Pemerintah melarang mudik. Menjelang berlakunya aturan itu, banyak orang mendahului, mudik sebelum larangan berlaku. Konyolnya banyak juga yang masih nekat, mencoba menerobos kepungan petugas yang menghadang. Akibatnya sempat terjadi kemacetan parah di titik-titik penghadangan arus mudik.
Apa sih mudik itu? Apakah ini ritual ibadah yang sifatnya wajib? Bukan. Ini hanya kebiasaan saja. Tujuannya silaturahmi dengan keluarga, yang merupakan hal baik belaka. Tapi hal baik itu menjadi tidak baik dalam situasi tertentu. Karena itulah dikeluarkan aturan yang melarangnya. Tapi masih saja ada yang mencoba untuk melanggar.
Dalam konteks ibadah puasa, sikap seperti itu adalah sesuatu yang sebenarnya bertentangan dengan semangat puasa. Puasa itu adalah latihan pengendalian hawa nafsu, serta latihan untuk bersikap patuh. Memaksa mudik, mencoba melanggar larangan, tidak mencerminkan sikap orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu. Tidak pula itu mencerminkan sikap orang yang patuh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Banyak orang sulit menerima kenyataan bahwa kita harus hidup dengan cara yang berbeda sekarang. Padahal sebagian mereka sudah dipaksa bekerja dengan cara berbeda. Sebagian sudah menjalankan sistem bekerja dari rumah, tidak berangkat ke kantor. Alasannya sama dengan alasan yang membuat mereka tak bisa mudik. Mereka bisa terima kenyataan harus bekerja dari rumah, tapi sulit menerima kenyataan tak bisa mudik.
Apa masalahnya? Pola pikir. Mudik itu soal kebiasaan yang sudah berlangsung puluhan tahun dalam hidup seseorang. Lebaran adalah saat berkumpul dengan keluarga besar di kampung. Itu sesuatu yang nikmat dan membahagiakan. Kalau itu tak dilakukan, orang akan kehilangan kenikmatan. Sebagian orang tetap ingin menikmati itu apapun situasinya. Ia tidak mau kehilangan kenikmatan itu.
Sekali lagi, ini hanya soal mau atau tidak mengubah pola pikir. Apakah kalau tidak mudik sekarang tidak ada lagi nikmat silaturahmi? Sebenarnya tidak begitu. Kita bisa sedikit bersabar, menggeser jadwal cuti dan jadwal mudik, guna menghindari kerumunan besar. Kalau tidak ada kerumunan besar, akan lebih mudah untuk menjaga protokol kesehatan. Tapi banyak yang tak mau berpikir begitu.
Banyak orang yang menganggap pandemi ini tak ada, meski mereka menyaksikan berita soal matinya ribuan orang dalam sehari di India. Lagi-lagi itu soal pola pikir. Orang melihat fakta, tapi tak sanggup mengubah sikap sebagai respon terhadap fakta itu. Ia memilih sikap berbasis pada fakta lama. Ringkasnya, ini orang yang tidak mau beradaptasi.
Apa yang terjadi kalau kita tak mau beradaptasi? Punah. Sejarah bumi jutaan tahun sudah membuktikan bahwa yang bertahan hidup bukanlah yang terkuat, atau terbesar, tapi yang sanggup beradaptasi terhadap perubahan. Suka atau tidak, itu berlaku bagi semua makhluk hidup.
Secara sosial ekonomi pun berlaku demikian. Ada banyak perusahaan besar, bahkan negara besar, yang runtuh karena gagal beradaptasi terhadap perubahan. Sebaliknya, banyak yang menjadi besar karena sanggup beradaptasi, bersikap sesuai tuntutan situasi. Kita bisa kutip beberapa berita terkait soal itu sekarang.
Google diberitakan berhasil melakukan penghematan sebesar 1,5 miliar dolar AS setahun dari hasil menerapkan sistem bekerja dari rumah. China mengalami pertumbuhan ekonomi 18% per tahun setelah berhasil mengatasi pandemi. Apa yang bisa kita pelajari dari dua kenyataan itu?
Dalam hal China, mereka bisa mengatasi pandemi secara cepat, tanpa vaksin. Sesuatu yang gagal dilakukan oleh hampir semua negara. Seluruh dunia berhenti tumbuh, hanya China yang tumbuh sangat besar. Kenapa China berhasil? Karena negara dan rakyatnya berhasil menerapkan pola pikir yang tepat dalam menghadapi pandemi.
Hal yang sama bisa kita simpulkan pada kasus Google. Bagi Google, pandemi ini adalah sebuah keuntungan. Lagi-lagi karena mereka sanggup bersikap tepat, sesuai tuntutan situasi.
Nah, apa yang terjadi pada orang-orang yang gagal mengubah pola pikirnya, seperti orang-orang yang memaksa mudik tadi? Mereka akan jadi orang-orang yang tersingkir. Waktu akan membuktikannya.
(mmu/mmu)