Ada kepercayaan di masa lalu apabila anak sakit-sakitan salah satu upaya adalah mengganti nama. Hal ini dialami juga oleh Soekarno, yang awalnya bernama Koesno Sosrodihardjo, dan setelah berganti nama akhirnya menjadi orang besar. Akankah lembaga riset juga mengalami hal serupa? Departemen dan BUMN yang paling sering berganti nama dan kita saksikan bersama hasilnya tidak seperti pengalaman Bung Karno.
Waktu mengawali reformasi birokrasi di LIPI, Laksana Tri Handoko memiliki jargon yang sering diucapkan pada berbagai kesempatan, "Jangan loyal pada lembaga, tapi loyalah pada profesi." Akhirnya LIPI yang setelah berusia 54 tahun kini harus hilang dan melebur menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama LPNK lainya.
Terlalu awal memang bila memprediksi masa depan BRIN, tetapi persoalan yang fundamental dari lembaga riset, dan saya kira semua organisasi, adalah kualitas SDM. Mau berganti nama atau melakukan restrukturisasi seribu kali pun bila SDM-nya tidak berkualitas akan tetap saja "memble". Tetapi bila SDM berkualitas, secara otomatis organisasi atau lembaganya akan terangkat.
Waktu mengawali reformasi birokrasi di LIPI, Laksana Tri Handoko memiliki jargon yang sering diucapkan pada berbagai kesempatan, "Jangan loyal pada lembaga, tapi loyalah pada profesi." Akhirnya LIPI yang setelah berusia 54 tahun kini harus hilang dan melebur menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama LPNK lainya.
Terlalu awal memang bila memprediksi masa depan BRIN, tetapi persoalan yang fundamental dari lembaga riset, dan saya kira semua organisasi, adalah kualitas SDM. Mau berganti nama atau melakukan restrukturisasi seribu kali pun bila SDM-nya tidak berkualitas akan tetap saja "memble". Tetapi bila SDM berkualitas, secara otomatis organisasi atau lembaganya akan terangkat.
Bung Karno sering mengatakan, "Anasir terpenting yang menentukan nasibnya suatu bangsa ialah kualitasnya dan kuantitasnya ia punya kemauan." (Di Bawah Bendera Revolusi II, hal. 102). National Aeronautics and Space Administration (NASA) misalnya, yang didirikan pada tahun 1958 oleh pemerintah Amerika, sampai hari ini namanya tetap NASA, tidak pernah berubah, tetapi riset-riset dan proyek penjelajahan ruang angkasanya semakin maju.
Biasanya para ilmuwan kurang peduli dengan masalah kelembagaan. Saya pernah menulis tentang kemasygulan ilmuwan kita dalam menyikapi hilangnya Dewan Riset Nasional. Kali ini para ilmuwan ramai bereaksi dengan pro dan kontra bahkan banyak yang terguncang karena kenyamanan yang selama ini dinikmatinya terancam.
Restrukturisasi kali ini seperti saringan untuk memilah mana ilmuwan profesional dan mana ilmuwan amatir. Ilmuwan profesional adalah mereka yang sudah memiliki bukan lagi paten atau invensi tetapi produk yang layak pasar. Mereka pun sudah paham dengan ekosistem riset Tanah Air sehingga institusi riset mereka perlukan hanya untuk identitas dan legitimasi, bukan untuk aktualisasi apalagi mencari posisi. Oleh karenanya restrukturisasi tidak berpengaruh karena mereka sudah bisa berselancar dalam gelombang perubahan.
Ilmuwan amatir resah gelisah karena statusnya juga didapat dari kemudahan administrasi pengumpulan angka kredit yang diperoleh dari menulis paper atau paten yang biasanya ditulis oleh tim yang jumlahnya antara enam sampai dua belas orang. Paten yang dihasilkannya juga biasanya paten yang tidak layak pasar yang penting terdaftar resmi di Kementerian Hukum dan HAM. Mereka bekerja serba minimalis hanya sekadar mengejar target output yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan minimalis juga.
Ditambah lagi ada isu bahwa mereka yang belum berstatus doktor akan tergusur karena BRIN hanya akan menerima limpahan dari lembaga lain yang sudah doktor. Mereka inilah yang merasa takut terguling dan tergulung oleh gelombang perubahan
Tapi yang paling hangat dibicarakan adalah masalah struktur organisasi terutama untuk posisi Dewan Pengarah. Perpres No. 33 tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional memuat bahwa Ketua Dewan Pengarah yang ex oficio berasal dari unsur Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang sekarang ini dijabat oleh ketua partai.
Dengan struktur seperti itu khawatir bahwa lembaga riset diperlakukan hanya sebagai alat indroktinasi dan alat legitimasi ilmiah bagi kebijakan-kebijakan penguasa. Kemerdekaan berpikir atau independensi riset, salah satu syarat penting bagi para ilmuwan, akan diberangus apabila tidak sesuai dengan kebijakan penguasa. Misalnya apabila jabatan-jabatan politis seperti Dewan Pengarah dan Pelaksana, mulai dari kepala sampai eselon satu atau deputi, diisi oleh para politisi maka pendanaan dan kebijakan akan tergantung pada arahan garis partai politik.
Apabila kekhawatiran-kekhawatiran itu benar-benar terjadi, maka dunia riset tidak akan mengalami kemajuan bahkan mungkin akan semakin buruk atau menjadi petaka. Pada saat menyampaikan pidato penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 19 September 1951, Bung Karno berkata: "Bagi saya, ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi kepada praktek hidup manusia, atau prakteknya bangsa, atau praktek hidupnya dunia kemanusiaan."
Akhirnya semua tergantung kepada political will pemerintah dan profesionalisme para peneliti untuk membangun iptek demi kemandirian bangsa. Semoga restrukturisasi lembaga riset ini "didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas," sebagaimana bunyi amanah Pembukaan UUD 1945, bukan untuk kepentingan politik praktis semata.
Suherman Analis Data dan Informasi Sains Pusat Data dan Dokumentas Ilmiah LIPI
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini