Hanya dalam hitungan hari, aksi terorisme di beberapa tempat terjadi. Pertama, di gereja Katedral Makassar. Kedua, penyerangan di Mabes Polri, yang diduga bagian dari aksi terorisme.
Pelaku aksi teror di Makassar dan Mabel Polri adalah generasi milenial. Tahun 2009 silam, pelaku bom bunuh diri di Hotel Marriot, Dani Dwi Permana, juga milenial. Kala itu, Dani masih berusia 18 tahun.
Mereka adalah anak-anak muda yang sedang "naik daun" namanya, karena disebut-sebut akan menjadi penentu masa depan Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statisti (BPS), jumlah milenial saat ini tak kurang dari 63 juta jiwa. Penduduk terbesar kedua setelah generasi Z (genzi).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perempuan Milenial
Yang menarik, sekaligus merisaukan, di antara pelaku teror itu adalah perempuan milenial. Beberapa tahun belakangan ini, perempuan memang menjadi target korban gerakan terorisme. Perempuan pertama terduga "pengantin bom bunuh diri" di Indonesia adalah Dian Yuli Novie, terdakwa kasus teror bom panci di Instana Negara pada , 2016. Usia Dian saat itu masih 27 tahun.
Sepanjang 2015-2019, jumlah perempuan milenial yang terlibat dalam gerakan teroris terus meningkat. Selain Dian Yulia Novi, tercatat Ika Puspita Sari dan Umi Delima, istri teroris Santoso di Poso. Sebelumnya, perempuan tertangkap atas dakwaan terorisme adalah Putri Munawwaroh, Inggrid Wahyu, Munfiatun, Rasidah putri Subari, Ruqayah putri Husen Lecano, Deni Carmelit, Rosmawati, dan Arina Rahma (mujahidahmuslimah.com).
Mengapa perempuan menjadi korban "pengantin bom bunuh diri"? Dari berbagai literatur, paling tidak ada 4 faktor utama yang menjadi alasan. Pertama, perempuan memiliki keyakinan kepatuhan mutlak pada suami (yang sudah terlebih dahulu menjadi teroris). Apapun perintah atau ajakan suami, istri harus manut sebagai bagian dari ibadah dan jalan menuju surga. Kepatuhan inilah yang dibangun dan dipatenkan oleh budaya patriarki.
Kedua, tingkat literasi agama perempuan masih rendah. Banyak dari mereka belajar agama dari pengajian-pengajian majelis taklim atau pengajian online, yang cenderung tekstual dalam memahami Alquran dan hadis. Ketiga, perempuan dianggap memiliki keterampilan dan kesetiaan dalam melakukan proses edukasi dan rekruitmen anggota baru melalui anak-anaknya dan komunitasnya.
Keempat, perempuan yang memiliki anak seringkali terjebak dalam ketergantungan penuh, khususnya dalam hal ekonomi, pada suami.
Milenial Reformis
Melihat tingginya angka milenial, potensi mereka menjadi radikal hingga melakukan aksi teror juga besar. Kita tahu, ciri mendasar milenial adalah sangat dekat dengan media sosial. Tempat segala informasi baik dan buruk beredar. Tak sedikit paham intoleran, radikal, hingga terorisme tersebar di berbagai platform media sosial. Di Instagram ZA, pelaku aksi teror Mabes Polri, misalnya, ditemukan posting-an bendera ISIS.
Tahun 2017-2018, saya merehabilitasi para deportan (orang-orang yang dideportasi dari Turki dan beberapa negara lainnya karena diduga akan bergabung dengan ISIS di Suriah) usia anak dan remaja. Dari anak SD hingga SMA, bisa menjelaskan mengapa harus ke Suriah, juga menceritakan keindahan surgawi yang ada di Suriah. Bagaimana mereka fasih menggambarkan semua itu di saat mereka belum pernah menginjakkan kaki di Suriah?
Itulah kecanggihan internet. Melalui Youtube dan Telegram, sejak dini orangtua mereka mencekoki gambar dan visualisasi terorisme. Para teroris begitu canggih menggunakan media sosial dalam menyebar keyakinannya dan merekrut anggota baru.
Saat ini, teroris mengincar "milenial awam". Milenial yang rajin di medsos, tapi minim literasi agama dan kemampuan berpikir kritis. Juga minim pengetahuan dan keterampilan yang sangat dibutuhkan untuk meng-counter paham ekstrem dan radikal.
Upaya-upaya memberi penguatan pengetahuan dan keterampilan kepada milenial darurat untuk dilakukan. Yayasan Mulia Raya misalnya, sebuah NGO yang peduli pada isu kemanusiaan dan perdamaian, melakukan training "Milenial Reformis" di berbagai daerah di Indonesia yang dianggap rawan menjadi basis perekrutan teroris. Pelatihan ini merekrut milenial perempuan yang memiliki pengaruh (influencer) di media sosial dan di komunitasnya masing-masing.
Siapa yang dimaksud "milenial reformis"? Mereka adalah anak muda yang memiliki komitmen untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, komitmen kebangsaan, memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender, dan peduli pada kelestarian lingkungan.
Upaya pemberdayaan milenial, khususnya perempuan, perlu menjadi perhatian khusus. Karena tak mungkin melarang milenial menggunakan media sosial --menguatkan kapasitas dan pertahanan diri mereka jauh lebih baik.
Secara kognitif, milenial perlu memiliki literasi agama serta wawasan kebangsaan yang baik. Secara afektif, keterampilan berpikir kritis dan mengasah empati perlu diperdalam. Dengan begitu, kita berharap, akan lahir milenial-milenial yang open minded, cerdas, toleran, dan berempati dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.
Milastri Muzakkar pegiat milenial, penulis buku Lindungi Anak dari Bibit Terorisme