Larangan mudik pada Hari Idulfitri tentunya berimbas pada tertahannya jutaan orang di rantau. Meskipun jumlah pemudik dari Jakarta sendiri diperkirakan lebih dari 1,5 juta orang, jumlah perantau yang tidak mudik dipastikan jauh lebih banyak dibanding sebelum pandemi Covid-19.
Aliran penduduk dari satu wilayah ke wilayah lainnya akan diikuti dengan aliran uang. Dalam konteks mudik, perantau atau migran akan membawa uang yang diperolehnya dari hasil kerja kerasnya untuk dibelanjakan di kampung halamannya. Keputusan pemerintah dalam mengatasi penyebaran Covid-19 sedikit-banyak akan mengurangi uang yang beredar secara langsung di daerah asal para pemudik. Tertahannya pemudik membuat pertumbuhan ekonomi menjadi tersendat karena mudik Idulfitri sudah pasti menciptakan redistribusi ekonomi dari kota ke desa.
Pemerintah hingga saat ini masih secara masif mengimbau hingga melarang penduduk untuk melakukan mobilitas. Bahkan perkembangan terakhir, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 melarang mudik di wilayah aglomerasi baik lintas provinsi maupun dalam satu wilayah kabupaten/kota. Ketua Satgas Doni Mardono dalam satu kesempatan menyebutkan bahwa dana yang seharusnya digunakan untuk mudik dapat ditransfer ke kampung halaman untuk menggerakkan perekonomian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Migran Internasional
Dalam kaitannya dengan perantau di luar negeri, atau kerap disebut dengan migran internasional, kiriman uang ke kampung halamannya disebut dengan remitansi. Kiriman atau aliran remitansi ini menurut Bank Dunia merupakan sumber penting untuk mendukung kondisi keuangan suatu wilayah.
Remitansi merupakan bentuk keterikatan sosial-ekonomi migran dengan daerah asalnya. Migran mengirimkan remitansi sebagai bentuk tanggung jawab moral dan sosial bagi keluarga yang ditinggalkan. Uang yang diterima oleh keluarga di kampung halaman dapat digunakan untuk kebutuhan rumah tangga untuk keperluan sehari-hari, kesehatan, pendidikan, hingga dimanfaatkan sebagai modal usaha. Remitansi sebagai luaran dari migrasi penduduk pada gilirannya akan berdampak pada kesejahteraan keluarga migran dan pembangunan daerahnya.
Hingga saat ini, remitansi di daerah-daerah kantong migran masih menjadi salah satu sumber utama bagi penghidupan para keluarga migran. Apalagi melemahnya situasi perekonomian di masa pandemi Covid-19 yang berkepanjangan ini. Remintansi dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan segari-hari hingga pembangunan fisik seperti perbaikan rumah, jalan swadaya hingga masjid.
Hasil penelitian Tim Migrasi Penduduk LIPI juga sudah menemukan bahwa remitansi mulai digunakan untuk pembangunan sumber daya manusia, terutama pendidikan anak-anak para pekerja migran internasional. Aliran uang hasil kerja keras pekerja migran internasional di berbagai negara ini sudah pasti membantu peningkatan taraf kehidupan di daerah asalnya.
Perantau Luar Kota
Selain kiriman dari luar negeri, migran internal yang bekerja di luar kota umumnya mengirimkan uang ke keluarganya di kampung halaman secara rutin. Paling tidak anak-anak masih rutin membantu finansial orangtuanya. Aliran uang dari rantau ke kampung halaman biasanya paling terlihat saat mudik Idulfitri.
Para migran yang mudik membelanjakan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan hari raya. Bahkan momen ini menjadi kesempatan bagi mereka untuk merenovasi rumah, membeli barang konsumtif seperti telepon genggam, televisi, hingga sepeda motor untuk keluarganya. Dalam masa mudik ini, perputaran uang di daerah asal migran sangat besar dan cepat.
Sebagai contoh migran dari salah satu desa di Kabupaten Kulon Progo hingga saat ini masih rutin mengirimkan uang ke kampung halamannya untuk keperluan pembangunan. Berdasarkan wawancara dengan salah seorang migran yang kini menetap di Jakarta, dirinya mengikuti komunitas yang rutin memberikan sumbangan untuk pembangunan kampungnya. Kegiatan terakhir para komunitas tersebut adalah melakukan pengerasan jalan di kampung mereka.
Selain kegiatan pembangunan fisik, mereka juga memberikan beasiswa bagi anak yang tidak mampu. Para migran percaya bahwa pembangunan sarana dan prasarana di kampung halamannya akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Begitu pula dengan pembangunan sumberdaya manusianya. Dalam hal ini, remitansi merupakan komponen penting untuk menyelaraskan migrasi penduduk dengan proses pembangunan.
Mudik Virtual
Seperti halnya tahun 2020, tahun ini mudik masih dilarang. Imbas dari larangan ini salah satunya adalah terjadi penurunan aliran uang atau kiriman dari rantau ke kampung halaman. Nominal uang yang beredar di daerah diperkirakan akan mengalami penurunan.
Namun para migran internal yang merantau ini seharusnya tetap bisa menggerakkan perekonomian kampung halaman dengan mentransfer uang untuk keluarganya. Perkembangan teknolgi dan perbankan saat ini sudah memungkinkan pengiriman uang secara cepat. Selain melalui bank, uang juga bisa ditransfer melalui dompet digital.
Kiriman ke kampung halaman ini menjadi pengganti kehadiran para migran. Kiriman uang ke kampung halaman dapat dimanfaatkan untuk keperluan di hari raya oleh para keluarga migran. Karena tidak pulang, maka biaya transportasi pun bisa dialihkan untuk tambahan kiriman uang. Aliran remitansi ini memperkuat hubungan migran dengan daerah asalnya. Hal ini menegaskan bahwa migran merupakan penduduk yang memiliki sifat bi-local population. Sejauh apapun mereka pergi, migran tetap membina hubungan dengan keluarga di daerah asalnya.
Kondisi pandemi yang tidak memungkinkan mudik dan bertemu secara langsung dapat digantikan dengan "kiriman" dan berjumpa secara virtual melalui teknologi komunikasi. Walaupun terpisah jarak, namun masih bisa merayakan hari raya secara virtual dengan keluarga di kampung halaman. Berjarak, tapi tetap bersama.
Inayah Hidayati peneliti mobilitas penduduk pada Pusat Penelitian Kependudukan LIPI
(mmu/mmu)