Beberapa minggu yang lalu, seorang tokoh feminis Islam bernama Amina Wadud melakukan wawancara bersama jurnalis Prancis. Jurnalis itu bertanya, apa pendapat sang profesor tentang multikulturalisme di Prancis. Tanpa basa-basi, kalimat pertama yang dilontarkan oleh The Lady Imam itu adalah ''Saya sangat senang membicarakan sekularisme di Prancis sebagai manifestasi sekularisme terburuk yang pernah saya alami.''
Prof Amina melanjutkan pendapatnya dengan mengatakan bahwa sekularisme di Prancis atau lebih dikenal dengan laΓ―citΓ© tersebut tidak memberikan ruang untuk masing-masing keberagaman agama dan budaya untuk mengekspresikan identitasnya. Terlebih, masalah "kemurnian ras dan budaya" sebenarnya adalah hal yang sangat kompleks dan rumit. Itu karena sejatinya tidak ada seseorang yang bisa dikatakan "murni" sebagai ras tertentu.
Sebab, pada dasarnya nenek moyang kita punya kemungkinan besar menikah dengan orang yang non-pribumi dikarenakan terdapat sejarah ekspansi besar-besaran secara global pada berabad-abad yang lalu, sehingga sulit untuk membuktikan bahwa ada satu ras tertentu yang benar-benar "murni".
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bila menilik berdasarkan sejarah leluhur, kita tak bisa lagi mengatakan bahwa orang Prancis saat ini memang murni keturunan darah Prancis tanpa campuran darah Roma atau Jerman. Sama seperti halnya kita tak bisa mengatakan orang Indonesia sekarang ini murni Indonesia tanpa campuran darah orang India, Cina, ataupun Arab.
Pro-kontra terkait RUU melawan separatisme Islam di Prancis membuat diskursus mengenai multikulturalisme kembali menyeruak. Pada RUU ini sangat kentara bahwa berbagai aspek vital dalam kehidupan umat muslim ditekan dengan sedemikian rupa.
Bukan rahasia lagi bahwa akses umat muslim untuk membangun masjid di Prancis sangatlah sulit dikarenakan oleh birokrasi yang ada, sehingga kebanyakan dari mereka tidak memiliki tempat ibadah yang layak dan terkadang melaksanakan salat wajib di tempat umum seperti di taman atau lorong kampus.
Kemudian, RUU baru ini muncul dengan membawa aturan yang melarang pelaksanaan praktik keagamaan di koridor universitas. RUU ini tak hanya menekan praktik ibadah utama umat Islam, tapi juga mengatur kegiatan muslim di dalam masjid dan mengendalikan keuangan asosiasi dan organisasi non-pemerintah milik muslim.
Tentu hal tersebut sudah cukup membuat muslim di Prancis dan di dunia merasa geram karena telah secara nyata menekan ruang gerak orang Islam dan pemerintah masuk terlalu dalam ke dalam komunitas muslim. Tetapi, penekanan tidak berhenti di situ saja; penyembelihan halal juga turut dilarang terhitung sejak Juli mendatang.
Hal itu dikarenakan pemerintah Prancis menganggap penyembelihan dengan cara Islam menyebabkan lebih banyak rasa sakit pada hewan (tidak seperti penyembelihan cara mereka yang mengharuskan hewan dalam keadaan pingsan sebelum disembelih). Tentu saja ini merupakan hambatan serius dan vital bagi umat muslim Prancis sebab menyangkut makanan yang dikonsumsi sehari-hari.
Pembatasan ruang gerak muslim semakin kentara dengan pelarangan memakai jilbab di tempat umum untuk perempuan di bawah 18 tahun. Sebenarnya ini adalah perdebatan yang telah terjadi sejak lama karena adanya perbedaan perspektif antara para feminis Prancis yang menganggap hijab sebagai bentuk opresi alias pemaksaan cara berpakaian terhadap wanita.
Mereka memandang cara wanita muslim menutup tubuhnya didasari oleh alasan patriarkis bahwa perempuan sebaiknya menutup tubuhnya untuk menjaga nafsu laki-laki supaya tidak melecehkan. Tentu hal ini sangat berbeda dengan paham feminisme liberal yang ada di Barat. Tetapi, sejatinya makna hijab saat ini tidak serta merta sebagai alat pengontrol nafsu laki-laki, namun juga merupakan sebuah ekspresi religius untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Pemerintah Prancis menganggap bahwa perempuan muslim memakai hijab karena paksaan, entah itu paksaan orangtuanya atau suami. Bahkan hukum Prancis telah menetapkan denda bagi suami yang memaksa anak atau istrinya memakai hijab. Padahal realitasnya, sudah mulai bermunculan banyak perempuan yang telah melek literasi dan bahkan menjadi feminis, namun tetap memegang asas-asas keislaman yang mereka punya. Tapi agaknya, pemerintah Prancis memang abai mengenai hal ini.
Berbanding Terbalik
Diskriminasi melalui RUU untuk melawan separatisme Islam ini sebenarnya sangat berbanding terbalik dengan semangat dan prinsip multikulturalisme yang pada awal kemunculannya membawa misi kemanusiaan untuk mengakui eksistensi orang lain dengan latar belakang (suku, ras, warna kulit dan agama) yang berbeda dari kita.
Ide mengenai humanisme muncul dan lahir karena dilatarbelakangi oleh ketidakmauan manusia untuk mengulangi kekerasan yang terjadi di Perang Dunia serta tidak mau peristiwa seperti Nazi (ketika terjadi genosida dengan alasan bahwa hanya satu ras yang terbaik dan berhak memimpin, dan ras lainnya dianggap rendah atau juga layak untuk dibunuh) terulang kembali.
Penghargaan terhadap masing-masing warna kulit, ras, agama, latar belakang, dan budaya lantas dianggap sebagai hal yang perlu untuk terus diapresiasi sebab kita sadar bahwa setiap orang memiliki hak asasinya masing-masing.
Menurut Prof. Amina Wadud dalam wawancaranya, kebijakan pemerintah Prancis untuk menekan ekspresi keberagaman bisa dikatakan sebagai sekularisme yang sangat mirip dengan kolonialisme dan imperialisme. Hal tersebut dikarenakan prinsip yang mereka anut berbeda dengan multikulturalisme yang diterapkan di negara lain seperti Amerika maupun Indonesia.
Di Amerika (walaupun tentu saja berbagai bentuk diskriminasi SARA masih terjadi) orang-orang bisa bebas untuk mengekspresikan identitasnya. Ekspresi keagamaan asalkan tidak menyakiti orang lain diperbolehkan oleh hukum. Berbeda halnya dengan sekularisme Prancis, yang menganggap bahwa mereka harus membersihkan tidak hanya kewenangan negara, tapi juga ruang publik dari segala hal berbau keagamaan.
Alih-alih mempersilakan masing-masing budaya untuk berekspresi, pemerintah Prancis justru membangun sebuah ruang kosong yang dianggap "netral" dari semua hal berbau ras dan agama. Tetapi, sejatinya ruangan itu tidak benar-benar netral karena yang terjadi ruangan itu diisi oleh kepentingan negara; orang-orang di dalam pemerintahannya pun masih belum bisa mewakili semua golongan yang hidup di Prancis dan mayoritas di dalamnya orang kulit putih non-muslim.
Karena hal itulah kemudian banyak ekspresi-ekspresi budaya dan keagamaan (terkhusus agama Islam) yang harus ditekan dan bahkan direpresi supaya tidak bisa mengekspresikan dirinya di dalam ruang "netral".
Kebencian terhadao Islam atau yang juga disebut dengan Islamofobia bukan lagi menjadi hal yang mengagetkan terutama bila kita berbicara tentang dunia Barat. Stigma-stigma yang melekat kepada muslim sebagai biang teror alias terorisme sangat melekat hingga saat ini, apalagi dengan berbagai kasus seperti 9/11 atau kasus penembakan di gereja Prancis beberapa tahun yang lalu dan pembunuhan seorang guru karena membeberkan gambar karikatur Nabi Muhammad menunjukkan pelakunya adalah orang beragama Islam.
Ditambah lagi dengan pandangan bahwa Islam adalah agama terbelakang (karena sebagian besar pemeluknya berasal dari negara-negara berkembang bahkan tertinggal seperti Afrika, Sudan) juga masih sangat kuat. Hijab pun masih dianggap sebagai simbol dari opresi dan ketundukan terhadap patriarki, walau sudah berkali-kali terdapat penjelasan bahwa banyak pula wanita muslim yang mengenakan hijab karena keinginan dan kesadarannya sendiri.
Pada akhirnya, sekularisme ala Prancis justru menjadi alat dan alasan yang bagus untuk menekan dan membatasi ruang gerak agama tertentu. Tentu hal seperti ini tidaklah tepat dan justru akan menjadi bom waktu di masa yang akan datang. Ketegangan dan ketidakmampuan untuk membuka diri dan mendengarkan suara dari kelompok maupun agama lain bisa bermuara pada meledaknya konflik yang berujung kekerasan.
Pastinya kita masih ingat mengenai kejadian teror yang membunuh ratusan orang pada November 2015 yang lalu, serta kesalahpahaman mengenai karikatur Nabi Muhammad yang juga memakan korban jiwa. Tentu tidak ada yang bisa menjamin bagaimana keadaan di masa depan bila masing-masing pihak masih menutup diri dan malah semakin menekan kelompok minoritas tanpa mau memahami dan mengakomodasi kebutuhan vital dari masing-masing kepercayaan mereka.
Atas nama multikulturalisme, sejatinya perbedaan dan keragaman budaya atau agama bukanlah menjadi batu yang harus disingkirkan bagi suatu negara. Bila kelompok lain dipandang sebagai sebuah ancaman alih-alih sebagai suatu hal yang mestinya kita rangkul, tentu hal itu juga sekaligus akan mencederai nilai-nilai multikulturalisme.
Jika hendak tetap mengikuti cita-cita dan prinsip humanisme, sepatutnya kita memberi ruang bagi setiap kelompok untuk mengekspresikan budaya mereka sendiri dan membuka ruang untuk selalu bernegosiasi demi masa depan yang lebih nyaman bagi semua ras dan agama. Sebab, bukankah tidak ada yang lebih menenangkan selain menghadapi konflik dengan solutif daripada menekan dan menumpuknya menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja?
Ersa Elfira Khaiya asisten Prof. Amina Wadud, peneliti bidang filsafat dan multikulturalisme
Tonton juga Video: Kasus Corona di Prancis Melonjak, Kematian Capai 100 Ribu Jiwa