Suatu hari ketika berbelanja di sebuah minimarket tanpa sengaja saya bertemu dengan teman satu angkatan yang lama tidak pernah berkabar. Kami langsung heboh. Terlihat dari ekspresi mata kami meski wajah tertutup masker. Setelah selesai berbelanja kami duduk di emperan minimarket sambil mengobrol. Berbagai hal kami obrolkan dari nostalgia zaman kuliah dan menggosipkan segala macam hal di sekitar kami.
"Eh temlen kok isinya wong nikahan thok ya? Aku wae masih meratapi rekening tiap akhir bulan," kata teman saya. Dari obrolan kami, ketahuan kalau ia juga belum menikah.
"Hah? Nikahan? Nek aku malah sudah lewat. Sudah nggak nikahan atau info berbagi menu MPASI lagi, tapi sudah pada bingung milih sekolah atau malah lagi sibuk menemani anak PJJ. Dan aku, masih sibuk me-nyekrol temlen," respons saya sambil ngakak.
Ya, wajar angkatan kami memang sebagian besar sudah berkeluarga. Tapi jujur saja unggahan foto pernikahan dan foto bayi-bayi tidak pernah membuat saya iri dalam arti ingin segera mengalami sendiri. Saya tentu saja ikut berbahagia dengan teman yang menikah atau baru saja lahiran, tapi tidak lantas ingin cepat-cepat menyusul.
Saya ini kalau diajak tilik bayi (masa sebelum pandemi) adalah orang yang paling tidak ingin menggendong bayi teman ketika yang lain gemas menggendong. Apakah saya benci bayi? No. Ketika mendengar teman-teman lahiran, saya adalah orang yang akan cepat-cepat mengontak teman saya yang berjualan kebutuhan bayi untuk segera mengirim kado buat teman yang baru saja lahiran.
Bahkan kadang-kadang mereka baru mengabari hamil saja sudah saya kirimi kado. Selain saya ikut bahagia (apalagi jika teman tersebut sudah lama menantikan buah hati), juga untuk membantu perekonomian teman yang menjual kebutuhan bayi yang kebetulan juga seorang ibu muda.
Dua teman saya juga meminta saya untuk menamai anak mereka karena ingin anaknya dinamai dengan bahasa Sanskrit, Kawi, atau Jawa Kuno. Urusan memberi nama ini bukan main-main menurut saya. Sebenarnya sudah saya tolak, tapi karena mereka memaksa, akhirnya saya carikan juga nama buat mereka.
Sampai sekarang salah satu teman saya rajin mengirim foto atau video anaknya. Ia memanggil saya dengan sebutan "Mom". Tapi tetap saja, saya belum punya keinginan untuk mempunyai anak sendiri.
Tahun lalu saya dan teman saya menerbitkan sebuah buku cerita anak. Sebuah buku dongeng bergambar berbahasa Jawa. Buku tersebut mendapat respons luar biasa, lebih dari dugaan saya. Di antara respons yang membuat saya haru adalah banyak kiriman foto dan video anak-anak yang membaca atau dibacakan buku saya oleh orangtua atau saudaranya. Ada juga teman saya yang membacakan untuk anak-anak sanggar atau panti rehabilitasi anak.
Saya tipe orang yang tidak bisa mendongeng langsung. Jadi ketika buku saya dibuat bahan mendongeng, saya seperti menjadi seorang ibu secara tidak langsung. Untuk sekarang, memang saya lebih memilih "momong" anak-anak dengan menulis buku daripada punya anak sendiri. Beberapa orang berkomentar kalau kondisi saya ini sungguh kontradiktif. Menulis buku anak kok malah tidak ingin punya anak sendiri.
Saya pernah mengunggah foto sebuah buku berjudul Childfree and Happy karya Victoria Tunggono di akun Twitter saya. Seseorang membalas tweet saya tersebut dengan pertanyaan: Mbak, apakah memilih untuk childfree? Dugaan saya ia membalas tweet saya karena merespons tweet saya sebelumnya. Di situ saya curhat kalau saya tidak merasa dekat dengan anak-anak secara fisik, tapi lebih memilih "momong" dan dekat dengan anak-anak dengan menulis buku cerita anak.
Saya menjawab: untuk saat ini mungkin iya. Namanya kemungkinan bisa saja berubah. Tapi setidaknya saya punya alasan di setiap pilihan hidup yang saya yakini.
Sebenarnya fenomena childfree (bebas anak) bukan sesuatu yang asing di kehidupan saya. Di bukunya, Victoria Tunggono menjelaskan kalau childfree (bebas anak) beda dengan childless (tanpa anak). Childfree lebih ke keputusan sadar untuk tidak memiliki anak meskipun ia bisa kalau mau. Sedangkan childless lebih ke kondisi yang tidak memungkinkan orang tersebut memiliki anak.
Beberapa teman saya penganut faham childfree ini. Ada tiga teman yang pernah saya ajak ngobrol tentang ini dan mengungkapkan alasan-alasannya. Teman pertama, sebut saja Mbak F, memilih childfree karena sudah sampai pada pemahaman bahwa anak adalah sumber "penderitaan". Jangan marah-marah dulu, ada tanda kutip di situ.
"Penderitaan" lebih kepada urusan kemelekatan. "Penderitaan" akibat dari besarnya kemelekatan seorang ibu kepada anaknya. Misalnya, ketika kita berharap anak kita terlahir normal dan sehat, ternyata diberi anak yang lahirnya dalam keadaan cacat, lalu kita bersedih. Itu salah satu penderitaan awal. Ketika anak terlahir sehat dan lengkap, eh ternyata di kemudian hari diketahui kalau berkebutuhan khusus, jadi menderita lagi. Anak sakit, ibu jadi sedih, menderita. Anak tidak menurut kepada ibu, ibu menderita lagi. Begitu seterusnya.
Seringkali hal ini membuat orang berpikir kalau penganut childfree adalah seorang yang egois. Bisa jadi begitu. Tapi bukankah punya anak tanpa tanggung jawab juga sebuah tindakan egois? Punya anak adalah komitmen seumur hidup. Tidak bisa ditarik atau dibatalkan. Tidak semua bisa menjadi ibu yang baik apalagi jika ia mempunyai PR mental, trauma, kepahitan masa lalu, dan luka batin di masa kecil terhadap orangtua yang masih perlu disembuhkan dulu.
Tidak semua orang bisa menjadi ibu yang siap menerima penderitaan-penderitaan itu. Tentu orang yang memilih childfree tidak mau menjadi makhluk egois yang nanti kalau mereka punya anak, anak mereka menjadi korban dari kepahitan-kepahitan masa lalu mereka.
Teman saya yang lain, sebut saja T, punya alasan yang lebih idealis dan ndakik-ndakik. Baginya punya anak sama sekali tidak ramah lingkungan dan tidak ramah dalam perekonomian negara. Ledakan demografi dan kerusakan lingkungan membuatnya tidak mau jika anaknya nanti hidup di alam yang air dan tanahnya sudah tercemar. Baginya itu adalah sebuah kezaliman.
Apalagi keadaan finansialnya belum stabil. Punya anak mahal. Semua hal itu membuatnya merasa belum bisa menjadi ibu yang baik jika memaksa untuk punya anak. Baik Mbak F dan T sama-sama tidak tertarik dengan pernikahan. Kalau pun mereka menikah, mereka tidak ingin mempunyai anak. Tapi apakah mereka benci dengan anak kecil? Tentu saja tidak. Saya mengenal mereka.
Mbak F punya keinginan menjadi orangtua asuh, sedangkan T lebih ke ia tidak tahu bagaimana bersikap kepada anak kecil dan takut tidak bisa memberi pengasuhan yang benar meski ia tetap belajar parenting. Tentu aja ada penganut childfree yang memang tidak menyukai anak-anak, menganggap pendapat bahwa bayi lucu adalah sesuatu yang absurd. Kebetulan teman-teman saya penganut childfree adalah orang-orang yang tidak membenci anak-anak.
Apakah seorang childfree tidak bisa menyalurkan kasih sayang? Saya mengamati penganut childfree yang saya kenal biasa menyalurkan kasih sayangnya dengan memelihara binatang dan merawat tanaman. Mbak F memelihara anjing yang membuat saya teringat dengan sebuah akun rescuer kucing di Instagram yang dikelola oleh pasangan childfree. Mereka menyalurkan kasih sayang dengan merawat ratusan kucing dan beberapa anjing.
Ada juga yang memilih untuk mengadopsi anak seperti yang dilakukan oleh teman saya, sebut saja G. Saya masih ingat ketika ia cerita setelah memegang anak sepupunya yang berusia 10 bulan, ia bilang pada sepupunya kalau ia ingin punya anak seperti itu. Sepupunya bilang pada keluarga kalau teman saya ingin menikah. Padahal ia tidak ingin menikah, ia ingin merawat anak.
Ia memang suka mengadopsi anak yang sekiranya memang berada di lingkungan yang kurang baik untuk masa depan mereka. Misal anak yang dibuang orangtuanya, anak yang lahir karena kehamilan tidak diinginkan, dan semacam itu. Ia suka merawat dan membesarkan anak meski anak itu tidak lahir dari rahimnya, dan paham yang ia yakini dianggap gendheng oleh budhe-nya. Bagi teman saya, menikah dan punya anak tidak wajib, yang wajib adalah berbuat baik.
Saya juga tipe yang lebih suka menjadi orangtua asuh daripada merawat anak. Memang saya pernah jadi guru TK walau sebentar, saya juga pernah seharian dititipi anak teman saya. Di beberapa kesempatan saya juga berinteraksi dengan anak kecil. Tapi itu tidak setiap hari kan? Ketika mereka sudah tantrum parah pasti saya kembalikan ke orangtuanya.
Saya sering ditanya apakah tidak takut nanti kalau sudah tua tidak ada yang merawat? Loh saya tidak ingin punya anak untuk investasi. Punya anak kandung juga belum tentu nantinya akan merawat kita. Kalau mereka dengan inisiatif sendiri merawat orangtuanya, saya tidak menolak. Saya hanya tidak ingin memaksa mereka. Bahkan saya dari sekarang mencari-cari tempat tinggal di masa tua kalau memang ditakdirkan sendiri.
Kekhawatiran tidak mendapatkan doa anak saleh? Punya anak juga belum tentu didoakan sih kalau mereka tidak saleh. Hehe. Paling tidak menurut saya masih ada kesempatan mendapat pahala dari amal jariyah dan ilmu yang bermanfaat jika memang tidak bisa mendapatkan doa dari anak saleh (biologis).
Takut kesepian? Ah, bagi saya sepi itu kondisi, kesepian adalah perspektif.
Apakah tidak ada pertentangan dari keluarga dan lingkungan? Oh, tentu saja. Keluarga dan lingkungan saya tentu saja masih berpaham bahwa orang itu harus menikah dan wajib berketurunan. Ada orang tidak menikah saja sudah aneh apalagi ada orang yang tidak mau punya anak. Lebih aneh lagi kalau ada orang yang menikah, tapi malah tidak mau punya anak. Lha terus menikah buat apa?
Ya, padahal ada orang yang ingin menikah dan menghabiskan waktu dengan pasangan, mengabdi untuk masyarakat sekitar, atau melakukan hal menarik lainnya tanpa harus mempunyai anak kandung. Biasanya sih hal ini mengundang komentar, "Ah, nanti seiring waktu juga bisa jadi ibu yang baik." Siapa yang menjamin?
Saya tahu tiap orang punya kebahagiaan masing-masing. Ada orang menganggap anak adalah buah hati dan sumber kebahagiaan --ya sumangga. Kalau mereka bahagia dengan memiliki anak karena mungkin sudah bertahun-tahun menantikan, saya juga ikut bahagia.
Level pemahaman orang memang berbeda. Risiko menjadi berbeda adalah tidak disukai. Kita hidup dengan segala pilihan. Kita berhak memilih. Karena bagaimana pun hidup kita yang menjalani ya kita sendiri. Nah, tugas orang lain adalah berkomentar. Biasalah.
Gondangrejo, 24 Maret 2021
Impian Nopitasari penulis cerita berbahasa Indonesia dan Jawa, tinggal di Solo
(mmu/mmu)