Sebelum Siddhata Gautama mencapai puncak pencerahan nirwana, di masa kecilnya ia pernah diajak ayahnya untuk menghadiri aktivitas pembajakan tanah yang oleh masyarakat setempat dianggap sebagai ritual di masa tanam pertama tahun itu.
Siddhata kecil yang duduk tidak jauh dari ritual tersebut sedang termenung di bawah pohon jambu. Ada yang sedang dipikirkannya dari apa yang dilihatnya, yaitu tunas muda yang patah oleh mata bajak dan banyak serangga yang terbunuh dalam aktivitas itu.
Dua peristiwa tersebut yang kemudian membuatnya mengalami kesedihan yang mendalam. Seolah-olah saudaranya sendiri yang meninggal. Pengalaman ini yang membuatnya memiliki rasa empati yang tinggi hingga mencapai pelepasan pikiran atau kemudian disebut dengan cetto-vemutti. Pada fase ini Siddhata merasakan suka cita rasa kemanusiaan yang mengalir dalam dirinya, membuatnya menjadi sosok pengasih kepada sesama makhluk hidup.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masyarakat Urban
Bila merenungi pengalaman Siddhata Gautama dalam konteks hubungan manusia, binatang, dan tumbuhan ada sebuah korelasi yang seharusnya menjadi paduan yang harmonis, sekaligus saling melengkapi peran dan fungsinya menyelaraskan kehidupan di bumi.
Tapi, kemudian menjadi sebuah hal yang paradoks dengan terjadinya ketimpangan yang sangat parah. Mengedepankan orientasi serba visualistik yang dibungkus pernak-pernik materialisme dan kapitalisme, kecenderungan yang sering tampil adalah sikap apatis dan individualistik.
Bila diperhatikan di kota-kota besar, gedung-gedung berlomba menjulang tinggi. Menular ke kota-kota besar kelas dua melakukan hal yang sama. Pemukiman warga semakin terhimpit keberadaannya. Perumahan elit semakin meninggikan pagar rumahnya, sebagai pembeda kelas ekonomi-sosial.
Di situlah kesenjangan dapat ditemui. Sikap ramah tamah antartetangga kemudian menjadi hal yang langka ditemui. Bila pun ada, itu hanya sekadar seremonial pada acara-acara tertentu. Sisanya menguap entah ke mana. Tanpa menyadari ia adalah makhluk sosial yang hidup dalam komunitas masyarakat yang luas dan beragam.
Tidak terhenti di permasalahan urban, hutan pun tak luput untuk dibabat habis sampai ke akar-akarnya. Tanpa memberikan kesempatan anak-cucu untuk meneduh dan menikmati kharisma hutan. Tidak jarang, terjadi kebakaran hutan yang secara sengaja atau tidak sengaja diakibatkan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.
Masyarakat adat terusir dari tanah kelahirannya, terdesak karena kampungnya berubah menjadi tidak nyaman untuk ditinggali. Seiring dengan itu, tradisi-tradisi lokalitas dari masyarakat adat kian menghilang karena terdesak keadaan.
Mereka yang terbiasa dihidupi dan menghidupi hutan dipaksa menerima gemerlap modernitas. Saat itulah, transisi budaya masyarakat adat selanjutnya tentang bagaimana memperlakukan alam mulai memudar --dikarenakan terputusnya generasi dan pengetahuan.
Manusia kemudian seenaknya membuang sampah di sungai tanpa rasa. Dari sampah rumah tangga sampai sampah industri yang jumlahnya tidak tanggung-tanggung. Pembuangan sampah yang sembarangan mengakibatkan lebar dan kedalaman sungai semakin berkurang.
Keterbatasan ini yang mengakibatkan volume air yang dihasilkan dari hujan tidak mampu menampung dengan baik. Disadari atau pun tidak, sungai turut menjadi representasi kehidupan manusia dalam bersosial dan budaya. Tercemarnya sungai secara tidak langsung juga mencerminkan karakter manusia yang masih belum memahami hakikat hidup bersama untuk saling menjaga dan merawat lingkungan mereka tinggal dan menetap.
Tidak sampai di situ, perburuan hewan juga sering terjadi. Tidak tanggung-tanggung, hewan-hewan yang diburu adalah hewan yang tergolong langka keberadaannya atau jumlahnya terbatas. Keterbatasan jumlah ini akibat kerakusan manusia yang ingin memperoleh keuntungan dengan harga jual tinggi. Tentu untuk memperoleh kekayaan yang ditimbunnya dengan cara-cara yang tidak beradab.
Mengasihi Makhluk
Kompleksitas permasalahan yang sering timbul yang sudah terpaparkan tidak bisa dipisahkan dari keteledoran manusia karena dominasi peran manusia di dunia. Hal ini yang membuat terjadinya kerusakan ekosistem yang sering terjadi berulang-ulang.
Kerugian yang ditimbulkannya pun kemungkinan tidak bisa dimaterikan dalam nominal tertentu. Tentunya membutuhkan waktu pemulihan yang tidak sebentar. Selain itu juga memberikan dampak keberlangsungan makhluk hidup yang menempatinya. Seperti ikan di sungai, orang hutan di hutan, termasuk manusia dalam konteks hajat hidup bersama.
Tidak bisa dipungkiri, kerusakan alam yang terjadi saat ini juga diaktori oleh orang-orang menganggap dirinya sebagai seorang yang beragama. Artinya manusia yang beragama masih sebatas berkutat pada yang bersifat ritualistik dan sebatas menjalin hubungan baik antarmanusia.
Maka ketika alam sudah memberikan isyarat melalui bencana skala kecil maupun besar menjadi bentuk cara alam melakukan interaksi dirinya dengan manusia sebagai pengelola. Termasuk ketika binatang mulai menjauhi manusia karena wataknya yang buas. Tingginya tingkat spiritualitas seseorang tidak menjamin nilai etika dan moral yang melekat dalam dirinya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
Kembali memahami kesedihan yang mendalam yang dialami Siddhata Gautama tentang patahnya tunas muda dan terbunuhnya serangga, artinya menghilangkan hak hidup makhluk hidup sebenarnya bukanlah perkara yang mudah. Sekalipun menghilangkan nyawa manusia.
Mengasihi manusia, binatang, tumbuhan sudah seharusnya menjadi kesadaran etika, moral, dan spiritual untuk keselarasan alam. Sebagai puncak penciptaan Tuhan, manusia perlu melakukan perenungan secara mendalam dan membenamkan diri pada kesadaran kosmis bahwa manusia tidak hidup sendiri.
Bethriq Kindy Arrazy Manager Program Asah Kritis Indonesia