Banyak tokoh, baik di anggota DPR maupun di luar, menyatakan dukungan kepada Vaksin Nusantara yang dimotori oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan. Alasan mereka adalah soal nasionalisme. Vaksin buatan anak bangsa harus diprioritaskan. Jangan semata membeli vaksin dari luar. Dengan alasan itu mereka melakukan gerakan, menjadi relawan uji vaksin.
Apa masalah Vaksin Nusantara ini? Masalahnya sudah dijelaskan dengan gamblang oleh BPOM. Ini masalah sains medis. Riset yang dilakukan pengembang Vaksin Nusantara tidak memenuhi kaidah ilmiah. Dalam prinsip sains medis, kalau kaidah itu tidak dipenuhi, tidak boleh diberi izin. Ini prinsip yang tidak bisa ditawar, apapun alasannya.
Orang-orang ini seolah hendak membenturkan BPOM dengan nasionalisme. Kesan yang mau dibangun, BPOM tidak nasionalis, tidak memberi prioritas kepada produk karya anak bangsa. Padahal tidak demikian. Bagi BPOM, nasionalisme paling tinggi adalah memastikan bahwa setiap warga negara yang memakai vaksin itu selamat. Tidak boleh bagian ini ditawar dengan alasan lain, misalnya karena vaksin ini buatan lokal. Meminta BPOM melonggarkan prinsip medis justru adalah perbuatan tak nasionalis, karena bisa mengancam keselamatan rakyat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi saya, orang-orang ini tidak sedang memperjuangkan nasionalisme. Nasionalisme tidak begitu cara berpikirnya. Tidak bisa kita melanggar prinsip fundamental demi memberi prioritas pada produk kita sendiri. Memaksakan pelanggaran prinsip fundamental adalah nasionalisme konyol.
Tapi kenapa mereka lakukan itu? Politik. Tidak sulit untuk menduga itu. Tokoh-tokohnya bisa kita lihat komposisinya. Kita bisa sebut mereka "4L", "lu lagi, lu lagi". Ini adalah orang-orang yang pokoknya ingin tampil beda dengan pemerintah. Substansinya tidak penting, yang penting berbeda. Mereka akan selalu mencari posisi di seberang sana. Mereka harus punya materi untuk berkata bahwa pemerintah salah.
Adakah kesalahan atau kekurangan pemerintah dalam soal vaksin ini? Kalau ukurannya adalah bahwa kita tidak punya vaksin sendiri, kita bisa katakan itulah kekurangan pemerintah. Tahun lalu Menristek mengumumkan bahwa vaksin buatan Indonesia yang risetnya dikerjakan di Lembaga Eijkman akan uji klinis awal tahun ini. Itu tidak jadi kenyataan. Artinya, ada yang salah di situ. Apa salahnya? Kita tidak tahu, pemerintah tidak menjelaskan.
Kalau kita mau mengkritik pemerintah, kita harus mempertanyakan seberapa serius pemerintah dalam menjalankan riset ini. Berapa biaya yang disediakan, apakah ada bentuk-bentuk dukungan lainnya. Bagian itu bisa dikritik dengan detil.
Bagaimana dengan dukungan terhadap Vaksin Nusantara? Bagi saya ini tidak jelas. Apakah ini program pemerintah? Kalau iya, lembaga mana yang melaksanakan, dan siapa yang memberi tugas? Kalau bukan, lantas, ini lembaga apa? Pada level formalitas organisasi saja sudah tidak jelas.
Kalau kita lihat di level sains, makin tidak jelas. Tim Vaksin Nusantara ini meneliti apa? Apakah mereka melakukan riset sel dendritik? Tidak. Membuat vaksin? Sepertinya juga tidak. Ujug-ujug mau melakukan uji klinis. Risetnya adalah uji klinis. Lha, buatan anak bangsanya di mana? Itu ibarat kita beli sepeda motor lalu kita coba mengendarainya di jalan raya.
Sekali lagi, ini cuma gerakan politik. Bukan pula gerakan politik yang cerdas dan mencerdaskan. Sayang sekali dalam situasi krisis seperti ini, masih ada orang yang mencoba melakukan manuver politik. Sungguh tidak patut.
(mmu/mmu)