Lebaran memang telah usai. Kebutuhan pun mulai berangsur-angsur pulih seperti sedia kala. Bukan. Maksudnya bukan berarti keadaan sedang krisis saat Lebaran. Tapi memang kebutuhan sewaktu merayakan salah satu hari raya umat Islam malah meningkat, sekalipun masih dalam suasana pandemi.
Seperti penyediaan bahan pangan dan aneka jajanan khas hari raya, pembelian baju Lebaran bagi yang mampu, sampai mempersiapkan uang Tunjangan Hari Raya (THR) untuk anak-anak sekitar rumah maupun saudara-saudara yang masih kecil. Semua kebutuhan itu kadang merenggut nyaris semua isi dompet. Sehingga tak heran ketika selesai Lebaran kebanyakan orang malah bokek.
Teman saya, Mbak Dwi, sejak Hari Senin setelah Lebaran langsung tancap gas. Dia merupakan member salah satu produk kecantikan, Oriflame. Status di berbagai media sosial dia penuh dengan produk-produk Oriflame sebagai barang dagangannya. Bahkan sampai statusnya berbentuk titik-titik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belum lagi teman dunia permedsosan saya, Mbak Nia. Dia langsung berlari kencang dengan membuka lapak dagangannya di Facebook setelah libur 5-6 hari. Memang Mbak Nia dikenal sebagai "Juragan" Sambal HOT asal Pati. Mungkin dikarenakan pelanggan setianya kangen akan produk-produk masakannya setelah libur sepekan. Mungkin juga untuk mengejar modal dalam rangka bayar cicilan. Mungkin lho ya.
Bagi yang memiliki usaha seperti dua teman saya tadi, saya yakin mereka sudah memikirkan dan memperhitungkan modal jalannya usaha setelah Lebaran jauh-jauh hari sebelumnya. Namun, di sisi lain ada juga orang-orang yang tidak memiliki usaha. Mereka bergantung dari gaji dan pendapatan tetapnya. Jika mereka tidak benar-benar menghitung keuangannya, bisa saja setelah Lebaran dia tidak akan cukup memegang uang. Ujung-ujungnya mereka akan melakukan salah satu jalan pintas memperoleh uang, yakni berutang.
Saya sendiri sudah menerima beberapa pesan Whatsapp dari calon anggota terkait pengajuan pembiayaan utang. Ada yang ingin menggunakan BPKB motor, sertifikat, bahkan emas sebagai jaminan. Padahal pelayanan kantor belum buka.
Anggota koperasi saya bahkan sudah bertanya-tanya kapan kantor akan dibuka sebelum libur Lebaran. Saat saya bertanya balik, ada apa kalau kantor buka, jawaban umumnya mau berutang lagi buat tambah modal yang notabene lebih ke arah untuk pegangan saja.
Saya sudah bekerja di koperasi selama lima kali Lebaran ini. Setiap tahun ritme kerja ketika selesai Lebaran itu sama, bahkan cenderung meningkat --banyak sekali pengajuan utang dari masyarakat awam. Sampai pernah tempat duduk untuk menunggu giliran penuh, hingga meluber ke luar kantor.
Selain itu, kantor pun sudah mengantisipasi lonjakan pengajuan pembiayaan. Mulai dari mempersiapkan dana pembiayaan sampai skema pelayanan agar tidak terjadi desak-desakan.
Kadang saya berpikir, apakah sehabis hari raya itu memang ada suatu keharusan untuk berutang? Mengingat, kondisi saat Lebaran memang menjadi momen "menguras" keuangan.
Saya memiliki anggota bernama Pak Parsim. Dia sudah dua kali ini menjadi anggota peminjam. Kebetulan sudah lunas semua tanggungannya di koperasi . Terakhir sebelum Lebaran kemarin dia melunasi pinjamannya. Ketika melakukan transaksi, dia tanya ke saya, "Mas, nanti kalau sudah buka kantornya, saya dikabarin ya? Mau pengajuan lagi soalnya." Padahal baru saja melunasi sudah tanya ke depannya mau berutang lagi.
Tapi melihat kondisi ekonomi Pak Parsim di rumahnya, saya menjadi paham mengapa dia ingin berutang lagi setelah Lebaran. Pertama, dia merupakan buruh harian yang gajinya tidak tetap. Saat puasa sampai Lebaran libur, otomatis nyaris tidak ada pemasukan darinya. Kedua, istrinya adalah salah satu perangkat desa yang gajinya juga pas-pasan. Ketiga, anaknya banyak (tiga) sehingga pengeluaran di waktu Lebaran juga banyak.
Hal kontras terjadi pada salah satu anggota koperasi saya yang lain. Namanya Pak Kuswanto. Dia juga buruh harian. Umurnya 11-12 dengan Pak Parsim. Memang sih anaknya lebih sedikit dari Pak Parsim. Hanya saja, istri Pak Kuswanto bekerja sebagai penggarap sawah alias petani. Tapi, dia nyaris tidak pernah mengajukan pembiayaan setelah Lebaran.
Setelah saya observasi dan saling sharing, ternyata Pak Kuswanto lebih bisa mengatur keuangannya dibanding Pak Parsim. Rahasianya adalah menjelang puasa. Jadi, jauh-jauh hari sebelum masuk bulan Ramadhan, Pak Kuswanto sudah menyicil tabungan untuk keperluan puasa dan Lebaran. Berapapun nominalnya, dia masukkan ke tabungan.
Ketika masuk bulan puasa, uang yang dikeluarkan lebih sedikit dibanding hari-hari biasa. Keluarganya mengonsumsi lauk seadanya nan sederhana untuk berbuka puasa. Misal kita hampir berkali-kali beli kolak untuk sajian buka, keluarga Pak Kuswanto paling cuma sekali atau dua kali beli kolak. Saat Lebaran, dia membeli kebutuhan yang sederhana pula. Dia sekeluarga juga beli baju Lebaran, walau murah yang penting bersih dan nyaman dipakai. Lalu jajanan khas Lebaran dia beli seperlunya saja. Tidak muluk-muluk seperti kita yang jajanannya bertoples-toples.
Pengaturan dalam hal keuangan dari Pak Kuswanto seperti itu menyelamatkannya dari kesulitan ekonomi pasca-Lebaran. Bahkan bisa dibilang kondisi keuangannya sangat stabil. Dia tak perlu repot-repot menyiapkan berkas untuk pengajuan pembiayaan setelah Lebaran.
Sebenarnya kita juga bisa meniru apa yang dilakukan Pak Kuswanto. Dia cuma seorang buruh harian, tapi juga seorang perencanaan keuangan yang andal. Kuncinya satu, Pak Kuswanto dan keluarga tidak gengsi dengan kehidupan yang sederhana.
Jika menuruti gengsi, saya yakin akan banyak terjadi pengeluaran saat berpuasa, apalagi saat Lebaran. Menu berbuka harus ini dan itu, lalu banyak jumlahnya. Padahal seteguk air saja sudah menimbulkan rasa kenyang dan melepas dahaga. Lalu saat berlebaran beli baju bagus dan mahal. Toh ujung-ujungnya juga dipakai setiap ada momen tertentu. Atau bahkan teronggok di lemari.
Hidup sederhana bisa menyelamatkan diri dari bayang-bayang berutang. Apalagi pascahari raya, kondisi ekonomi masih belum benar-benar stabil seperti hari-hari biasa. Belum lagi pemenuhan kebutuhan pasca-Lebaran yang perlu diperhatikan. Uang saku untuk kerja, misalnya.
Tapi kalau terpaksa berutang, ya tidak apa-apa. Yang penting sudah dipikirkan matang-matang, bagaimana mengangsurnya sampai pada pelunasan. Semua harus direncanakan baik-baik dan tanpa ada paksaan dari pihak selain keluarga. Jangan sampai timbul masalah ketika sudah terjadi akad pembiayaan.
Toh kalau berutang, itu malah justru membantu kami-kami yang bekerja di lembaga keuangan. Poin demi poin bisa kami raih demi insentif yang lumayan. Jadi putuskanlah sendiri mau berutang atau tidak. Hidup juga buat mencari apa, ya to?
Hepi Nuriyawan Kepala Divisi Pembiayaan dan Risiko pada sebuah koperasi simpan pinjam pembiayaan syariah di Purwokerto
Tonton juga Video: Cerita Ustaz Solmed yang Kehabisan Uang Karena Pandemi Corona