata secara berkesinambungan. Pertama, pemerintah pusat dan daerah perlu bersinergi untuk memahami kondisi awal dari pemilik usaha wisata, terutama di tingkat daerah.
Menilik kejadian di WKO, diketahui bahwa pengelola kapal wisata bersifat perorangan yang kemungkinan besar tidak memahami konsep kesehatan dan keselamatan kerja (K3) maupun memiliki sumber daya untuk mengurus perizinan serta menyediakan alat-alat keselamatan.
Setelah memahami kondisi awal, pemerintah perlu menerapkan kepemimpinan fasilitatif yang berfokus pada prinsip koordinasi lintas sektoral dan upaya penguatan (empowerment). Dalam hal ini, lembaga-lembaga pemerintah terkait perlu duduk bersama untuk memperjelas atau bahkan mempermudah alur perizinan dan pengawasan.
Selain itu, pemerintah perlu proaktif memberikan penguatan kapasitas terkait standar keselamatan wisata, implementasi K3 untuk wisatawan, atau bahkan bantuan insentif penyediaan alat-alat keselamatan di lokasi wisata yang berisiko tinggi.
Selanjutnya, pemerintah perlu menerapkan suatu desain institusional yang bersifat inklusif, mengandung aturan-aturan dasar yang jelas, serta memiliki proses yang transparan. Program Kebersihan, Kesehatan, Keselamatan, dan Keberlanjutan Lingkungan (K4/CHSE) yang tengah digencarkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sejak akhir tahun 2020 dapat digunakan sebagai desain institusional yang akan merangkul seluruh pemangku kepentingan industri pariwisata.
Melalui program ini, Kemenparekraf juga telah menerbitkan buku-buku pedoman K4 yang komprehensif bagi para pelaku usaha wisata, mulai dari hotel, restoran, homestay, hingga destinasi wisata. Berbagai pedoman ini perlu untuk diarustamakan secara optimal agar tercipta pemahaman yang sama (shared understanding) terkait pentingnya tujuan kolektif tersebut.
Terakhir, proses kolaboratif yang berkesinambungan perlu dijalankan agar terjalin kepemilikan bersama (shared ownership) dalam menjaga dan menjamin aspek keselamatan. Proses ini akan memastikan proses check and balance antara seluruh pemangku kepentingan pariwisata untuk mencegah kealpaan dalam menerapkan program K4. Sehingga, koordinasi lintas sektoral dapat berjalan lebih harmonis dan berfokus pada aspek preventif untuk mencegah terjadinya kecelakaan.
Langkah Kemenparekraf untuk meluncurkan program K4 patut diapresiasi. Namun tanpa adanya sinergi yang terstruktur dan terukur, program ini dikhawatirkan hanya akan berfokus pada protokol kesehatan Covid-19 tanpa menyentuh prinsip keselamatan yang lebih mendasar.
Collaborative governance dapat diterapkan agar pelaku usaha wisata mendapat penguatan kapasitas dan arahan yang jelas dalam menjalankan program K4. Sehingga, berbagai masalah seperti ambiguitas perizinan operator wisata, lemahnya standar keselamatan dan keadaan darurat, hingga kurangnya penyediaan alat-alat keselamatan dapat diselesaikan secara kolektif dan bertahap.
Pada akhirnya, pemerintah perlu menjaga kepercayaan masyarakat untuk tetap berwisata secara aman, nyaman, dengan mematuhi protokol kesehatan di masa pandemi. Agar industri pariwisata perlahan menggeliat, tanpa adanya tangisan keluarga korban yang kehilangan akibat lemahnya aspek keselamatan saat berwisata.
(mmu/mmu)