Sejak dua tahun terakhir, berkali-kali saya ribut kecil dengan istri saya. Gara-garanya ada satu suara yang selalu menciptakan distraksi atas aktivitas kami masing-masing. Bukan suara tivi yang terlalu keras, bukan suara toa masjid yang membangunkan orang untuk sahur, bukan pula suara tangis anak saya. Melainkan suara seseorang di depan pintu rumah kami, bunyinya: "Pakeeet!"
Lalu kenapa sampai bikin saya ribut sama istri? Sebab kedatangan si Babang Paket itu tak pernah benar-benar masuk dalam skema rencana yang jelas. Mereka mirip seorang kawan lama yang di zaman 4.0 tiba-tiba nongol bertamu tanpa WA dulu, atau tetangga yang mendadak mengetuk pintu dan mengajak saya datang kenduri tanpa undangannya dikabarkan lebih dulu.
Dengan jadwal tak jelas itu, kalau toh ada kurir yang berkabar sebelumnya, biasanya bunyi pesannya: "Pak, saya dari Anu Express, ada kiriman buat Bapak Iqbal Aji Daryono dengan alamat bla bla bla. Estimasi kedatangan antara jam 9 pagi sampai jam 5 sore." Hellooo, kenapa estimasinya nggak sekalian antara tanggal 1 sampai 30 saja, Mas?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nah, dari situ Anda paham, kedatangan paket selalu merupakan kejutan, dan itu jenis kejutan yang wajib direspons dalam hitungan detik. Demi memberikan respons cepat itu, perdebatan pun dimulai. Istri saya yang mendengar suara Babang Paket, tapi saya yang dia suruh menerima. Saya dongkol. "Halah mbok kamu aja, tinggal buka pintu lho!" kata saya. Tapi Mbak Istri menyambar, "Wah aku nggak pake jilbab e, sana kamu!" Saya nggak mau kalah, "Lah aku nggak pake baju!"
Jogja gerah sekali. Saya kalau di rumah memang hampir pasti telanjang dada. Istri saya yang kesehariannya berjilbab tentu di dalam rumah tidak memakai jilbabnya. Anak perempuan saya sudah bisa sih disuruh-suruh, tapi kadang pakaian rumahnya pun kurang pantas untuk untuk ketemu om-om yang tidak ia kenal.
Hasilnya ya salah satu dari kami akan mengalah sambil bersungut-sungut. Begituuu terus, sampai entah kiriman paket ke berapa ratus. Itu belum lagi kasus spesifik lain. Misalnya pas saya sedang sendirian di rumah, si Mas Paket datang saat saya sedang tidur, lalu saya geragapan bangun karena suaranya. Atau ketika anak saya sedang nge-Zoom sekolah di ruang depan, dan di saat dia harus berkomunikasi dengan gurunya, tiba-tiba backsound "pakeeet!" nyelonong begitu saja.
Buat para kurir yang membaca cerita ini, jangan ngambek dulu. Saya tidak sedang memosisikan sikap para kurir sebagai sikap menyebalkan. Sama sekali tidak.
Harap tahu, saya pun pernah dua tahun penuh jadi kurir. Meskipun saya ngurir di Australia, beban pekerjaannya tak kalah beratnya. Saya pegang mobil van, per hari minimal lima puluh titik alamat harus saya bereskan, barang kirimannya jarang yang kecil-kecil, bahkan tak cuma sekali dua kali saya harus naik-turun tangga bolak-balik tiga kali untuk nge-drop berkardus-kardus kiriman cuma buat satu alamat saja.
Dalam situasi begitu, salah satu trik untuk bekerja cepat memang berteriak "Deliveryyy!" keras-keras tiap kali saya tiba di sebuah lokasi. Ya biar yang punya rumah lekas-lekas keluar. Tak peduli mereka sedang mandi, tidur, makan, atau aktivitas privat lainnya. Kalau ternyata mereka sedang tak di rumah, dan barang kirimannya tidak rentan pecah, saya lempar saja barang sialan itu ke dalam pagar sambil ngomel-ngomel.
Aduh, malah curhat kenangan kecut. Bukan itu maksud saya. Saya cuma mau bilang, tiba-tiba saya merasa bahwa ada ruang kebebasan yang hilang dengan kedatangan paket-paket itu.
Pada awalnya saya memilih berbelanja online, pencat-pencet aplikasi marketplace, dengan satu tujuan kepraktisan. Praktis, gampang, bebas dari kerepotan keluar rumah, bebas dari kemacetan, dan semuanya bisa ditunggu sambil rebahan. Artinya, memang ada orientasi bahkan obsesi atas kemudahan dan kebebasan yang saya pancangkan di awal ketika mengambil pilihan sikap berbelanja online. Seperti itu juga pertimbangan Anda, kan?
Tapi ternyata kemudahan dan kebebasan itu mirip ingar-bingar kenikmatan duniawi lainnya: semu belaka. Bahkan diam-diam yang sesungguhnya terjadi lumayan menyeramkan, yaitu kita telah mengorbankan banyak sekali ruang privasi kita. Kita membeli secuil kebebasan, sambil menyerahkan kebebasan lain dalam potongan yang jauh lebih besar.
Bayangkan, anak-anak saya saja saya larang keras mengganggu ketika saya tidur siang. Tapi kurir paket bisa! Saya marah-marah kalau anak atau istri saya keceplosan mengajak saya ngomong waktu saya sedang di kamar mandi. Tapi jangankan cuma ngajak bicara, kurir paket malah bisa memaksa saya membuka pintu kamar mandi, membuat saya tergopoh-gopoh keluar dengan berbalut handuk saja, untuk menerima kirimannya! Dahsyat sekali kekuatan mereka.
Ah, tapi mungkin saya ini cuma telat sadar saja. Sebenarnya pola seperti ini sudah terjadi sejak agak lama.
Saya ingat, dulu ketika masih bekerja kantoran, beberapa kali saya perlu menjumpai bos saya. Datanglah saya ke ruangannya. Tapi Mbak Sekretaris mencegat. "Mas, Pak Bos lagi nggak bisa ditemui. Lagi meeting tuh di ruang sebelah. Eh, atau ditelpon aja ke HP-nya, Mas! Pasti malah diangkat!"
Hahaha. Rapat rahasia yang serius, yang semestinya merupakan wilayah sangat privat dari bos saya, dengan mudah saya interupsi pakai panggilan telepon. Kemudahan berkomunikasi itu telah merampas privasi dia.
Model demikian terulang lagi dalam skala yang lebih masif belakangan ini. Kita tahu, karena pandemi, banyak karyawan kantor pada bekerja dari rumah. Mereka bebas dari rutinitas perjalanan pagi, bebas dari perjuangan berebut celah sempit di KRL, bebas dari klakson-klakson galak, bebas dari polusi yang menyergap paru-paru. Bahkan mereka bebas dari tata kepantasan sosial buat mandi pagi, buat berpakaian rapi, buat menyemprotkan minyak wangi.
"Wah enak banget sekarang ya, kalian kerja dari rumah. Bebaaas! Hemat waktu, hemat tenaga, hemat ongkos, dan tetap gaji Jakarta!"
Tak saya sangka, malah gerundelan yang meluncur dari mulut mereka.
"Kata siapa? Kalau di kantor kerjaan bisa diberesin dari pagi sampai sore. Lah, kalau WFH, Bos Besar bisa ngajak nge-Zoom kapan saja! Pas lagi pacaran tahu-tahu datang panggilan buat Zoom saat itu juga. Sudah santai-santai, eh diajak nge-Zoom lagi jam delapan malem! Di rumahnya sih di rumah, tapi jam kerjanya malah tambah nggak jelas!"
Saya kepingin tertawa sekeras-kerasnya. Para Bos Besar dan Babang Paket itu ternyata sama perkasanya, dan ruang-ruang kebebasan serta privasi yang kita bayangkan itu ternyata abal-abal belaka. Hahaha!
Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)