Ketika Akhirnya Kena Corona
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Ketika Akhirnya Kena Corona

Minggu, 11 Apr 2021 10:33 WIB
Riana Ambarsari
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi Survivor Corona detikX
Ilustrasi: Edi Wahyono
Jakarta -

"Hasil tes PCR Anda sudah keluar, positif!"

"Oh, no...oh, no...oh, no no no no no....!"

Pembicaraan via Whatsapp dengan petugas Puskesmas itu mendadak membuatku cemas, lemas tak berdaya. Apa yang kukhawatirkan beberapa hari ini benar-benar menjadi kenyataan. Perasaan campur aduk antara lega telah mengetahui sakit apa dan kecewa mengetahui sakitnya apa. Badan yang sudah seminggu mengeluh, berontak, merasakan sakit seperti masuk angin, sakit kepala, sedikit demam, diare, gejala flu, batuk hingga nyeri otot yang tak biasa akhirnya serasa seperti tengah bermain hide and seek saat ketemu pelakunya, yang ternyata namanya sangat cantik menggambarkan keindahan dan keanggunan, Corona.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fixed, apa yang kulakukan seminggu ini sudah tepat. Isolasi mandiri saat merasa tidak enak badan.

Sejujurnya aku sudah lama tidak membaca berita tentang Covid-19 atau sakit karena virus Corona ini. Ketika aku cek di media massa, ternyata sudah mencapai 1,5 juta orang di Indonesia. Sungguh angka yang fantastis. Namun jika menilik dari total jumlah penduduk Indonesia tentunya masih membuat sedikit lega. Artinya hanya 0,005 persen saja. Namun demikian, kecepatan perkembangannya membuat kita harus selalu waspada.

ADVERTISEMENT

Aku menggambarkan kedekatanku dengan Corona ini seperti orang tengah jatuh cinta dan berpacaran.

Setelah hasil dinyatakan positif bahwa Corona jatuh cinta padaku, mulai lagi dengan rencana isolasi mandiri selama 14 hari. Sungguh bergaul dengan "si cantik" yang manja dan posesif ini bikin gemas. Bagaimana nggak manja, jika gejala sakitnya harus diobati satu per satu. Mulai harus konsumsi obat flu, obat batuk, obat sakit kepala, penghilang rasa nyeri, penurun demam, vitamin, dan lain sebagainya.

Bagaimana nggak dibilang posesif, mau bergaul sama yang lain saja tidak boleh, mau mendekat ke yang lain pun tidak boleh. Pokoknya posesif sekali, cuma boleh dekat dengan "si cantik" ini. Apa nggak berasa jadi kekasih nomor satu dan satu-satunya?

Selain manja dan posesif, bergaul dengan "si cantik" ini juga berasa seperti tengah jatuh cinta setengah mati. Makan jadi tidak enak, tidur tidak nyenyak, setiap terbangun langsung teringat, bertanya pada diri sendiri, "Kamu masih di sisiku nggak?"

Ketika menyadari masih setia di sisi, kembali lagi harus meladeni kemanjaan dan keposesifannya. Kalau biasanya aku bisa bergaul akrab dengan tukang sayur yang lewat, saat "bercinta" dengan "si cantik" ini aku harus mengalah hanya bisa memandang mas-mas penjual sayur dari kejauhan, bahkan memanggil pun tak berani. Sungguh keposesifannya membuatku gila! Tak memandang laki-laki atau perempuan, semua sama saja.

Terkurung dalam keposesifan dan kemanjaan, diam-diam aku membaca banyak hal tentang bagaimana mencoba "putus" dari Corona. Rasa-rasanya sudah tidak kuat lagi meladeni keposesifan cintanya. Meski dengan kondisi aktivitas yang terbatas, karena jeratan tali cinta Corona, aku diam-diam mulai bergaul dengan matahari. Tiap pagi sekitar jam 8, mencari tempat yang sepi di halaman dan mulai mencari perhatian sang mentari. Sengatan hangatnya membuatku merasa sedikit lebih nyaman.

Kugerak-gerakkan tubuhku meski cuma sambil duduk atau jongkok saja, karena Corona ini sungguh menyiksa. Dia tak membiarkanku untuk lama-lama berdiri apalagi berjalan. Aku mencoba mencari oksigen sebanyak-banyaknya dan memperbesar volume paru-paru. Hal ini kulakukan karena aku merasakan tiap malam Corona ini menghimpit dada, tak membiarkanku bernapas dengan lega.

Perselingkuhanku dengan matahari, udara, obat-obatan membuat Corona cemburu berat dan mulai marah padaku. Dia benci padaku. Aku merasakan nyeri otot di sekujur tubuhku mulai menghilang. Aku merasa Corona mulai meninggalkanku, meski kadang masih kembali dan berharap lebih, bisa mendapat cintaku.

Aku bukan tipe orang yang suka bergaul posesif, sehingga rasa-rasanya sudah sepantasnya aku tak memperpanjang hubungan dengan "si cantik" ini. Aku memperbanyak pergaulanku dengan matahari, udara, bahkan teman-teman meski sementara hanya bisa melalui online saja. Kupaksa mengalihkan perhatian dari Corona agar dia merasa tak lagi kucinta. Kubiarkan dia sedikit merana dan tak kubiarkan pula dia mencintai orang lain.

Biarkan dia mati dengan sendirinya, sengsara tanpa mendapatkan cinta lainnya. Aku sudah mulai gemas dengan keberadaannya. Mana mau orang bercinta dengannya jika sedemikian menyiksa? Aku juga tidak mau menjadi cinta matinya.

Empat belas hari menjadi hari yang krusial bagi hubungan kami. Setelah aku bersikeras tak mau lagi melanjutkan hubungan ini, Corona akhirnya mengalah dan perlahan-lahan melepaskanku. Aku mulai bisa merasakan makanan dengan enak, bernapas lebih baik, berjalan lebih lama, menikmati duduk di sofa, berolahraga ringan, dan lebih mencintai matahari pagi. Hidupku serasa kembali bebas, lebih bahagia. Merasakan bersyukur tiap kali membuka mata. "Tuhan, hidupku seindah ini!"

"Mulai besok, Anda sudah bisa beraktivitas normal kembali. Anda dinyatakan sehat. Silakan mengambil surat keterangan sehat dari dokter!" Pesan via Whatsapp dari petugas Puskesmas membuatku bersorak gembira. Seumur-umur tak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini saat berbicara dengan petugas medis.

Aku sangat berterima kasih dan mengapresiasi perhatian pemerintah yang sigap dalam menangani pasien Corona dengan visitasi, memberikan obat-obatan dan vitamin serta tes PCR secara gratis. Penanganan yang sigap ini membuat hatiku bersuka cita. Membantuku "putus" dari Corona.

Mantan "kekasih" yang super-posesif benar-benar sudah meninggalkanku, pergi entah menguap ke mana. Aku tak pernah menyadari bertemu di mana, akhirnya dia meninggalkanku tanpa jejak pula. Sungguh menggemaskan. Harapanku, tak ada lagi orang yang bertemu dengan Si Corona ini. Cintanya sungguh menjengkelkan. Jika tak kuat, kamu bisa tenggelam di dalamnya.

Yogyakarta, 7 April 2021

Riana Ambarsari freelancer, pecinta pariwisata

Simak video 'Interval Vaksin Corona Bisa Berubah, Begini Penjelasan Pakar Imunisasi':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads