Judul Buku: The Socrates Express; Penulis: Eric Weiner; Penerbit: Qanita (PT Mizan Pustaka), November 2020; Tebal: 520 Halaman
Saya suka naik kereta dan selalu memilih untuk duduk di dekat jendela jika kursi masih tersedia. Saat kereta melaju, saya kerapkali terbenam dalam pemandangan-pemandangan di luar jendela. Ada hamparan sawah, sungai berarus deras, atau lembah-lembah yang masih hijau. Tapi, terkadang yang bisa dilihat adalah gedung-gedung tua, tumpukan sampah sisa pasar tumpah, hingga gubuk-gubuk reyot. Maka rasanya musykil bagi saya untuk tidak terbawa lamunan.
Kereta merupakan salah satu tempat yang nyaman untuk melamun. Dan kegiatan seperti itulah yang coba dilakukan oleh Eric Weiner, penulis catatan perjalanan (travel writer) yang sempat terombang-ambing dalam kegamangan hidup. Weiner mengaku pernah dilanda kemurungan yang pada akhirnya membawanya tenggelam dalam buku-buku filsafat. Di situ, dia 'dipertemukan' dengan buku Will Durant, The Story of Philosophy.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Buku tersebut bukan buku yang memicu decak kagum. Namun, Will Durant mampu mengantarkan Weiner untuk bertualang mengunjungi ruang-ruang megah filsafat warisan para filsuf raksasa, dari Socrates, Marcus Aurelius, Nietzche hingga Rousseau.
Petualangannya pun dimulai dengan menumpangi kereta. Weiner menuliskan catatan petualangannya dalam buku The Socrates Express yang versi terjemahannya telah diterbitkan oleh Penerbit Qanita.
"Aku menumpang kereta api untuk mengganti ritme kehidupan, untuk mengingatkan seperti apa rasanya mengulur-ulur waktu," tulis Weiner saat memulai petualangannya. Weiner naik kereta, merenung --atau mungkin lebih pas disebut melamun-- dan menuliskan semua lesatan pikirannya saat mengunjungi rumah gagasan para filsuf.
Uniknya, dia membuat semua judul bab dalam buku ini layaknya buku 'how to' untuk menyoroti kebiasaan sehari-hari para filsuf. Seperti, 'Bagaimana Bangun dari Rebahan seperti Marcus Aurelius?', 'Bagaimana Bertanya seperti Socrates?', 'Bagaimana Berjalan seperti Rousseau?' atau 'Bagaimana Melihat seperti Thoreau?' Melalui judul-judul bab tersebut, Weiner ingin memasuki gagasan filsuf dengan mengenal biografi mereka. Semuanya direnungi saat Weiner berada dalam kereta yang sedang membelah udara musim dingin.
Ada sejumlah trivia menarik yang saya temukan dalam paparan Weiner ini. Salah satunya seperti kebiasaan Nietzche --ya, filsuf yang bilang Tuhan telah mati itu-- bangun saat fajar dan membasuh muka dengan air dingin, meminum segelas susu hangat, dan pekerja sampai pukul 11 siang. Atau ada juga soal Immanuel Kant yang bangun pada pukul 5 pagi, ngeteh, mengisap pipa tembakau lalu bekerja.
Cara Weiner memasuki lorong gagasan para filsuf juga menarik. Marcus Aurelius yang selama ini saya kenal sebagai salah satu pelopor filsafat stoikisme, ternyata punya pandangan menarik tentang dilema bangun dari rebahannya. Setelah orang terbangun dari tidurnya, lalu apa yang mesti dilakukan? Melanjutkan hidup? Bekerja? Atau apa? Dilema-dilema ini coba diangkat oleh Weiner dalam renungannya. Dan saya kira, dilema rebahan Aurelius itu tak kalah menarik dari saran Albert Camus tentang Sisyphus yang harus dibayangkan berbahagia meskipun terjerat hukuman mengangkat batu ke puncak berulang kali.
Lalu, karena judul buku ini adalah The Socrates Express maka aneh rasanya jika Weiner tak berpanjang-lebar soal filsuf paling kepo itu. Socrates, filsuf yang dikenal suka menanyai orang-orang di Agora zaman Yunani Kuno itu, dibahas oleh Wiener dalam porsi yang cukup lumayan panjang dalam buku ini. Laku hidup Socrates diblenjeti satu per satu. Weiner lantas membandingkan, bagaimana kearifan dalam bertanya yang sudah dimulai oleh Socrates beratus-ratus tahun yang lalu, kini sebenarnya merupakan barang langka.
Weiner membandingkan 'kearifan pertanyaan' yang dimulai oleh Socrates dengan teknologi digital artificial intelligence (AI) bernama Siri. Kita, kata Weiner, hanya bisa mengajukan beragam pertanyaan kepada Siri. Tapi yang kita dapat adalah informasi, bukan makna.
Weiner juga bercerita tentang Rousseau yang hobi keluyuran dengan berjalan kaki. Berjalan kaki merupakan napas dari filosofi Rousseau: kembali ke alam. Sebab, berjalan kaki itu sendiri merupakan kegiatan alamiah manusia, jauh sebelum manusia menemukan alat transportasi.
Tapi, yang paling menarik bagi saya dalam buku ini ialah ketika Weiner menapaktilasi hidup Thoreau. Saya baru tahu bahwa nama Thoreau juga bisa dilabeli sebagai filsuf. Karena selama ini saya hanya mengenalnya sebagai orang yang memilih hidup radikal dengan meninggalkan peradaban manusia dan memilih tinggal di hutan sendirian. Semua pengalaman Thoreau selama hidup di hutan itu dituangkan dalam buku berjudul Walden.
Thoreau ternyata bukan sekadar anak alam yang mencoba menyucikan diri dari peradaban manusia yang tercemar. Dia adalah seorang pengagum filsafat timur yang gemar melihat secara perlahan-lahan. Thoreau pernah berdiri seharian penuh menatap sebuah kolam hanya untuk mengamati seekor katak. Ya, hanya mengamati katak itu, dari gerakan sampai keheningannya. Kegiatan yang barangkali sukar sekali dilakukan oleh manusia-manusia modern yang terus diburu oleh perubahan.
Buku yang ditulis Weiner ini terasa cukup personal bagi saya. Banyak kegiatan-kegiatan sederhana seperti berjalan kaki, mengamati sesuatu dengan lamat-lamat, sampai rutinitas bangun dari tidur, sesungguhnya mengandung nilai filosofi tinggi. Filosofi tak hanya kita peroleh dari ruang-ruang kebudayaan nan adiluhung. Justru filosofi yang kita petik dari kegiatan sederhana itulah yang bisa kita rangkai untuk menciptakan makna.
Namun, hal-hal sederhana seperti itu kini bisa menjadi sebuah kemewahan. Kini, kita bisa mencoba mulai dengan bertualang bersama Weiner lewat buku ini. Memakai sepatu, berjalan kaki, naik kereta api, dan kita bebas memilih ingin singgah di stasiun mana saja. Tanpa takut tersesat.
Rakhmad Hidayatulloh wartawan detikcom
(mmu/mmu)