Grafik pertumbuhan ekonomi yang melesu menjadi kabar rutin yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) sejak pandemi. Satu tahun berlalu, Covid-19 masih nangkring di Bumi Pertiwi. Tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 terkontraksi sebesar -2,07 persen. Sebagai negara yang masih bergantung pada sektor primer, Indonesia pun seperti mengulang kembali sejarah perekonomiannya.
Masih ingat dengan krisis ekonomi tahun 2008? Pun dengan krisis di tahun 1997-1998. Pada dua periode krisis itu, sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan dielu-elukan menjadi penyelamat perekonomian Indonesia. Sektor riil tersebut terbukti kebal dengan krisis yang pada saat itu disebabkan oleh ambruknya sistem keuangan dunia dan memanasnya perang dagang antar negara besar.
Saat ini pun, sektor pertanian kembali menjadi pahlawan di tengah ambruknya perekonomian Indonesia akibat pandemi. Dari 17 sektor ekonomi, hanya tujuh sektor yang tumbuh positif pada tahun 2020. Salah satunya yakni sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan dengan laju pertumbuhan sebesar 1,75 persen. Kabar sepuluh sektor lainnya di sepanjang tahun 2020 cukup memprihatinkan.
Transportasi dan pergudangan misalnya, turun jauh -15,04 persen sementara penyediaan akomodasi dan makan minum turun -10,22 persen. Menariknya, sektor pertanian justru mampu bertahan dengan terus tumbuh positif bahkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua di tahun 2020 (0,22 persen) setelah sektor Informasi dan Komunikasi (0,57 persen).
Tepuk tangan atas berhasilnya sektor pertanian karena telah menyelamatkan perekonomian (dengan tetap tumbuh positif dan berkontribusi tinggi) kembali terdengar. Saya pernah membaca pernyataan di detikcom yang dilontarkan oleh Anggota DPR Charles Meikyansyah. Menurutnya, di masa pandemi Covid-19 sektor pertanian secara umum dapat dikatakan kebal terhadap krisis ekonomi nasional. Ia juga menambahkan bahwa pertumbuhan positif sektor pertanian memberikan sumbangsih yang besar terhadap perekonomian nasional.
Sayangnya, popularitas sektor pertanian yang naik daun di kala krisis dan pandemi tidak membuat kesejahteraan buruh taninya bertambah. Meskipun ikut andil secara tidak langsung dalam "menyelamatkan perekonomian negeri", nasib buruh tani ternyata cukup memprihatinkan. Berdasarkan data perkembangan upah pekerja/buruh yang dirilis BPS, nominal upah buruh tani nasional Januari 2021 hanya sebesar Rp 52.338 rupiah per hari. Upah tersebut turun jika dibandingkan nominal upah pada Januari 2020 yang lalu (Rp 52.360 per hari). Nominal upah yang sudah sangat kecil menjadi semakin kecil meskipun hanyan turun Rp 22.
Upah di Bawah Garis Kemiskinan
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan bahwa garis kemiskinan September 2020 berada di angka Rp 458.947 per kapita per bulan. Jika dikalkulasikan dengan rata-rata anggota rumah tangga, maka garis kemiskinan rumah tangga sebesar Rp 2.216.714 per rumah tangga per bulan. Artinya, rata-rata rupiah minimum yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya agar tidak dikategorikan miskin yaitu sebesar Rp 2.216.714.
Asumsikan seorang buruh tani adalah kepala keluarga, maka ia akan mengantongi upah sebesar Rp 1.570.140 selama satu bulan penuh (30 hari kerja). Upah inilah yang digunakan untuk menyambung hidup seluruh anggota keluarganya. Hasilnya, upah buruh tani masih jauh di bawah garis kemiskinan. Belum lagi fakta bahwa tidak sepanjang tahun buruh tani turun bekerja setiap hari. Mereka bekerja optimal hanya saat musim panen. Jadi, upah akan semakin jauh di bawah garis kemiskinan saat cuaca tidak bersahabat atau saat gagal panen.
Covid-19 dan Sektor Pertanian
Pertanian yang digadang-gadang sebagai penyelamat saat pandemi nyatanya tidak mampu mengangkat nasib buruh taninya. Padahal, ada banyak penduduk yang menggantungkan hidupnya di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan termasuk di dalamnya adalah buruh tani.
Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan di Indonesia meningkat saat pandemi. Lapangan pekerjaan ini pada Agustus 2019 mampu menyerap 27,53 persen penduduk, meningkat menjadi 29,76 persen penduduk pada Agustus 2020. Peningkatan sebesar 2,23 persen ini cukup besar jika dikalikan dengan jumlah penduduk bekerja di Indonesia yang pada Agustus 2020 tercatat 128,45 juta penduduk. Terpotret ada sekitar tiga juta "pekerja baru" di lapangan pekerjaan pertanian, perkebunan, dan perikanan.
Fenomena adanya "pekerja baru" di lapangan pekerjaan pertanian, perkebunan, dan perikanan merupakan efek dari PHK masal beberapa perusahaan di masa pandemi. Seperti pernyataan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo bahwa pertanian tidak membutuhkan skill khusus, tetapi yang dibutuhkan adalah tekad dan keberanian. Oleh karena itu, demi bertahan hidup di tengah pandemi, lapangan pekerjaan ini menjadi "tempat peralihan" bagi sebagian orang korban PHK.
Sementara itu, dapat kita lihat dari data Sakernas bahwa pada September 2019 jumlah pekerja bebas di pertanian tercatat sebesar 5,28 juta orang. Kemudian, meningkat di September 2020 menjadi 5,92 juta orang. Pekerja bebas di pertanian adalah mereka yang tidak memiliki kontrak tetap dengan pemilik sawah/lahan/kebun atau biasa disebut buruh lepas.
Luput dari Perhatian Pemerintah
Fokus pemerintah mengurusi pangan terutama saat pandemi dapat dibuktikan dengan beberapa kebijakan. Salah satunya yaitu program lumbung pangan atau food estate yang diinisiasi oleh Presiden Jokowi di Provinsi Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara. Kedua provinsi tersebut menjadi pilot project untuk tanaman padi (Kalteng) dan tanaman kentang, bawang merah, dan bawang putih (Sumut). Program ini merupakan langkah pemerintah untuk menciptakan ketahanan pangan nasional.
Selain itu, dilansir dari situs Litbang Kementerian Pertanian terdapat program pertanian cerdas atau smart farming 4.0. Kementerian Pertanian juga memiliki tiga agenda selama pandemi Covid-19: (1) agenda darurat/jangka pendek meliputi stabilitas harga pangan, fasilitas pembiayaan petani, dan pertanian padat karya; (2) agenda sementara/jangka menengah, yaitu diversifikasi pangan lokal, mendukung daerah-daerah defisit dan rawan kekeringan; (3) agenda jangka panjang mencakup memperluas tanaman pangan, meningkatkan produksi setiap tahun, mengembangkan perusahaan tani dan mengembangkan petani milenial.
Dapat dilihat bahwa belum ada langkah konkrit pemerintah untuk menaikkan upah buruh tani. Para buruh tani harus menerima nasib bahwa apa yang mereka usahakan untuk pertanian dan pangan Indonesia hanya dibayar murah. Mereka ini rata-rata memiliki karakteristik pendidikan yang rendah sehingga tidak punya pilihan pekerjaan lain.
Bantuan Khusus Buruh Tani
Program bansos yang selama ini digelontorkan pemerintah sangat penting bagi masyarakat, tetapi masih perlu perbaikan. Terkait dengan sasarannya, kiranya perlu ditambah bansos khusus di sektor pertanian termasuk para buruh tani. Apalagi, sudah dibuktikan dengan data Produk Domestik Bruto (PDB) bahwa pertanian menjadi penyokong kuat perekonomian saat pandemi. Sektor ini berkontribusi sebesar 13,70 persen terhadap perekonomian Indonesia pada 2020 (Rp 15.434 triliun). Persentase ini meningkat dibandingkan pada 2019 (12,71 persen).
Selain itu, digitalisasi pertanian yang kini kian marak digaungkan juga perlu diiringi dengan pembenahan sumber daya pertanian. Harapannya, digitalisasi juga menyentuh buruh tani terutama yang berusia produktif agar mampu menyesuaikan perkembangan teknologi pertanian. Mereka patut dibina agar tidak hanya kalangan atas yang menikmati manisnya "kue ekonomi" sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan. Semoga kabar baik akan terdengar dari si buruh tani.
Uswatun Nurul Afifah Fungsional Statistisi BPS Prov. Kepulauan Bangka Belitung
Simak juga 'Petani di Purwakarta Tolak Impor Beras':
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini