Sulit menyelaraskan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan lembaga negara independen. Keduanya berada dalam langgam yang sama sebagai alat negara. Namun secara konsep keduanya memiliki perbedaan, tidak hanya dari definisi tetapi juga dalam rumpun kelembagaan.
Rumpun kelembagaan eksekutif akan selalu beriringan dengan ASN sebagai pelaksana tekhnis kelembagaan. Tentu berbeda dengan lembaga negara independen yang menyebutkan istilah kepegawaiannya dengan istilah pegawai lembaga negara independen atau spesifik menyebut kata 'pegawai' lalu menyebut nama lembaganya secara langsung, misalnya untuk tenaga sumber daya manusia (SDM) di KPK yang selanjutnya disebut sebagai pegawai KPK (sebelum perubahan Undang-Undang KPK).
Kelihatannya sederhana dan tidak terlalu begitu penting untuk menguraikan alur konsep ketatanegaraan antara ASN dan pegawai lembaga negara independen. Tapi wajib diketahui, masing-masing peristilahan membawa konsekuensi mendasar. Tidak saja pada penyebutannya, lebih dari itu juga menyangkut profesionalisme kelembagaan.
Betapa tidak, status kepegawaian ASN menunjukkan Presiden yang secara spesifik membawahi Kementerian Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN- RB) serta Badan Kepegawaian Nasional (BKN) --betapa Presiden menjadi sutradara dalam internal kelembagaan yang pegawainya merupakan ASN. Tentu berbeda lembaga yang independen dan pegawainya bukan ASN, maka akan tunduk pada selfregulatory body. Yakni diatur dalam sebuah aturan internal kelembagaan yang secara mandiri, tidak terikat pada kekuasaan mana pun termasuk pada kekuasaan Presiden sekalipun.
Kementerian Anti Korupsi?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kita kadang kala tidak tertib dalam menggunakan istilah lembaga negara. Harusnya genus suatu lembaga negara menjadi acuan untuk membentuk nomenklatur kelembagaan. Misalnya Komisi Yudisial (KY), sebuah lembaga negara independen yang ada di dalam UUD 1945 diberikan tugas menegakkan independensi dan integritas hakim.
Istilah "Komisi Yudisial" menunjukkan genus lembaga ini bersifat independen dan mengawasi hakim yang merupakan aktor penting dalam pengadilan. Maka seluruh pegawai KY harusnya bukan merupakan ASN, namun pegawai Komisi Yudisial. Makanya aneh jika pegawai lembaga negara independen disebut sebagai ASN. Sebab ASN hanyalah mereka yang secara administrasi berada di bawah presiden dalam hal ini SDM di kementerian negara.
Kejadian aneh serupa seperti KY terjadi pada KPK yang diklaim lembaga independen, namun seluruh pegawainya merupakan ASN. Logikanya pegawai di KPK harus tunduk pada UU ASN tentunya. Jika menjadi ASN, maka lembaga tersebut bukan lagi lembaga negara independen. Karena ciri penting dari sebuah lembaga negara independen adalah tidak menggunakan konsep ASN. Sehingga nomenklatur kelembagaannya harusnya berganti menjadi kementerian.
Secara prinsip tidak ada satu pun alasan mempertahankan nama KPK. Karena begitu UU No. 30 Tahun 2002 direvisi, maka secara prinsip KPK bukan lembaga negara independen. Jelas sekali genus kelembagaan KPK pasca berlakunya UU No. 19/2019 tentang KPK menyebutkan, KPK sebagai lembaga eksekutif yang menjalankan kewenangan secara independen. Maka relevan mengatakan KPK adalah Lembaga Eksekutif. Artinya jika pegawainya disebut sebagai ASN, maka sebaiknya namanya diubah menjadi "Kementerian Anti Korupsi" yang berada langsung di bawah Presiden.
Nantinya pimpinan Kementerian Anti Korupsi tidak akan diintervensi lagi oleh kekuatan pragmatis politik di DPR. Setidaknya sepenuhnya bisa mengharapkan political will Presiden. Konsep ini memang terkesan membunuh kelembagaan KPK, meskipun sekarang pun arah menuju kematian kelembagaan KPK sedang berlangsung. Setidaknya konsep ini sedikit menjauhkan Presiden dari intervensi politik di DPR.
Saya tidak mengatakan bahwa Presiden lebih baik dibandingkan DPR. Maksud saya adalah memilih konsep kelembagaan terburuk dari yang paling terburuk. Daripada memaksakan konsep kelembagaan KPK yang ada saat ini, dengan konsep yang kacau-balaunya sudah sangat kritis. Bagaimana mungkin ada pegawai ASN di dalam sebuah kelembagaan pemberantasan korupsi yang disebut independen?
Sedangkan fakta yang bermunculan sejak jauh sebelum Reformasi menunjukkan penyakit akut ASN tidak pernah hilang. Penyakit tersebut adalah budaya birokrasi yang merupakan antitesis lembaga negara independen. ASN sangat jamak dipahami kental budaya mutasi jabatan, sanksi yang lemah, dan menghambakan nepotisme ketimbang profesionalisme. Kemudian pelayanan administrasi yang berbelit-berbelit.
Sehingga dapat kita memahami bersama bahwa sangat tidak relevan memasukkan status ASN dalam sebuah lembaga negara yang konon disebut independen. Jika ingin menggunakan status ASN, maka sebaiknya KPK berganti nomenklatur menjadi Kementerian Anti Korupsi, bukan KPK.
Muh. Ilham Akbar, S.H mahasiswa Pascasarjana FH UII, aktivis anti korupsi
Simak juga Video: Busyro Muqoddas Kaitkan Polemik TWK KPK dengan Pemilu 2024