Judul: Bisnis Perbudakan Seksual; Penulis: Lydia Cacho; Penerjemah: Fransiskus Pascaries; Penerbit: Marjin Kiri, 2021; Tebal: i - x + 315 Halaman
Perdagangan manusia. Bagi sebagian orang, isu ini barangkali terdengar sudah usang. Kita mengenang masa-masa terdahulu, ketika penjualan dan perdagangan budak ramai terjadi serta dianggap sebagai sesuatu yang normal. Sementara kini, di abad ke-21, membicarakan perdagangan manusia rasanya bukan sesuatu yang benar-benar ada. Tapi, anggapan itu ditepis jauh-jauh oleh Lydia Cacho, seorang jurnalis dan aktivis HAM asal Meksiko.
Ia menyodorkan kenyataan yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Dalam penelitian yang akhirnya menjadi sebuah buku berjudul Bisnis Perbudakan Seksual itu, ia meyakini bahwa abad yang gemilang dengan pasar bebas, kemajuan ekonomi dan teknologi, tidak serta-merta menghilangkan eksistensi perdagangan manusia. Malahan, mereka tertransformasi sesuai keadaan dan kondisi zaman.
Cacho mengawalinya dengan sesuatu yang membuka mata pembaca. Bahwa dunia tengah mengalami lonjakan jumlah sindikat yang menculik, membeli, dan memperbudak perempuan serta anak perempuan. Muara semua itu sudah jelas, yakni prostitusi, industri pornografi, dan pariwisata seks. Atas permintaan dari seluruh dunia yang datang tak terbendung, manusia bisa sangat keji mencari jalan pintas yang menguntungkan dengan memperdaya mereka.
Tercatat, setiap tahun ada 1,39 juta orang di seluruh dunia, sebagian besar perempuan dan anak perempuan, menjadi sasaran perbudakan seksual (hal. 3). Bagaimana itu bisa terjadi? Cacho dalam penelusurannya menjawabnya. Pertama, perdagangan bebas yang digiatkan oleh negara-negara maju ternyata memperkuat jaringan kriminal dan perekonomian bawah tanah yang mendalangi bisnis ini. Kedua, masih banyaknya negara-negara yang korup dengan indeks demokrasi rendah turut membuat angka perdagangan manusia meningkat secara eksponensial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk yang pertama, keberadaan para mafia bawah tanah yang berlindung dalam tabir Shadow Economy, dijelaskan bukan isapan jempol belaka. Cacho meneliti jejak mereka mulai triad-triad Tiongkok, Yakuza Jepang, mafia Rusia, sampai kartel-kartel di Amerika Latin. Mereka ini, selain mengurus bisnis senjata dan obat-obatan, juga memperjualbelikan korban manusia sebagai bahan baku industri (buruh paksaan), limbah sosial (pengemis, misalnya), dan sebagai piala serta persembahan (hadiah untuk meng-goal-kan suatu kesepakatan).
Sementara yang kedua, di beberapa negara seperti Pakistan, Israel, Kamboja, dan Birma, Cacho mendapati bahwa faktor selain maraknya korupsi, terkekangnya masyarakat dalam keterbatasan dan kemiskinan yang membuat partisipasi demokrasinya rendah, memberi pengaruh signifikan atas perkembangan bisnis ini. Di negara yang tengah dirundung konflik, seperti Pakistan dan Israel, bisnis perdagangan manusia menggeliat dengan bebas sebab korbannya memiliki keterbatasan atas akses dan perlindungan dari dunia luar.
Lain lagi dengan Kamboja dan Birma, faktor kemiskinan memudahkan para pelaku melebarkan tangan mereka. Tangan ini bahkan bisa membuat orang terdekat menjadi perantaranya. Itu diperlihatkan oleh Cacho sewaktu mengunjungi asosiasi sipil Hagar, sebuah organisasi Kristen yang menfokuskan diri menampung para korban. Ia memberi data mengejutkan: hampir 43 persen gadis yang selamat mengaku telah dijual oleh ibu mereka sendiri (hal. 75).
Suburnya bisnis ini juga ditopang kondisi sekitar. Di Kamboja, Thailand, dan Birma misalnya, polisi kerap memilih menutup mata atas banyak kasus yang terjadi. Ini memungkinkan tidak saja karena sebagian besar dari mereka sudah "dibeli", tetapi faktor besarnya kelompok kriminal yang menguasai daerah itu, ditambah banyak dari mereka memiliki jaringan yang dekat dengan pemerintah setempat, membuat pihak keamanan ciut duluan, sehingga bisnis ini senantiasa berjalan lancar.
Selain itu, pihak sekitar lain seperti pengendara ojek atau tuk-tuk (kendaraan khas Thailand) juga menjadi bagian dari jaringan ini. Mereka menjadi pengantar para pelanggan yang ingin pelisir di tempat-tempat yang menyediakan layanan khusus dengan gadis-gadis korban perdagangan seksual sebagai pelayannya.
Jejak Mafia
Sebagai seorang jurnalis investigatif yang ulung, Cacho menunjukkan totalitas yang tak main-main. Setelah di bukunya terdahulu yang terbit pada 2005, The Demons of Eden ia menguak jaringan pedofilia yang diduga terkait dengan mantan gubernur di Meksiko Mario Marin dan beberapa pengusaha terkemuka, di buku ini Cacho melebarkan penelusurannya seperti yang sebagian sudah disinggung tadi. Ia mengendus jejak para mafia dalam menjaring para korban dan menyucikan uang yang dihasilkan.
Dalam hal menjaring korban, tiap-tiap mafia atau kelompok kriminal sedikit memberi perlakukan berbeda, tergantung "bagaimana" dan "di mana" mereka bergerak. Mafia Rusia yang bergerak di negara Turki, misalnya, mereka menyasar gadis-gadis di wilayah Balkan yang mempunyai keinginan mengubah nasib keluarga. Dalam praktiknya, mereka manfaatkan keluguan para gadis tersebut dengan menawari pekerjaan normal di negara lain.
Lalu, saat korbannya tertarik, mereka menyita semua identitas dan dokumen-dokumen berharga serta membebani korbannya dengan utang atas "biaya perjalanan mereka". Setelah itu, siasat pamungkas pun dilancarkan dengan memperkerjakan mereka sebagai budak seksual di panti pijat, bar, dan layanan sejenis lainnya. Tak ketinggalan, mereka pun mengancam dan menyiksa fisik serta psikologis para gadis supaya tetap menurut.
Hal hampir serupa juga dilakukan oleh mafia yang bergerak di negara seperti Kamboja atau Birma. Bahkan, mereka yang beraksi di daerah ini menunjukkan tindakan yang lebih gila lagi: Para pelaku menanamkan pikiran ke para korban (Gadis usia lima sampai belasan tahun), bahwa mereka dilahirkan memang untuk melakukan hal tersebut, bahwa itulah dunia mereka, bahwa mereka hanya bisa selamat dan tetap hidup dengan menuruti kemauan bos mereka.
Sementara itu, untuk mencuci uang yang dihasilkan, Cacho memperlihatkan di bab khusus bagaimana mereka memutar uang itu lewat bank-bank tertentu. Setelahnya, mereka menjadikan uang itu sebagai modal bisnis lain dan investasi ke pihak atau lembaga yang mendukung perkembangan bisnis mereka. Yang agak mengejutkan, mereka pun tahu informasi terkini dan mencoba beradaptasi dengan menginvestasikan uang mereka ke lembaga-lembaga yang mendukung pelegalan prostitusi.
Atas fenomena yang terakhir itu, Cacho berdiri di kubu yang menentang pelegalan. Ia seorang feminis, memang, tapi tak seperti sebagian besar lainnya yang mendukung pelegalan atas fondasi hak ketubuhan. Sebaliknya ia menunjukkan dampak yang lebih besar dari adanya pelegalan tersebut. Hal ini bukannya tanpa alasan, sebab dengan semakin maraknya prostitusi, para mafia ini bisa bersembunyi dan bergerak menjalankan bisnis mereka. Orang-orang toh tak bakal mengira, di balik berjalannya bisnis legal prostitusi, tersembunyi ratusan gadis yang dilacurkan secara paksa.
Korban dan Harapan
Penelusuran dan lawatan Cacho tidak saja menyoroti sarang yang menjadi tempat bisnis ini menggeliat dengan bebas, tetapi ia pun mengunjungi tempat penampungan dan rehabilitasi untuk para korban. Di bagian ini, Cacho menghadirkan situasi yang tak kalah mengguncang sisi emosi pembaca, sebab di beberapa tempat penampungan, kondisi yang dihadapi pengelola mulai dari guru, pendamping, dokter, dan psikolog benar-benar tak mudah.
Mereka hidup di tengah ancaman dan keterbatasan jaminan finansial. Apa yang mereka jalani sehari-harinya pun sangat menantang, sebab kondisi kebanyakan korban betul-betul mengkhawatirkan. Tak sedikit anak, dalam bahasa Cacho, dibuat menormalisasi tindakan mereka dan menganggap itulah yang dilakukan oleh anak-anak lain. Pikiran dan psikologi mereka kadung diracuni sehingga ucapan dan pergerakan mereka bisa membuat hati mencelus saat mendengar dan melihatnya.
Namun, bukannya kita tidak kehilangan harapan sama sekali. Itulah yang diyakinkan Cacho di akhir bukunya. Keadaan bisnis ini memang tampak mengkhawatirkan dari ke hari, tapi keberadaan orang-orang yang berusaha memberantas pelaku dan menyembuhkan serta menyelamatkan para korban setidaknya membuat kita percaya akan harapan itu.
Lalu, bagaimana dengan kita yang tak secara langsung berjuang seperti mereka? Cacho memberi catatan: kita bisa menyumbangkan dana kepada lembaga-lembaga yang bergerak menyelamatkan para korban, atau kita juga bisa menggaungkan betapa isu ini masih ada dan kita patut mengkhawatirkannya (Lewat sebuah tulisan, seperti Cacho, misalnya).
Terakhir, apa yang dihadirkan Cacho ini barangkali tampak tak nyata di mata sebagian orang. Tapi, itulah salah satu masalah yang tengah dihadapi manusia di abad ke-21 ini. Harapannya, buku ini bisa membuka mata bahwa di samping kegemilangan ekonomi dan kemajuan teknologi, ada para perempuan yang tengah bergelut dalam memperjuangkan kemerdekaan atas tubuh mereka. Dan, kita tidak seharusnya menutup mata atas apa yang mereka hadapi.
Wahid Kurniawan mahasiswa Sastra Inggris Universitas Teknokrat Indonesia
Simak juga 'Pacar Kamu Nafsuan?':