Hari-hari ini, saya sedang mengalami sedikit patah hati. Bukan karena efek kecelakaan puber kedua atau sejenisnya, tenang saja. Melainkan gara-gara saya mengikuti sebuah akun Instagram.
Akun IG yang saya maksud itu milik Katheryn Winnick, aktris Kanada. Belum lama juga saya kenal si rambut pirang itu. Semata-mata karena salah satu series mula-mula yang saya tonton di Netflix adalah Viking, dan Katheryn jadi salah satu pemeran utamanya.
Di Viking, Katheryn tampil sebagai Lagertha. Dia perempuan pendekar bangsa Viking, skjaldmaer alias "gadis perisai", istri dari Ragnar Lothbrok tokoh legendaris Nordik.
Setelah menyimak sekian episode, saya betul-betul terpesona kepada Lagertha. Dia sosok perempuan yang cantik dan seksi luar biasa, penuh gairah meluap-luap. Tapi ia juga perkasa, kokoh, independen, gesit, dewasa, tenang, penuh perhitungan, dan segenap kualifikasi lain yang membuatnya jadi antitesis rival asmaranya yang lebih menampilkan diri sebagai "putri-putrian", yaitu Princess Aslaug.
Dari situ saya penasaran dengan pemerannya, dan ketemulah Katheryn Winnick berikut akun Instagram-nya.
Tapi, imajinasi tentang Lagertha seketika runtuh di mata saya. Bagaimana pun, akun itu akun Mbak Katheryn, bukan akun Lagertha. Maka seharusnya saya tak perlu kecewa ketika sosok yang saya intip-intip di akun itu adalah seorang perempuan gaul, kadang selfie dengan gaya centil, dan saya tidak melihat ada Lagertha-Lagertha-nya di sana.
Akhirnya saya sadar, saya memang ngefans berat kepada Lagertha, tapi sama sekali tidak ngefans sama Katheryn Winnick. Sialnya, ketika saya nonton Viking lagi, kedahsyatan persona Lagertha itu sudah dicemari oleh ingatan saya akan siapa sebenarnya di balik Lagertha. Imajinasi saya pun koyak-moyak, sensasi menonton Viking jadi rusak.
Ini memang murni kesalahan saya, dan saya cuma mengulang jenis kebodohan yang sama meski berbeda bentuknya. Sebab dulu kala, saya pun pernah berada pada situasi menyebalkan yang mirip seperti ini.
Ceritanya, saya membaca sebuah buku yang keren sekali. Itu buku tentang renungan-renungan seseorang, dengan kualitas refleksi yang luar biasa dalam, penuh kejutan pikiran, dilambari khazanah pengalaman hidup yang begitu kaya. Belum lagi cara dia bertutur. Aduh. Penulis yang sekaligus berposisi sebagai narator tunggal di buku itu sempurna sekali membawakan dirinya sebagai pribadi bijak bestari bagai sufi, dengan karakter yang tenang, dingin, persetan dengan ingar bingar di sekitar, dan selalu membawa pembacanya kepada palung yang dalam tapi penuh gejolak kegelisahan.
Hingga kemudian buku itu didiskusikan di sebuah acara di Jogja, dan sang penulis agung direncanakan datang. Sepenuh semangat saya pun berangkat malam-malam, berusaha mendapatkan kursi terdepan. Dan, ketika sang penulis pujaan saya itu muncul lalu mulai bicara, oh Tuhan. Ternyata cara dia berbicara berikut warna suaranya mengingatkan saya kepada burung prenjak. Ceriwis sekali, tak tampak aura tenang sama sekali, sungguh berlainan dengan ekspektasi yang telanjur saya tata dalam tumpukan imajinasi.
Sejak malam itu, saya tidak begitu bersemangat lagi untuk membaca karya-karyanya. Gaya tutur naratif dalam buku-buku itu tiba-tiba berubah total jadi suara ceriwis burung prenjak. Mati-matian saya melawan bayangan itu, tapi ternyata saya tidak mampu.
***
Idolatry memang bukan sesuatu yang rasional. Pada secuil sisi, ia mirip-mirip dengan spiritualitas. Dialami, dinikmati, tapi tak perlu dijelaskan "kenapa"-nya dengan bukti-bukti. Jadi kadangkala membongkar alasan-alasan untuk kekaguman itu muspra belaka. Malah ganjil ketika sebuah kekaguman dibenturkan kepada hal-hal yang tinemu nalar, yang logis, apalagi kemudian disusul dengan "faktanya begini lho ya."
Kenapa? Sebab dalam kepala kita, siapa pun yang kita kagumi itu sudah semacam setengah dewa, tak tersentuh, adimanusia. Dan mungkin semestinya dijaga saja agar selalu begitu.
Pada masa analog, saat media-media cetak berjaya, kekaguman jenis demikian bisa bertahan sangat lama. Saya membaca tulisan Goenawan Mohamad, misalnya, atau Seno Gumira. Kemudian saya terpukau, mabuk, larut dalam sensasi yang membawa saya kepada keinginan membanjirkan puja-puji. Tapi, puja-puji itu sebatas rerasan saja, tidak bisa saya sampaikan secara langsung. Kenapa? Karena saya tak punya akses kepada tokoh-tokoh itu. Saya tidak kenal dan tak mungkin bakal kenal dengan mereka.
Pada zaman itu, ada suatu jarak komunikasi yang terbentang panjang antara kita dan orang-orang yang karyanya kita kagumi. Jarak komunikasi itu akhirnya menciptakan pula jarak psikologis. Kita mengenal nama-nama mereka hanya lewat karya, bukan lewat realitas-persona.
Kemudian internet datang, dan media sosial menguasai segenap sendi kehidupan kita. Sosok-sosok setengah dewa itu pun turut riuh dalam ajang komunikasi level jelata. Akhirnya kita bisa membaca bukan cuma karya-karya adiluhung para idola kita, namun juga celetukan-celetukan mereka, komentar-komentar asal-ceplos mereka, dan sebagainya.
Media sosial telah membuka tabir yang semula menyimpan mereka rapat-rapat sebagai adimanusia. Kemudian kita terkejut, lalu menyadari bahwa mereka juga sama dengan kita, bisa mengobral umpatan, bisa selfie atau posting norak lainnya, bisa juga main blokir kepada siapa pun yang berbeda pandangan dengan mereka. Lalu kita pun bisa berkomentar dan berkomunikasi langsung di akun mereka, bahkan bisa ikut menempelkan jempol like atau angry di unggahan mereka.
Jarak psikologis yang semula membentang itu pun lesap, seiring dengan menara pemujaan yang runtuh perlahan-lahan. Ujung-ujungnya, kita cuma bergumam, "Halah, jebule ming ngono." Ternyata cuma begitu.
Itulah kenapa, kalau kita ingin tetap merasakan candu euforia dan sensasi rupa-rupa dalam pemujaan idola, rasa-rasanya memang perlu bagi kita untuk tetap menjaga jarak dari idola-idola kita. Apa yang "sebenarnya" itu tak lagi penting dalam euforia, dan tidak setiap hal perlu-perlu amat untuk dibongkar kebenaran di balik layarnya.
Pendek kata, ketika kita ingin terus bergembira, kita perlu merawat imajinasi dan membiarkan imajinasi tetap berhenti sebagai imajinasi. Sebab dari imajinasi itu tumbuh emosi dan obsesi.
Itu kalau ingin terus bergembira. Masalahnya, apakah kita melulu hanya ingin bergembira?
Ternyata tidak begitu. Kemudahan akses informasi atas segala hal membuat kita kehilangan kemungkinan untuk yang begitu-begitu. Akibatnya, ada peluang-peluang pemberhalaan yang tak ada lagi, dan ruang-ruang kegembiraan yang tak berumur panjang lagi.
Maka, ini bukan cuma berlaku bagi para pemuja. Bagi siapa pun yang bernafsu ingin dipuja pun kesempatan semakin sempit. Tak perlu lagi orang bercita-cita untuk dikagumi, sebab tak ada lagi idola-idola yang bernapas panjang di zaman ini.
***
Pada tahun-tahun itu, seorang kawan saya sangat tergila-gila kepada Dian Sastro. Sampai-sampai entah berapa kali dia berkirim surat kepada Si Cinta itu. Entah sampai atau enggak surat-suratnya, atau cuma ditumpuk di pos satpam rumah Dian.
Yang pasti, segalanya memuncak ketika suatu hari kawan saya mengumpulkan para penyair muda rekan-rekannya, untuk membukukan seratus puisi buat Dian Sastro. Benar, kalau cuma kekaguman saya kepada Lagertha, itu tidak ada seujung upilnya pemujaan kawan saya kepada Dian Sastro.
Sampai kemudian seorang kawan-dari-kawan datang dari Jakarta. Dia mendatangi kawan saya, mengatakan bahwa dia bisa mempertemukan langsung kawan saya itu dengan Dian Sastro.
Bisa dibayangkan betapa kagetnya kawan saya itu. Wajahnya memucat, puting beliung menghantam-hantam dadanya. Tapi kemudian, dengan suara gemetar dia menjawab: tidak. Tidak, biarkan tetap seperti ini "hubungan"nya dengan Dian Sastro. Dia tak mau segala obsesi dan imajinasinya runtuh hanya karena perjumpaan.
Seharusnya, saya ingat kejadian itu. Seharusnya, saya tak perlu iseng-iseng membuka akun IG Katheryn Winnick. Seharusnya, saya tidak datang ke diskusi buku Sang Sufi malam itu.
Tapi ya sudahlah, yang sudah ya sudah. Setidaknya, kalau ada yang mau mengajak saya untuk ketemu Chef Renatta, saya sudah berbulat hati untuk menolaknya.
Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)