Lebaran itu bak pesta tepung. Bukan tanpa sebab saya mengatakan hal tersebut. Setelah sebulan penuh mengekang diri untuk melawan hawa nafsu, Lebaran menjadi momen penting untuk merayakan kemenangan. Kemenangan tentu saja identik dengan sesuatu yang menggembirakan. Kegembiraan sudah barang tentu cocok disandingkan dengan 'makan enak'.
Ketupat dan opor memang menjadi ikon di Lebaran hari pertama. Tapi, tak perlu waktu lama untuk beralih pada kukis yang sudah berjejer di meja. Dibanding makan berat, aneka olahan tepung menjadi pilihan di hari raya. Ukurannya yang mungil dengan aneka toping dan varian sungguh menarik hati. Apalagi bila sudah masuk mulut, nikmat Lebaran sungguh terasa.
Rasanya Lebaran memang belum afdal jika belum makan putri salju yang legit atau nastar yang asam manis. Stigma bahwa Lebaran identik dengan 'makan enak' membuat kukis dan kawan-kawan tak pernah kehilangan pangsa pasar. Lebaran menjadi waktu terbaik pengusaha makanan memasarkan dagangan. Dari yang sekaliber pabrik multinasional sampai industri rumah tangga berlomba memasang iklan open order sejak hari pertama bulan Ramadhan.
Belum lagi ibu-ibu yang kepengin menghadirkan hasil karya kue bikinannya di hari yang fitri. Pokoknya lebaran selalu meriah dengan produk pertepungan. Saking di mana-mana ada, sudah kayak pesta tepung, bukan?
Sebanding dengan hal itu, tentu pemerintah sebagai penyedia bahan pangan juga kebanjiran permintaan tepung. Bayangkan betapa banyaknya permintaan tepung khusus untuk menghadapi Lebaran ini? Melonjaknya permintaan permintaan pasar telah diantisipasi dengan impor dari tetangga sebelah lho! Jadi, jangan khawatir kita akan kehabisan stok tepung. Tidak ada istilah out of stock tepung. Pesta tepung Lebaran tetap selalu terjadi.
Padahal, pada beberapa orang, olahan terigu tak selalu menjadi kudapan yang nikmat. Banyak penelitian bahkan menunjukkan bahwa terigu mengandung gluten yang tidak bisa dikonsumsi oleh orang dengan alergi atau riwayat penyakit tertentu.
Ayah rekan saya misalnya, suka sekali ngemil kukis. Tapi, tidak lagi bisa mengonsumsinya karena terserang diabetes. Beberapa anak didik saya yang notabene berkebutuhan khusus juga memiliki kecenderungan tidak bisa makan makanan bergluten. Sungguh nelangsanya mereka tidak bisa menikmati makanan enak yang terbuat dari terigu ini. Padahal iklannya di mana-mana, produknya pun bertebaran di warung kelontong.
Wali murid saya pun akhirnya menginisiasi pembuatan cemilan ramah anak berkebutuhan khusus. Beberapa tahun lalu saya ngobrol virtual dengan seorang ibu yang anaknya mengalami gangguan autisme. Produk olahan susu dan terigu sebisa mungkin tidak dikonsumsi anaknya. Si ibu pun mencoba berbagai resep untuk memuaskan keinginan ngemil anaknya. Hingga berakhir dengan berdirinya rumah produksi makanan 'sehat' ala anaknya.
Dari berbagai panganan berlabel gluten free yang pernah saya coba, harganya akan jauh berbeda dari pada yang biasa kita temui di pasaran. Mengapa demikian? Ya jelas karena harga bahan bakunya tidak murah. Bahan-bahan yang digunakan hampir 75% lebih mahal dari yang biasa digunakan kebanyakan orang.
Ironisnya, berbagai bahan baku yang digunakan itu melimpah ruah di negara kita. Contohlah, tepung mocaf (modification cassava flour), tepung sorgum, tepung beras merah, tepung kelapa, dan aneka pati lainnya. Indonesia punya tanah yang ideal untuk menanam singkong, kelapa, sorgum, dan umbi-umbian khas daerah tropis.
Anehnya, aneka jenis tepung itu masih dikenal beberapa kalangan secara eksklusif. Bahkan tidak semua supermarket dan swalayan menyediakan. Perlu effort untuk mendapatkannya; saya perlu membuka marketplace untuk memperolehnya. Biasanya toko offline yang mengukuhkan diri 'organik'. Sungguh ironis bukan? Aneka produk pangan yang sumber utamanya dari tanah Indonesia justru dihargai mahal untuk penduduknya sendiri.
Pada beberapa event produk UMKM, pemerintah menyatakan dukungannya pada produk ini. Tapi langkah nyata belum juga terlihat. Buktinya masih di situ-situ saja penyebarannya. Saya berandai-andai jika produk tepung mocaf diiklankan di TV menggaet Raffi Ahmad dan Nagita Slavina. Sudah tentu produknya minimal bisa diperoleh di minimarket terdekat. Atau mengandeng Atta dan Aurel sebagai brand ambassador, tentu anak-anak muda akan langsung berbondong-bondong menjadi reseller. Sayangnya itu baru merupakan perandaian.
Kita mendapati segigit kenikmatan kastengel di hari raya. Tentu tak lupa pula ingin berbagi kebahagiaan dengan sesama. Sayangnya 'sesama' itu adalah warga lain negara. Penduduk penghasil terigu yang bersenang-senang. Sedang warga pelosok, petani desa masih menikmati singkong, ubi, jagung secara harfiah.
Jika saja pemerintah serius menggarap masalah pangan ini, tentu tepung mocaf dan tepung-tepung yang lain sudah meng-Indonesia. Tak perlu lagi pusing memenuhi lonjakan permintaan tepung terigu setiap Lebaran, karena produksi dalam negeri lebih dari cukup. Pemerintah bahkan membantu kesejahteraan petani, menambah lapangan pekerjaan baru, bahkan membuat penduduk Indonesia lebih sehat.
Ketika orang-orang 'kota' berpesta tepung saat Lebaran, orang-orang desa pun harusnya menikmati pesta panen dan pesta uang sekaligus. Kebahagiaan Lebaran menyebar dari kota ke pelosok. Penduduk kota berpesta dengan aneka produk tepung, masyarakat desa mendapat gelontoran laba hasil panen.
Nurul Noviyanti mantan orthopedagog, penyuka kukis
(mmu/mmu)