Pemerintah telah memutuskan untuk melarang mudik pada Lebaran tahun ini. Pergerakan seluruh moda transportasi pun dibatasi mulai tanggal 6 hingga 17 Mei 2021, meskipun ada pengecualian untuk pergerakan kendaraan di perkotaan atau kabupaten. Tujuannya untuk mencegah penyebaran Covid-19 di daerah tujuan mudik. Dan demi tujuan kesehatan itu, Indonesia rela "membuang" kontribusi ekonomi mudik ratusan triliun terutama untuk daerah Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Terakhir, terbetik berita Menparekraf Sandiaga Uno menyebut, pemerintah berencana untuk membuka akses wisatawan mancanegara melalui kebijakan travel corridor arrangement mulai Juni mendatang. Sebagai bukti keseriusan, Kemlu sudah membuat panduan untuk kesepakatan bilateral baik itu mengenai level vaksinasi, level terinfeksi Covid-19, kesiapan protokol, tracing, hingga asuransi. Kemenkumham menyiapkan aturan visa, dan Kemenparekraf sendiri sudah menyiapkan destinasi yaitu Bali (Nusa Dua dan Ubud) dan Batam (Lagoi, Nongsa).
Kita belum mengetahui secara tepat bagaimana detail dari rencana pembukaan akses kunjungan wisatawan mancanegara ini, tapi sepertinya masih terasa ada napas "belum bulat" atau "kurang percaya diri" untuk kebijakan ini. Hal itu bisa dimaklumi, sebab ini memang sesuatu yang baru, yang bisa saja menempatkan pemerintah pada posisi sulit jika terjadi, misalnya, lonjakan kasus baru Covid-19.
Keraguan yang sama juga terjadi pada PM Inggris Boris Johnson yang awalnya pede untuk membuka kembali perjalanan internasional mulai 17 Mei 2021, namun kemudian dinilai ragu-ragu oleh kalangan penerbangan sehingga Jet2 harus membatalkan rencana penerbangannya hingga 23 Juni 2021. Menurut pihak Jet2, kerangka kerja untuk memulai kembali perjalanan internasional itu belum jelas dan tidak memiliki detail yang cermat. Misalnya, kapan akan mulai terbang, ke mana akan terbang, ketersediaan dan biaya tes yang terkait dengan kesehatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kasus Inggris, ke mana warga Inggris diberikan lampu hijau untuk melakukan perjalanan menjadi sangat penting. Negara-negara itu harus "hijau" dan tidak tertinggal dalam langkah kesehatan masyarakat seperti vaksinasi. Sebaliknya, tentu saja wisatawan asal negara itu akan lebih aman jika berkunjung ke Inggris. Entah benar atau tidak, Inggris konon lebih memilih Malta, Portugal, Israel, Amerika Serikat, UAE, dan Australia ke dalam daftar negara itu. Indonesia tidak ada di sana?
Tidak perlu berkecil hati, dalam kondisi Inggris yang masih darurat Covid-19 kita juga belum butuh mereka saat ini. Meskipun Inggris sejak 2019 lalu menjadi penyumbang ke-9 terbesar wisman ke Indonesia, namun kita bisa mencari partner lain yaitu Malaysia, China, Singapura, Australia, Jepang, dan Korea Selatan yang terbukti sebagai negara yang menyumbang wisman terbesar bagi Indonesia.
Kita sudah melakukan berbagai pembicaraan mengenai travel bubble atau Travel Corridor Arrangement (TCA) dengan sejumlah negara seperti Malaysia, Singapura, dan negara ASEAN lainnya. Karena itu dalam konteks pariwisata, kita memang harus selektif, karena ini juga akan berkaitan dengan regulasi lain seperti visa dan penanganan kesehatan. Berikut ini adalah beberapa usulan pemikiran.
Pertama, sebaiknya jangan ragu. Yakinlah dengan kebijakan ini; lakukan persiapan dengan detail-detailnya dan laksanakan. Selebihnya kita lihat dan awasi. Harap disadari pandemi ini tidak ada seorang pun yang bisa meramalkan kapan akan segera pulih. Itu sebabnya tidak bisa seorang pun akan menunggu sampai "normal" 100 persen, sebab hidup terus berjalan dan ekonomi harus berputar.
Mungkin juga kita harus terbiasa dengan virus ini dan harus menerimanya sebagai bagian dari hidup kita, bahkan kita harus bersiap manakala muncl lagi pandemi lainnya. Kita harus beradaptasi dengannya, bukan pasrah atau berdiam saja. Karena itu, sudah tepat kita mendorong pembahasan travel bubble ini ke dalam satuan destinasi, bukan negara. Bali dan Kepri, sudah itu saja dulu dalam tahap awal. Perluasannya ke destinasi lain seperti NTT, misalnya, bisa dipertimbangkan di tengah jalan.
Artinya, kunjungan itu hanya untuk destinasi itu saja dan tidak diperkenankan untuk berpindah ke destinasi lain. Kasus Maladewa menjadi menarik. Negara kecil yang memiliki 1.190 pulau karang dan lebih dari 150 resor kelas atas yang sepenuhnya bergantung pada pariwisata itu telah membuka negaranya untuk kunjungan wisatawan asing sejak Juni 2020, saat banyak negara dunia yang melesat dari sisi jumlah penderita Covid-19. Keberanian ini memiliki risiko, namun juga membuat ekonomi Maladewa tetap berjalan, dan bertahan di tengah terpuruknya negara-negara lain.
Dengan sekitar 25 dari 166 resor Maladewa masih ditutup, jumlah pengunjung nasional secara keseluruhan masih turun pada tingkat sebelum pandemi, tetapi meningkat tajam pada paruh kedua 2020. Pada Agustus tercatat 7.636 kedatangan, turun 94,5 persen dari tahun sebelumnya; tapi pada Desember ada 96.412 pengunjung, turun hanya 43,7 persen. Menariknya, justru pada 2020 diperoleh peningkatan kunjungan untuk beberapa negara tertentu seperti dari Inggris naik 20 persen pada Desember dibandigkan tahun sebelumnya, dari Rusia naik 73 pesen, dari Kazakhstan dan Ukraina naik 220 persen dan 99 persen.
Bagaimana dari sisi risiko kesehatannya? Kalau dilihat dari statistik, Maladewa pernah mengalami kasus Covid-19 tertinggi yaitu 215 kasus pada Agustus 2020, namun perlahan menurun menjadi 8 kasus pada 21 Desember 2021. Pada akhir tahun 2020 dan awal 2021 mengalami kenaikan berkaitan dengan banyaknya wisatawan yang datang, namun angka kenaikan itu hampir sama dengan rata-rata kasus pada Agustus 2020 dan mencapai angka tertinggi 300 kasus pada 1 April 2021, dan mengalami penurunan sampai pada hari ini.
Apa artinya? Dari statistik itu dapat dilihat meskipun wisatawan asing dibuka, namun sebenarnya tidak ada kasus yang terlalu melonjak signifikan dan dapat terkendali. Contoh lainnya pada periode September sampai Desember 2020, meskipun kunjungan wisman meningkat, tapi jumlah kasus positif Covid-19 di Maladewa justru paling rendah bahkan mencapai titik terendah yaitu delapan kasus tadi.
Kedua, buat aturan yang lebih fleksibel agar menarik. Pengaturan itu mulai dari saat booking yang memungkinkan keberadaan wisatawan bisa di-tracking, aturan lama kunjungan dalam visa, kebijakan karantina saat kedatangan, asuransi kesehatan, protokol kesehatan yang wajib dilakukan, dan seterusnya. Penerapan aturan yang moderat sangat dibutuhkan di sini.
Di Maladewa diterapkan visa on arrival untuk semua pengunjung internasional tanpa ada keharusan karantina saat tiba, tapi ada prosedur yang harus ditaati yaitu mengenakan masker wajah di semua ruang publik dalam ruangan. Kebijakan ini terlalu liberal, misalnya jika dibandingkan dengan Thailand yang cukup rewel dengan menerapkan 14 hari karantina, dan berbagai aturan lain yang rumit dan berbiaya sangat mahal.
Ketatnya kebijakan tersebut diyakini menjadi penyebab rendahnya kunjungan wisman ke Thailand yang mulai membuka diri dari kunjungan wisman sejak September 2020. Data menunjukkan hanya 1.201 pengunjung asing yang berkunjung ke Thailand pada Oktober 2020, bandingkan jumlah 3,07 juta kedatangan di bulan yang sama tahun lalu. Dari 1.201 wisman itu, kebanyakan berasal dari China 471 orang, tetangga Kamboja 231 orang, Timur Tengah 178, dan 116 dari Eropa.
Kunjungan itu jauh lebih rendah daripada kunjungan yang diterima Maladewa pada bulan yang sama yaitu lebih 21.000 wisman, berbanding 141.928 pada bulan yang sama tahun 2019. Bahkan pada Desember 2020, ketika kunjungan ke Thailand hanya 6.556 orang, kunjungan ke Maladewa melonjak menjadi 96.412 orang yang makin mendekati angka kunjungan normal tahun sebelumnya yaitu 171.348 wisman pada bulan yang sama.
Artinya, regulasi yang terlalu ketat --terutama terkait masalah rekening bank dan asuransi hingga lamanya karantina-- telah mempengaruhi keputusan untuk berwisata pada masa pandemi Covid -19.
Ketiga, fokus pada pengendalian manusia dan penanganan kesehatan di tingkat mikro. Ketersediaan dokter dan sarana prasarana kesehatan di tingkat mikro seperti hotel atau destinasi yang lebih kecil menjadi sangat penting. Kemudian bagaimana secara praktis 3 M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) dan 3 T (testing, tracing, treatment) dapat dijalankan dengan baik.
Itu sebabnya, dalam pembukaan kembali kunjungan wisatawan mancanegara dibutuhkan dukungan sumber daya baik itu manusia maupun peralatan termasuk dukungan teknologi. Kalau ini bisa dipersiapkan dengan baik, maka jangan ragu, laksanakan saja. Seperti lampu jalan, kita harus mengatur lampu merah, kuning, atau hijau sepanjang waktu. Saat butuh berhenti kita akan nyalakan lampu merah, dan jika dianggap lancar bisa tetap menyalakan lampu hijau.
Saatnya berjalan, bukan berdiam diri.
Jones Sirait peminat geografi dan pariwisata, mantan wartawan, tinggal di Jakarta
Tonton juga Video "Kemenkes: Selama PPKM, Pelaku Perjalanan Internasional Meningkat":