Rancangan Undang-Undang (RUU) Sektor Keuangan masuk dalam Prolegnas 2021-2024. Paket menyeluruh sektor keuangan --yang menyangkut revisi UU Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)-- diperlukan agar mampu memperkuat stabilitas sistem keuangan.
Namun ironisnya, RUU yang menjadi inisiatif pemerintah itu terkesan hendak melemahkan BI, OJK, dan LPS. Kementerian Keuangan akan menjadi 'panglima' tertinggi stabilisasi alih-alih sebagai koordinator sebagaimana yang selama ini berjalan.
Fungsi koordinasi implisit mendudukkan Kementerian Keuangan sepadan dengan BI, OJK, dan LPS. Sebagai koordinator Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Kementerian Keuangan memang memiliki kewenangan khusus andai kata tidak diperoleh kata sepakat antara BI, OJK, dan LPS,
Perubahan struktur pengambilan keputusan KSSK dari corak koordinasi ke hierarki komando niscaya memiliki implikasi yang tidak ringan. Independensi BI, OJK, dan LPS terkooptasi oleh Kementerian Keuangan yang notabene ialah representasi kekuasaan eksekutif.
Sementara, kekuasaan eksekutif merupakan hasil proses politik. Interaksi politik senantiasa kental dengan kompromi berbagai kepentingan. Alhasil, RUU Reformasi Sektor Keuangan, sadar atau tidak, membuka ruang bagi masuknya variabel politik ke dalam kebijakan ekonomi.
Konsekuensinya, kecurigaan praktik intervensi pemerintah terhadap independensi ketiga lembaga tersebut akan selalu muncul. Jika demikian, RUU Sektor Keuangan agaknya hendak membalikkan arah jarum jam kembali ke rezim Orde Baru dengan Dewan Moneter-nya yang ketika itu sangat kuat.
Lebih lanjut, perubahan struktur KSSK juga memiliki implikasi tersendiri bagi Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI). Posisi 'panglima' menjadikan status 'komandan' berhimpit peran dengan 'pengawas'. Tendensi itu sudah kelihatan. Berdasarkan draft yang masuk, Menteri Keuangan memiliki hak dalam penunjukan anggota BSBI.
Oleh karenanya, BSBI akan bekerja untuk Menteri Keuangan dan bukan lagi sebagai 'tangan kanan' DPR. Lagi-lagi, ketidaksejajaran antara Kementerian Keuangan dengan DPR, dan dengan demikian BSBI, membawa imbas pada kualitas dan objektivitas pengawasannya.
Persoalan pengawasan yang diemban BSBI akan menjalar lebih luas lagi ke banyak aspek. Materi pengawasannya pun bukan tidak mungkin akan berubah drastis. BSBI kemungkinan besar akan diberi perluasan mandat untuk masuk ke wilayah pengawasan terhadap substansi kebijakan BI.
Kebijakan BI yang ditujukan untuk stabilisasi, misalnya, bisa dinilai 'buruk' oleh BSBI jika tidak sejalan dengan kebijakan Kementerian Keuangan. Kemungkinan ini terbuka lantaran selalu ada imbal-korban (trade-off) antara stabilisasi (yang menjadi area BI) dan pertumbuhan (yang menjadi arena Kementerian Keuangan).
Posisi BSBI sebagai 'agen' dan Kementerian Keuangan sebagai 'prinsipal' juga sedikit 'menyimpang' dari praktik terbaik yang berlaku secara internasional. Badan supervisi bank sentral di banyak negara di dunia ini mayoritas berada di bawah parlemen sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif.
Dengan konfigurasi problematika di atas, Onmibus Law Sektor Keuangan menyimpan bom waktu. Ia bisa meledak setiap saat ketika situasi dan kondisi pemantiknya diaktivasi. Ironisnya, faktor pemicunya bukan faktor eksternal yang berada di luar kendali tetapi aspek internal yang bersemayam di dalam dirinya.
Oleh karena itu, Onmibus Law Sektor Keuangan semestinya dioptimalkan sebagai momentum untuk membangun kredibilitas masing-masing institusi. Sektor keuangan ialah masalah kepercayaan. Tatkala kepercayaan hilang, secanggih apapun disain regulasi, sistem keuangan niscaya akan runtuh.
Agar kepercayaan terjaga, reformasi sektor keuangan harus diposisikan pula sebagai wahana bagi penguatan lembaga pengawasnya. BSBI yang selama ini diletakkan lebih banyak di belakang layar toh juga memiliki andil yang sangat fundamental terhadap independensi, akuntabilitas, transparansi, dan kredibilitas BI.
Alhasil, BSBI perlu diarahkan menjadi lembaga pengawas (supervising) sepenuhnya. Agar lebih fokus menjalankan fungsi pengawasan, beberapa poin tugas yang bersinggungan dengan fungsi pemeriksaan (auditing) anggaran bisa diserahkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sebagai lembaga supervisi yang paripurna, BSBI semestinya diberi hak untuk memberikan second opinion atas kebijakan BI sebelum resmi dirilis. Artinya, BSBI bisa memberikan pandangan atas kebijakan BI meski tidak ikut dalam pengambilan keputusan. Keputusan mengenai kebijakan tetap menjadi independensi BI.
Kesulitan utama BSBI dalam pengawasan adalah memisahkan antara kinerja operasional BI dengan kebijakan moneter. Misalkan, kebijakan moneter BI yang hendak melakukan kebijakan sterilisasi ekses likuiditas melalui Sertifikat Bank Indonesia (SBI) pasti akan berpengaruh terhadap neraca keuangan BI.
Telaah keuangan operasional BI tanpa BSBI masuk ke kebijakan moneter menjadikan laporan BSBI tidak utuh (Yustika dan Sulistiani, 2010). Untuk itu, BSBI seharusnya juga dapat mengevaluasi kebijakan moneter agar supervisi yang dilakukan optimal. Umpan balik DPR atas laporan pelaksanaan tugas dan wewenang BI pun akan lebih komprehensif.
Dengan demikian, BSBI yang secara struktural tidak mempunyai hubungan kerja langsung dengan BI tetap harus mampu menjaga kepercayaan semua pemangku kepentingan. Artinya, BSBI harus mampu menjadi tangki pemikir (think tank) alternatif bagi institusi yang diawasinya sekaligus bisa menyodorkan perspektif lain.
Dalam cakupan yang lebih luas, BSBI wajib memiliki kapabilitas dalam mereduksi informasi yang tidak simetri antara DPR dengan BI dan juga pemerintah. Dengan reformasi ini, peran BSBI akan lebih nyata berkontribusi pada perekonomian sekaligus meredam suara miring yang sering dialamatkan kepadanya.
Haryo Kuncoro Direktur Riset the Socio-Economic & Educational Business Institute Jakarta
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tonton juga Video: Baleg DPR Bicara Masuknya RUU Ibu Kota Negara di Prolegnas 2021