Rasa Bersalah atas Dosa yang Tak Dilakukan

Sentilan IAD

Rasa Bersalah atas Dosa yang Tak Dilakukan

Iqbal Aji Daryono - detikNews
Selasa, 27 Apr 2021 19:57 WIB
iqbal aji daryono
Iqbal Aji Daryono (Ilustrasi: Fihril Kamal/istimewa)
Jakarta -

Pernahkah Anda disiksa rasa bersalah, tapi untuk sebuah dosa yang sebenarnya tidak pernah Anda lakukan?

Saya pernah. Dan rasanya sangat tidak enak. Mirip-mirip saat kita merasa gatal pada satu bagian tubuh kita, tapi kita tidak tahu di mana letak persisnya. Jadinya, alih-alih menggaruk, kita malah cuma bisa meringis campur bengong campur frustrasi.

Itu yang menimpa saya sore itu. Seorang kawan menelepon sambil tertawa-tawa, tapi saya mengendus aroma getir pada tawanya. "Aduh Maaas, jiaan aku habis kapusaaan, kena tipuuu! Hahaha!"

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bengong pertama saya langsung muncul. Kena tipu kok malah ngakak? Bentar, bentar. Ada yang ganjil ini.

Akhirnya kawan saya itu, sebut saja Mbak Ari, menceritakan semuanya. Jadi pagi harinya, dia dapat panggilan dari nomor tak dikenal. Mbak Ari pun mengangkatnya, bersama suami di sebelahnya. Ternyata, di seberang sana muncul suara yang cukup akrab di telinga mereka.

ADVERTISEMENT

"Mbak Ari, aku Iqbal. Sori nomorku eror, ini barusan ganti. Mbak, aku dapat kesempatan lelang barang bagus ini. Total nilainya dua ratus juta. Aku sudah patungan sama teman-teman, tapi duitnya masih kurang delapan belas juta. Mbak Ari mau gabung? Hasilnya lumayan lho ini, Mbak."

Mbak Ari langsung semangat. Jelas sekali yang dia ajak ngobrol itu Iqbal yang dia kenal. Suaranya ya suara Iqbal, selama ini dia juga tahu kalau si Iqbal bukan jenis tukang ngemplang atau tukang ngutang-lantas-ngilang, dan ajakan "investasi" yang disampaikan Iqbal itu cukup menggiurkan dan masih bisa dia usahakan.

Tanpa mikir kelamaan, Mbak Ari segera transfer ke nomor rekening yang diberikan "Iqbal". Wuzzz, delapan belas juta meluncur, melayang jauh, dan tak akan pernah kembali lagi. Setelah itu, nomor "Iqbal" tak bisa dihubungi.

Saya melongo mendengar cerita itu, seiring benih-benih kebingungan-untuk-bersikap yang mulai tumbuh. Saya harus bilang apa? "Ya Allah Mbaaak. Lha suaraku kan ya kamu apal to Mbaaak??"

"Maas, suaranya itu plek ketiplek suaramu, Mas. Aku sama bojo-ku juga blas nggak kepikiran itu suara orang lain. Suwer!"

Saya lemas. Langsung saya teringat peristiwa sebulan sebelumnya, ketika seseorang yang mengaku kawan saya di Medan menelepon saya, tidak mau sebatas texting Whatsapp. "Ini Firda, Mas Iqbal. Firda Medan. Firda yang mana lagi? Pinjem duit satu juta bentar ya Mas, buat bayar SPP nih."

Saya memang kenal seseorang bernama Firda di Medan, yang juga jadi teman saya di Facebook. Tapi pertama, jelas dia tak lagi kuliah. Kedua, hubungan saya dan Firda relatif formal, ketemu baru sekali, tidak ada semacam kedekatan personal. Sementara nadanya di telepon tadi terkesan berusaha meyakinkan saya bahwa dia beneran Firda yang saya kenal dekat. Ketiga, saya sudah sering mendengar kasus pinjam satu-juta-sebentar macam itu.

Yang saya kagum, dia berani menelepon, bahkan memaksa untuk menelepon. Artinya, Firda KW di sana itu sudah sangat pede, yakin bahwa suaranya persis dengan Firda Ori. Lebih jauh lagi, artinya sindikat tukang tipu itu sudah menemukan cara untuk menirukan suara!

Maka, badan saya semakin lemas di hadapan Mbak Ari. Yang dia kirimi delapan belas juta itu Iqbal KW, dengan warna suara yang sembilan puluh sembilan persen sama dengan suara Iqbal Ori.

Lalu dari mana mereka tahu suara saya? Tentu saja gampang. Bisa dari video-video yang saya unggah di Facebook, Instagram, lebih-lebih lagi di Youtube. Apalagi kelas-kelas online saya juga memakai fitur pesan suara, dan ribuan file-nya bisa tersebar dengan mudahnya.

Tapi kita tidak hendak membicarakan modus operandi sebuah jaringan kriminal. Yang mau saya ceritakan adalah perasaan saya.

Saya tahu delapan belas juta itu tidak sedikit, dan Mbak Ari bersama suaminya bekerja keras untuk itu. Saya tahu bahwa Mbak Ari sedang apes, kena tipu para garong. Saya tahu bahwa saya tidak tahu-menahu, dan tidak punya kontribusi apa pun dalam peristiwa penipuan itu.

Brengseknya, di saat yang sama saya juga tahu bahwa suara sayalah yang dipakai buat menipu!

Jadi, apakah secara objektif saya bersalah? Tidak. Tapi, apakah lantas saya steril dari rasa bersalah? Tidak juga. Rasa bersalah itu malah terus menyergap saya, mencekik leher saya, tanpa saya bisa menjelaskan alur logikanya. Ingin sekali saya meminta maaf kepada Mbak Ari, tapi minta maaf untuk apa?

Lalu, begitu kata-kata yang keluar dari mulut saya cuma semacam ucapan turut prihatin, timbul rasa jijik saya pada diri sendiri. Masak cuma prihatin? Bukannya suara saya biang keroknya?

Dari sisi Mbak Ari, situasinya pun tak kalah awkward. Pasti Mbak Ari juga tidak mau saya meminta maaf kepadanya. Saya bayangkan dia akan bilang, "Minta maaf kenapa, Mas? Jelas bukan salahmu. Ini salahku sendiri, terlalu lugu dan gampang kena tipu."

Tapi, kalau saya tidak meminta maaf dan sekadar bersimpati atau berempati, pasti rasanya juga kurang. Empati itu kalau yang dapat musibah adalah orang lain di luar diri kita. Padahal, dalam kasus Mbak Ari itu, ada bagian dari diri saya yang terlibat, meski di luar kemauan saya. "Lha wong yang bikin aku ketipu itu suaramu lho!" Saya membayangkan seolah-olah Mbak Ari akan ngomong begitu.

Entahlah. Saya bingung, putus asa, frustrasi. Ternyata bahasa manusia masih bolong, belum menyediakan cara untuk mengekspresikan rasa bersalah atas suatu dosa yang tidak kita lakukan.

Yang semacam ini juga pernah terjadi pada bapaknya teman saya. Ceritanya, bapak teman saya itu senang dengan perkutut. Di rumahnya ada beberapa tiang tinggi tempat menaruh sangkar perkutut. Nah, suatu kali, ada pedagang burung datang. Si pedagang menawarkan perkutut mahal, mungkin kalau sekarang ya senilai seratus jutaan.

Bapaknya teman saya menolak. Dia tidak kepingin menambah koleksi burungnya, dan tidak punya anggaran untuk itu. Tapi si pedagang ngotot ingin menunjukkan betapa dahsyatnya suara perkututnya. Bapak teman saya tetap menolak. Tapi si pedagang dengan mantap berjalan ke arah tiang sangkar perkutut, mencantolkan sangkar ke tali, dengan yakin mengerek naik perkutut mahalnya, lalu...

Sangkar yang sudah naik tiang lumayan tinggi itu tiba-tiba lepas dari tali, kemudian meluncur jatuh. Bruakkk! Pintu sangkar pecah, terbuka, dan...perkutut seratus juta itu melesat merdeka menuju angkasa.

Si bakul burung mematung. Syok. Bapaknya teman saya juga ikut mematung. Syok. Segera tumbuh rasa bersalah pada diri bapak teman saya.

Sialnya, lagi-lagi itu rasa bersalah yang penuh kebimbangan, sebab dosa penyebabnya tak pernah ia lakukan. Satu-satunya "kesalahan"nya adalah karena tragedi itu terjadi di dalam rumahnya. Itu saja. Tapi bukankah itu memang rumahnya, dan tiang sangkar burung itu juga tiangnya? Lalu bagaimana bisa ia lepas sepenuhnya dari perasaan berdosa?

Dari kemarin saya mikir-mikir, mencari jalan keluar atas beban siksaan hidup seperti itu. Apakah selama ratusan tahun para leluhur kita tidak pernah mengalami pola kejadian yang sama, sehingga dalam khazanah bahasa pun tak ada cara untuk menyampaikan ekspresi yang tepat dan menyelesaikan semuanya?

Kejadian-kejadian seperti tipuan delapan belas juta atau burung perkutut yang terbang ke angkasa itu cuma contoh-contoh kecil, sebenarnya. Nanti akan terus bermunculan kejadian-kejadian baru. Yang lebih berat, yang lebih serius. Bahkan saya merasa dari tragedi gugurnya 53 pemuda di kapal selam usang kemarin itu pun sedikit muncul jenis rasa yang agak sama di ulu hati kita. Rasa yang tidak cukup diikuti dengan bersedih. Tidak cukup dengan empati. Ada perasaan berdosa, meski bukan kita pelakunya.

Memang sebenarnya lebih enak buat mereka yang berdosa sekalian. Pilihan-pilihannya jelas. Dosanya bisa ditelusur, kesalahannya bisa diukur. Mau meminta maaf caranya jelas, kalau mau dihukum aturannya juga pasti jelas.

Atau, kalau mau mangkir dari beban dosa caranya pun jelas. Tinggal lakukan saya protokol kesehatan: sebersih-bersihnya mencuci tangan.

Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads