SP3 dalam UU KPK
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

SP3 dalam UU KPK

Senin, 05 Apr 2021 11:08 WIB
M Reza Baihaki
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
KPK mempresentasikan kasus SKL BLBI dalam diskusi bertajuk Vonis Bebas SAT: Salah Siapa? di Jakarta. Berikut suasana diskusinya.
Foto: Ari Saputra
Jakarta -
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan surat perintah pemberhentian penyidikan atau biasa dikenal dengan SP3 terhadap kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istri. Respons publik terhadap keputusan tersebut secara inheren mengarah pada Undang-Undang KPK terbaru, mengingat SP3 memang dihasilkan dari ketentuan revisi undang-undang KPK.

Sedangkan beberapa kalangan justru menilai bahwa SP3 tersebut merupakan jalan keluar atas buntunya proses penegakan hukum yang selama ini berlangsung di KPK, mengingat penyelidikan dan penyidikan sering sekali memakan waktu yang tidak berkepastian, serta UU tidak menyediakan mekanisme pemberhentian penyidikan dalam UU KPK (sebelum revisi).

Artikel ini secara sederhana mencoba memotret ketentuan mengenai SP3 dalam UU KPK, serta hubungannya dengan kasus Sjamsul Nursalim. Lebih lanjut, upaya demikian akan diuraikan dengan melihat apakah ratio legis ketentuan norma SP3 dalam UU KPK, apakah merupakan solusi atau delusi dalam penegakan hukum. Begitu juga apakah tepat bagi KPK untuk memberikan SP3 terhadap kasus Sjamsul Nursalim.

Memahami SP3 Sebagai Norma UU

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan dalam Pasal 40 ayat (1) bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.

Ketentuan demikian memang relatif tidak ditemukan dalam UU KPK lama (sebelum revisi). Mengingat ratio legis UU tersebut lebih menekankan pada asas kehati-hatian, sehingga dalam hal ini KPK secara kolektif kolegial harus dapat mengukur dan mengantisipasi jangka waktu dalam proses hukum, sebelum dikeluarkannya surat perintah penyidikan (sprindik).

Namun demikian, ternyata dalam perkembangannya, Romli Atmasasmita yang merupakan salah satu tim perumus UU KPK, memberikan catatan bahwa penegakan hukum di KPK lebih mendahulukan penetapan tersangka dan mengabaikan asas kehati-hatian tersebut, sehingga terdapat berbagai kasus yang dinilai mangkrak dan tidak berjalan. Bahkan terdapat beberapa tersangka yang telah meninggal akibat lamanya proses penyidikan yang mengakibatkan diri mereka masih menyandang status tersangka, dan belum menghadapi proses peradilan.

Sebagai catatan, sebenarnya SP3 sempat diakui keberadaannya sebelum revisi UU KPK. Namun kendati demikian SP3 tersebut masih terbilang tidak formal. Hal ini dapat terlihat ketika praperadilan yang diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terhadap kasus Century dengan tersangka Boediono dkk. Dalam hal ini MAKI yang berbekal mangkraknya proses penyidikan terhadap kasus Century mendalilkan bahwa telah terjadi pemberhentian penyidikan secara tidak formal, yang kemudian menjadi dasar baginya untuk mengupayakan praperadilan.

Bahkan secara kontroversial melalui Putusan PN JAKARTA SELATAN Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN JKT.SEL, hakim justru mengaminkan dan bahkan memerintahkan kepada KPK untuk menetapkan tersangka Boediono yang merupakan Gubernur Bank Indonesia ketika itu. Namun demikian, penemuan hukum (rechtsvorming) yang dilakukan oleh hakim PN tersebut tampaknya kurang mendapat apresiasi, bahkan belakangan hakim praperadilan tersebut didemosi oleh MA karena dinilai melampaui wewenangnya.

Berdasarkan hal tersebut, maka pembentuk UU kemudian memberikan reformulasi terhadap penegakan hukum pidana di dalam pemberantasan korupsi, termasuk dalam hal ini adalah menentukan adanya SP3. Lebih lanjut, upaya demikian juga didasari pada pergeseran paradigma dalam pemberantasan korupsi yang semula menggunakan pendekatan premium remedium kembali menjadi ultimum remedium.

Terbit-Tenggelam Kasus BLBI

Bermula dari krisis tahun 1997-1998, yang berlangsung kurang lebih 2 dekade lalu. Bank Indonesia mengeluarkan kucuran dana (bailout) kepada kurang lebih 48 Bank yang dinilai bermasalah akibat dampak krisis. Tidak kurang dari Rp 138 triliun aliran dana diberikan Bank Indonesia kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk disalurkan kepada pemegang saham bank di Indonesia. Di antara pemegang berbagai bank tersebut, adalah Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang dimiliki sahamnya oleh Sjamsul Nursalim dan mendapatkan kurang lebih 37.039.767.000.000,0 (tiga puluh tuju triliun).

Belakangan ditemukan berbagai penyimpangan di antaranya berupa transaksi pembelian valas yang dilakukan pada saat posisi devisa netto telah melampaui ketentuan yang berlaku, melakukan penempatan baru dengan menambah saldo debet, melakukan pembayaran dana talangan kepada kreditur luar negeri untuk menutupi kewajiban nasabah grup terkait dan pemberian kredit rupiah kepada group terkait yang dananya digunakan untuk transaksi di pasar uang antar bank.

Alhasil berbagai ketidakwajaran tersebut menyebabkan BDNI macet dalam pengembalian kredit kepada Bank Indonesia. Akhirnya, dengan menggunakan penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) melalui pola perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA) ditetapkanlah pengambil alih pengelolaan BDNI dan penyelesaian kewajiban baik secara tunai maupun berupa penyerahan aset yang diikat dalam perjanjian MSAA.

Namun demikian, semenjak pergantian ketua BPPN pada 2002, yang kemudian dijabat oleh Syafrudin Arsyad Tumenggung, diterbitkanlah Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim, atas berbagai kewajiban yang pada faktanya belum sepenuhnya memenuhi kekurangan kurang lebih Rp 4 triliun. Uniknya adalah bahwa SKL tersebut didasari pada amanat dari Surat Keputusan KSSK yang dijabat oleh Darojatun, bahkan SK KKSK 27 April 2000 dan Keputusan KKSK 29 Maret 2001 yang menyatakan piutang Sjamsul Nursalim dinyatakan tidak berlaku lagi. (lihat Putusan PN Jakarta Pusat Nomor 39/PID.SUS/TPK/2018/PN.JKT.PST, h.664)

Hal demikian pun didukung dengan audit BPK yang pada 2002 menyatakan bahwa seluruh kewajiban SN berdasarkan MSAA telah seluruhnya diselesaikan, serta menegaskan pemberian Surat Release and Discharge dan Akta Notaris Letter of Statement; dan Laporan Audit BPK pada 2006.

Kasus BLBI ternyata kembali dibuka pada 2017, dengan mulai menetapkan tersangka Sjafruddin Arsyad Tumenggung, Sjamsul Nursalim, Itjih Nursalim sebagai tersangka pada 25 April 2017. KPK dalam hal ini mendasarkan dakwaannya kepada Syafruddin telah melakukan delik menyalahgunakan kewenangan dengan menerbitkan surat keterangan lunas kepada Sjamsul Nursalim.

Pada pengadilan tingkat pertama hingga banding, majelis memutuskan bahwa Syafruddin terbukti secara sah dan meyakinkan telah menyalahgunakan kewenangan yang berujung pada kerugian negara hingga Rp 3,7 triliun. Namun pada tingkat Kasasi bahkan PK, Mahkamah justru menjelaskan bahwa perbuatan Sjafruddin termasuk dalam kategori administrasi pemerintahan dengan demikian bukan merupakan tindak pidana.

Atas ratio decidendie tersebut akhirnya memberikan putusan berupa melepaskan terdakwa dari seluruh tuntutan Jaksa Penuntut Umum (ontslag van alle rechtsvervolging). Berbekal putusan tersebut KPK pada akhirnya tidak memiliki pilihan lagi untuk melanjutkan perkara Sjafruddin dan sekaligus tidak memiliki pilihan untuk menyeret Sjamsul Nursalim dan istri, terlebih dalam UU KPK saat ini, SP3 telah membatasi masa proses hukum yang selama ini masih dinilai stagnan, pasca putusan Sjafruddin tersebut.

Simpulan


Kasus Sjamsul Nursalim merupakan buntut dari putusan Sjafruddin Tumenggung yang dinyatakan oleh MA telah lepas dari tuntutan jaksa penuntut umum. Lebih lanjut, hemat saya, hal demikian merupakan bentuk dari pembatasan terhadap KPK berupa limitasi waktu dalam proses penegakannya dan diarahkan pada upaya SP3.

Namun kendati demikian, SP3 tetap dapat dilakukan hak tanggung gugat di Pra-Peradilan. Dengan demikian, adanya SP3 akan menempatkan pengadilan sebagai puncak dalam menentukan akan berlangsung atau tidaknya proses penyidikan dan penuntutan atas tersangka Sjamsul Nursalim.

M Reza Baihaki Magister Hukum konsentrasi Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads