Dengan kepercayaan tersebut, desa tempat Indotang tinggal menjadi tempat yang subur bagi perkawinan anak di bawah umur. Perkawinan anak di desanya wajar dan biasa saja. Dan di tengah kewajaran itu, sambil berjualan sayur Indotang mengampanyekan risiko perkawinan anak di bawah umur kepada ibu-ibu pelanggannya. Kurang lebih 7 tahun sampai sekarang Indotang berkampanye, dan ia berhasil. Kini di desanya mulai tumbuh kesadaran akan bahaya perkawinan anak. Para orangtua di sana jadi lebih peduli pada anak.
Apa yang dilakukan Indotang, bagi saya, adalah bagian yang hilang dari upaya menyelesaikan perkawinan anak. Memang betul tingginya perkawinan anak di Indonesia disebabkan multidimensi persoalan. Seperti kata Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam Rakor Hasil Pengawasan Implementasi Dispensasi Kawin Usia Anak Virtual, 2 Desember 2020, bahwa tingginya perkawinan anak disebabkan oleh ekonomi dan kemiskinan, nilai budaya, regulasi, globalisasi (perilaku remaja), dan ketidaksetaraan gender." Namun, yang agaknya dilupakan, perkawinan anak adalah perkawinan manusia dengan manusia yang direstui oleh orangtuanya yang juga manusia. Perkawinan anak juga terjadi karena faktor manusia.
Contoh paling nyata untuk itu adalah perkawinan anak yang dimintakan dispensasi ke pengadilan. Regulasi terkait perkawinan anak selalu menempatkan orang ua sebagai kunci terjadinya perkawinan anak. Orangtua sebagai kunci ini kian ditegaskan dan diperlebar oleh regulasi terbaru, yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Kunci perkawinan anak tidak hanya orangtua anak tetapi juga orang ua calon suami anak.
Perma itu mengatur bahwa yang mengajukan permohonan dispensasi kawin adalah kedua oran tua anak dan baru bisa diajukan oleh salah satu saja jika ayah atau ibu anak sudah meninggal atau tidak diketahui keberadaannya. Jika kedua orangtua sudah meninggal atau dicabut kekuasaannya, permohonan dispensasi kawin barulah bisa diajukan oleh wali anak.
Perma tersebut juga mewajibkan orangtua/wali calon suami anak hadir di persidangan untuk dimintai keterangan. Kehadiran ini menjadi syarat formil beracara, yang jika tidak dipenuhi, permohonan dispensasi kawin yang diajukan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Regulasi tentang perkawinan anak secara tegas menuntut adanya restu dari orangtua/wali anak dan orangtua/wali calon suami anak. Artinya, perkawinan anak tidak akan terjadi jika orangtua/wali anak dan atau orangtua/wali calon suami anak tidak merestui perkawinan anak.
Kenapa orangtua mengajukan permohonan dispensasi kawin untuk anaknya, apakah semata-mata karena masalah ekonomi? Bahwa menikahkan anak berarti mengurangi beban hidup orangtua karena "beban" (baca: anak) dan tanggung jawab dialihkan kepada suami anak? Ternyata bukan.
Pada tahun 2018, Australia Indonesia Partnership For Justice (AIPJ) 2 pernah melakukan penelitian dengan menganalisis putusan dispensasi perkawinan terhadap 13.880 perkara. Hasilnya, yaitu 31 % karena anak perempuan sudah hamil; 25 % karena kedua anak sudah saling mencintai; 21 % karena anak berisiko melanggar nilai agama; 16 % karena anak sudah melakukan hubungan seksual; 8 % karena anak melanggar nilai sosial; dan 4 % karena anak berisiko berada dalam hubungan seksual.
Penelitian tersebut kian menegaskan bahwa orangtua sebetulnya bisa mencegah terjadinya perkawinan anak. Keenam faktor di atas bermuara pada satu hal, yaitu ketidakmauan orangtua melihat anaknya melanggar nilai agama dan sosial. Aneh bin ajaib jika langkah yang ditempuh oleh orangtua kemudian adalah dengan menikahkan anak, seolah tidak ada tujuan lain bagi anak selain hamil dan menghamili. Jika kehamilan anak secara sosial menyudutkan orangtua ke dalam satu pilihan saja, yaitu menikahkan anak, maka orangtua yang tahu bahaya perkawinan anak, peduli dengan anak, akan berusaha dengan penuh tanggung jawab untuk mengawasi anaknya agar tidak berisiko hamil di luar nikah.
Bukankah orang ua tidak mungkin mengawasi anaknya terus menerus karena harus bekerja? Memang, setiap orangtua memang harus mencari nafkah sehingga tidak mungkin mengawasi anaknya terus menerus. Namun, apakah setiap orangtua yang bekerja anaknya pasti hamil di luar nikah? Tentu tidak.
Persis di sinilah kenapa Indotang menjadi penting. Ia langsung menyasar jantung permasalahan yang mulai dilupakan itu; manusia, yang dalam hal ini para orangtua atau ibu-ibu pelanggan sayur Indotang. Sejauh ini belum ada strategi nasional yang melibatkan berbagai elemen masyarakat guna "mencekoki" para orangtua akan bahaya perkawinan anak, untuk lebih peduli pada anak. Padahal itu mungkin dilakukan.
Sebagai pengingat, di masa lalu, negeri ini pernah melakukan upaya serentak dan berkesinambungan untuk mencapai satu tujuan. Melibatkan semua elemen masyarakat dan pemerintahan dari tingkat pusat hingga RT, dan usaha itu berhasil. Namanya program KB.
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini