"THR kapan cair?" sela seorang teman, sebelum Salat Dzuhur, di musala kantor, beberapa hari yang lalu. Banyak teman kerja mulai menanyakan hal serupa beberapa hari ini kepada saya yang kebetulan bekerja di bagian HRD pada hari-hari yang semakin mendekati Lebaran tahun ini.
Mereka khawatir, tahun ini THR tidak dibayarkan mengingat pandemi Covid-19 sudah setahun berlalu belum teratasi, dan keadaan ekonomi masih belum pulih seutuhnya. Mereka takut pemerintah akan mengeluarkan peraturan yang membuat THR bisa tidak dibayarkan. Padahal mereka sudah membuat rencana-rencana apabila THR nanti cair. Bisa kacau perayaan Hari Raya Idul Fitri mereka tahun ini apabila ditiadakan.
Teman lainnya bercerita, mengenai rencananya jika uang THR sudah cair. "Tahun ini THR-ku mau tak-belikan HP untuk anakku, Mas. Sudah dari akhir tahun lalu sudah merengek minta dibeliin HP baru. HP yang dipakai saat ini sudah sering hang, apalagi kalau dipakai untuk mengikuti jadwal pembelajaran jarak jauh sama gurunya, untuk buka aplikasi Zoom sudah ndak kuat. Jadi sering ngganggu bapak-ibunya untuk pinjam HP," katanya panjang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari situ saya malah jadi tertarik dengan teman-teman lainnya, bagaimana mengalokasikan dana THR mereka, terutama dari para pegawai yang gajinya menggunakan standar UMK. Ada teman yang ingin beli kursi sofa; dia habis pindahan, beli rumah subsidi yang harganya di bawah 150 juta itu. Di rumah barunya, dia belum memiliki kursi untuk ruang tamu. Ada lagi yang sudah mengincar barang elektronik untuk mengisi rumahnya, seperti kulkas dan kipas angin.
Kapan lagi, karyawan dengan gaji UMK bisa membeli keinginan-keinginannya, kalau bukan saat momen hari raya seperti ini, dari mendapatkan THR? Kapan lagi bisa mendapatkan 'gaji' utuh tanpa kena potongan-potongan? Ya potongan BPJS, ya koperasi, ya cicilan, yang biasanya sudah menanti ketika tanggal gajian tiba.
Walaupun tahun ini tidak boleh mudik Lebaran, bukan berarti uang THR tidak dibutuhkan. Karena selama ini, THR sudah menjadi rutinitas yang pasti mereka dapatkan setiap tahun. Juga sudah masuk perencanaan anggaran keluarga setiap menjelang hari raya tiba.
Orang-orang tidak hanya menganggap THR sekadar tunjangan semata. Tapi, lebih dari itu, THR sudah menjadi hal pokok. Terutama bagi karyawan yang gajinya pas-pasan; yang penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanan saja. Jadi, mana mungkin karyawan bisa ikut merayakan hari raya apabila hanya mengandalkan gaji saja?
Padahal jika kita lihat, gaji dengan standar UMK di Sragen, di daerah tempat tinggal saya, tahun 2021 ini besarannya Rp 1.829.500. Bisa dibayangkan, dengan upah hanya "segitu", atau katakanlah naik sedikit dari itu, untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga saja --mana cukup?
Maka kebanyakan orang-orang yang berpenghasilan seperti itu berusaha memiliki 'sampingan' selain kerja utama mereka di pabrik. Ada yang di rumahnya mereka nyambi beternak, dengan piara ayam, kelinci, kambing, atau sapi. Ada yang nyambi jadi ojek online. Ada yang jadi kurir pengantar laundry. Apapun dilakukan untuk menambah penghasilan agar kebutuhan sehari-hari bisa tercukupi.
Jadi setelah 8 jam bekerja, saat kembali ke rumah, mereka masih harus menguras keringat lagi di tempat lain. Setiap hari. Betapa hari ini, kebutuhan hidup menuntut mereka seakan hanya untuk mengejar uang semata!
Jika kita mengikuti berita, seharusnya kekhawatiran akan tidak adanya THR sudah terobati. Manakala Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah sudah membuat surat edaran terkait pembayaran THR tahun ini pada 14 April lalu. Bahwa perusahaan harus membayarkan THR kepada pekerja/buruhnya. Baik pekerja yang berstatus tetap maupun kontrak, dan bagi pekerja/buruh yang sudah melewati masa kerja 1 bulan. Tidak boleh lagi dicicil seperti tahun lalu, saat pandemi Covid-19 baru heboh-hebohnya.
Perusahaan harus membayar THR kepada karyawan maksimal H-7 hari raya keagamaan. Tapi, bagi perusahaan yang tidak mampu secara finansial untuk membayarkan THR sesuai waktu yang ditentukan karena terdampak pandemi Covid-19, boleh menangguhkan pembayaran THR maksimal satu hari sebelum hari raya keagamaan.
Pengusaha harus menunjukkan bukti-bukti, yaitu melaporkan keadaan finansial mereka secara transparan. Juga harus sudah melakukan dialog dengan karyawan, yang dibuktikan dengan tanda tangan secara tertulis yang memuat kapan perusahaan akan membayar THR-nya.
Jika perusahaan tidak membayar sesuai ketentuan di atas, akan diberikan sanksi. Bisa berupa denda, bisa pengurangan izin produksi, sampai penutupan izin usaha. Selain juga, tidak menghilangkan kewajiban perusahaan untuk tetap harus membayar THR kepada karyawannya. Sanksi tersebut membuat pengusaha harus berpikir dua kali apabila mau menangguhkan THR untuk para pegawainya.
Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan juga membuat Posko THR dari tingkat pusat sampai tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Tujuannya, memberikan pelayanan informasi, konsultasi, maupun pengaduan atas pelaksanaan pembayaran THR. Sehingga hak pekerja/buruh untuk mendapatkan THR benar-benar dibayarkan sesuai dengan ketentuan yang ada.
Saya sempat bertanya kepada seorang teman yang bekerja di HRD pada perusahaan padat karya, bagaimana rencana pelaksanaan THR di tempatnya tahun ini. Dia pun mengkonfirmasi bahwa tahun ini sepertinya akan dibayarkan full --tidak lagi dicicil seperti tahun lalu. Karena, perusahaan di tempatnya bekerja tidak ingin mendapatkan sanksi yang begitu berat apabila mangkir. Yakni, (denda) 5% dari biaya seluruh THR karyawannya.
Para pekerja di bawah barangkali tidak mengerti mengenai keuangan perusahaan, atau aturan mengenai pembayaran THR. Tahunya, hanya berharap perusahaan di tempat kita bekerja membayar THR tepat pada waktunya. Demi bisa melihat senyum anak-anak kita, bisa mengenakan pakaian baru untuk Salat Id di hari raya nanti.
Johan Hariyanto pegawai swasta di bagian HRD, tinggal di Sragen