Sudah setahun ini ibu saya tinggal bersama saya di Solo karena sakit. Jadi, dua minggu sebelum Lebaran saya sudah menyicil mengirim sekardus baju baru untuk para buruh tani di desa. Saya yang biasanya pulang ke rumah untuk membawa baju-baju itu terpaksa dua kali Lebaran ini menyerahkan tugas tersebut kepada jasa ekspedisi. Saya menulis tweet tentang rasa syukur saya sudah melaksanakan kewajiban tiap tahun itu. Tanpa dinyana, ada tweet balasan yang membuat saya kaget.
"Wow banyak sekali bajunya, wah efek punya sugar daddy, sekarang tambah kaya dong ya?"
Saya kaget karena balasan tweet itu bukan dari teman akrab saya yang bernada bercanda. Tapi itu pernyataan serius dari seseorang yang benar-benar menganggap bahwa saya ini peliharaan om-om. Asem tenan! Lha wong tampang saya lho tidak ada tipe open-openane gadun. Sangat tidak sugar baby-able.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebenarnya latar belakang dia merespons seperti itu karena dulu sempat melihat status WhatsApp saya yang menampilkan tangkapan layar percakapan saya dan seorang mantan wartawan media ibu kota. Status WhatsApp bagi saya adalah media paling privat. Yang bisa membaca adalah teman akrab atau orang yang saya anggap aman. Kesalahan saya, saya lupa menyembunyikan kontaknya dari pengaturan status WhatsApp.
"Terima kasih buat semalam ya," begitu isi pesannya dengan foto bukti transfer. Saya menyensor nominal transfer dan menambahi keterangan begini: "Ha? Serius? Cuma nemeni ngobrol doang dibayar?"
Entah dia tidak memperhatikan keterangan tambahan saya atau memang julid level makrifat, saya dikira benar-benar "ada main" dengan om-om. Ditambah di Facebook saya sering guyon dengan seorang pakdhe-pakdhe idola ibu-ibu yang saya panggil "daddy". Panggilan itu sebenarnya hanya buat lucu-lucuan saja. Saya memang memposisikan diri seakan-akan menjadi sugar baby-nya. Teman-teman yang lama berinteraksi dengan kami berdua tentu saja paham kalau itu hanya bentuk kegemblungan kami berdua.
Tapi "teman" saya tadi mengira yang saya panggil "daddy" itu adalah orang yang sama dengan yang saya maksud di status WhatsApp. Padahal mereka dua orang yang berbeda. Dan tentu saja saya tidak pernah di-openi mereka berdua. Saya memang pernah menemani om mantan wartawan di wedangan langganan saya semalam suntuk. Semalam itu saya cuma mendengarkan dia curhat. Sesekali saya respons tipis-tipis. Pulangnya saya diantar dengan mobilnya. Pulang subuh, diantar om-om pakai mobil. Cocok sekali untuk bahan gibah.
***
Menjelang Lebaran, ada yang transfer sejumlah uang ke rekening saya sebagai ucapan terima kasih sudah mendengarkan curhatnya. Saya pun menulisnya di Twitter, bahwa gara-gara transferan itu saya bisa membeli sarung batik paling hits di kota Solo. Ternyata tweet saya direspons beberapa teman yang menceritakan pengalaman yang sama. Seorang mahasiswi mengaku dibayar seseorang untuk menemani istrinya ngobrol, sesekali respons tipis-tipis tidak apa-apa. Uang hasil upah mendengarkan itu katanya cukup untuk jajan selama kuliah online.
Teman saya satunya mengaku kalau baru saja ditransfer orang yang katanya untuk ganti ongkos taksinya. Dia kaget karena nominal transferan itu 10 kali lipat dari ongkos seharusnya. Dia memang diminta datang untuk mendengarkan curhat tentang hidup temannya yang ngenes. Satu lagi teman saya seorang kapster salon mengaku sering diberi tips lumayan di luar tarif salonnya karena dia dianggap enak diajak bercerita. Katanya, sepulang dari salon, pelanggannya merasa lebih fresh. Selain karena perawatan fisik juga plong sudah mengeluarkan unek-unek.
Saya sempat bertanya, memangnya masalah apa saja yang diceritakan? Kata teman saya, ya macam-macam. Paling sering soal perselingkuhan dalam rumah tangga. Dari pengalaman saya sendiri dan beberapa teman, saya jadi mikir, ternyata banyak orang yang butuh didengarkan curhat-nya. Didengarkan saja, tidak harus diberi solusi atas masalahnya. Dan, ternyata keahlian mendengarkan ini tidak semua orang memilikinya. Mendengarkan tanpa memberi penghakiman.
Tidak heran kalau ada orang yang sampai membayar orang yang dia anggap nyaman untuk bercerita. Teman saya ada yang bertanya tentang fenomena ini. "Apakah orang-orang ini tidak mempunyai teman dekat untuk berbagi cerita?"
Bagi saya pribadi, terkadang ada kondisi bagi saya tidak bisa berbagi dengan teman sendiri. Saya hanya mau curhat ketika teman saya sedang longgar waktu dan hatinya. Begitu pula ketika saya di-curhat-i, Harus dalam keadaan yang oke untuk menerima tumpahan cerita. Jadi ketika saya merasa sumpek dan harus segera mengeluarkan unek-unek dan kebetulan teman saya sedang sumpek sendiri, saya bercerita dengan orang yang benar-benar asing. Orang yang tidak ada kepentingan untuk menyebarkan cerita saya. Beberapa kali saya juga di-curhat-i orang yang benar-benar asing yang saya temui di kereta, bus, dan tempat-tempat umum lainnya.
Alasan lain, keahlian mendengarkan ini biasanya sepaket dengan mulut yang tidak "ember". Ada orang yang kurang beruntung tidak memiliki teman yang bisa menjaga rahasia. Jadi mereka lebih memilih membayar orang asing untuk mendengarkan curhat-nya.
Teman saya yang tinggal di Australia sampai mengompori saya, entah guyon entah serius, untuk merintis semacam helpline seperti di negara tempat ia tinggal. Katanya, pekerjaan mendengarkan memang layak dibayar. Orang butuh mengeluarkan unek-unek daripada membakar rumah orang. Di Indonesia, menurutnya hal itu sangat diperlukan karena, katanya, kegalauan orang-orang di tweetland sudah akut.
Teman-teman saya yang lain dengan nada guyon menyuruh saya untuk membuka jasa mendengarkan curhat dengan gratis dulu, lalu setelah itu bolehlah pasang tarif. Bahkan, ada yang mengaku pernah serius memasang tarif, tapi ternyata tidak laku. Haha. Katanya, dia terinspirasi selebgram Jonathan End yang membuka jasa mendengarkan curhat yang bertarif Rp 100.000/5 menit.
Saya teringat cerita dosen saya yang pernah kuliah di Amerika. Katanya, selama menjadi mahasiswa di sana, dia pernah ditanya profesornya, "Kamu mahasiswa dari Indonesia tapi kok selalu memperhatikan penjelasan saya ketika mengajar di kelas saya ya?" Dosen saya sampai bingung mau menjawab bagaimana karena tidak paham apa yang dimaksud.
Sang Profesor kemudian bercerita, selama menjadi dosen tamu di Indonesia dia sering kesal dengan kebanyakan mahasiswa Indonesia yang dia ajar sering bercerita sendiri ketika dia sedang memaparkan makalahnya. Sampai-sampai ketika dia bertemu mahasiswa Indonesia di Amerika dia sering membatin dengan nada kesal, "Huh, dasar Indonesia!"
Haduh, urusan mendengarkan bisa membawa-bawa negara ternyata. Mau protes sama profesor itu kok ya mengalami sendiri ketika protes dengan pemerintah di negara ini, tapi tidak didengarkan. Eh!
Tapi cerita dari teman saya yang bekerja sebagai buruh migran di Hong Kong lumayan membuat saya tidak insecure amat sebagai orang Indonesia. Justru teman saya menjadi duta mendengarkan. Ceritanya begini, nyonya bos teman saya itu senang sekali curhat ke teman saya. Blablabla nananina sampai dia puas. Teman saya pun mendengarkan dengan baik. Tapi ketika si nyonya meminta respons atau masukan dari teman saya dan teman saya benar-benar memberi pendapat, eh bu bosnya malah mainan handphone. Ketika lagi-lagi bu bos meminta masukan dan teman saya benar-benar merespons, eh malah bu bos berbicara sendiri dengan anaknya tanpa ngreken teman saya. Jelas saja lama-lama hal ini membuat teman saya malas dan hanya mengiyakan saja ketika bu bosnya cerita lagi.
Saya sepakat dengan teman saya yang mengomel ke bus bosnya tadi bahwa berkomunikasi memang bukan perkara mudah. Banyak yang pintar berbicara, tapi kurang pintar mendengarkan. Padahal yang namanya komunikasi itu ya bukan seperti Jalan Slamet Riyadi Solo atau perasaanmu padanya: searah. Komunikasi itu ya kegiatan timbal-balik, yaitu berbicara dan mendengarkan lawan bicara alias dua arah.
Kata teman saya, salah satu sebab yang menurutnya membuat orang susah untuk mendengar adalah sikap apatis terhadap lawan bicara. Menganggap dirinya lebih pandai, lebih berpengetahuan, bahkan lebih terhormat. Akhirnya ia menganggap tak perlu mendengar bahkan cenderung menjadi meremehkan lawan bicaranya. Bagi saya pribadi, terkadang mereka juga mempunyai nafsu untuk menggurui atau membandingkan dengan dirinya. Padahal orang yang bercerita kadang hanya butuh didengarkan, bukan untuk dihakimi.
***
Melihat banyak cerita di atas membuat saya menarik kesimpulan bahwa mendengarkan curhat ini benar-benar sesuatu yang layak dibayar. Jadi ketika ada yang sampai membuka jasa mendengarkan curhat dan ada orang yang memakai jasa tersebut, jangan ditertawakan. Mendengarkan curhat itu melelahkan. Saya jadi empati dengan teman psikolog yang mengaku sedang kehabisan energi setelah sesi konseling dengan klien. Mereka memang layak sekali dibayar untuk sesuatu yang dibilang "dengerin curhat doang".
Teman baik saya sampai ingin pindah kos karena tiap malam ia selalu direcoki mbak kosnya yang mengajak curhat tanpa melihat kondisi teman saya. Bukannya pelit, tapi bayangkan saja, pulang kerja dan capek ya inginnya istirahat, bukan diberondong cerita terus-menerus. Bahkan ketika teman saya buang air besar pun sampai ditunggui di depan pintu kamar mandi sambil terus bercerita.
Ada juga teman Facebook yang mengeluh burn out karena sering di-curhat-i, tapi ketika ia butuh curhat tidak ada yang gantian mendengarkannya. Memang mendengarkan curhat semelelahkan itu kok. Jadi bagi yang ingin curhat, bukan masalah ingin curhat-nya, dan justru malah lebih baik curhat saja daripada meledak, tapi juga tahu diri dan tahu waktu dengan orang yang di-curhat-i. Jangan membuat mereka hanya sekadar tempat sampah tanpa apresiasi. Apresiasi di sini tidak harus uang ya, sikap baik kepada yang di-curhat-i sudah cukup.
Saya jadi paham dengan sudut pandang orang-orang yang membayar orang lain atau memberi oleh-oleh karena mendengarkan curhat-nya. Dulu memang saya heran, tapi sekarang jadi mengerti mereka hanya ingin mengapreasiasi waktu kita untuk mendengarkan curhat-nya. Tidak semua orang nyaman dijadikan teman curhat. Beruntung kita yang mempunyai teman seperti itu. Teman yang enak dijadikan teman curhat adalah salah satu harta yang berharga. Kalau kebetulan tidak punya, mungkin bisa menghubungi saya. Tapi sebentar, saya pikir dulu berapa tarifnya. Apa harus kontan atau bisa nyicil.
***
Gondangrejo, 14 Mei 2021
Impian Nopitasari penulis cerita berbahasa Indonesia dan Jawa, tinggal di Solo
(mmu/mmu)