Beberapa hari terakhir beredar petisi online terkait kasus Renjana (bukan nama sebenarnya) yang merupakan korban kekerasan seksual ditambah lagi dengan kriminalisasi oleh pihak keluarga pelak. Kriminalisasi tersebut dianggap sebagai upaya menghambat proses pemulihan terhadap Renjana yang merupakan korban kekerasan seksual.
Renjana merupakan gadis berusia 16 tahun yang dibawa lari oleh pacarnya R yang berusia 22 tahun. Keduanya warga Kota Padang. Keluarga korban yang tidak terima dengan perbuatan pelaku kemudian melapor ke Polsek Koto Tengah, Sumatera Barat. Pelaku pun ditangkap polisi. Namun keluarga pelaku mengajak keluarga korban berdamai dan memberikan uang sebesar Rp 20 juta rupiah yang kemudian digunakan untuk pengobatan korban.
Tentunya keluarga pelaku berharap dengan pemberian uang tersebut, kasus pelaporan terhadap pelaku bisa dicabut. Namun tidak semudah itu, karena korban merupakan anak di bawah umur, sehingga kasusnya tetap diproses. Keluarga pelaku kesal dan kemudian menggugat keluarga korban dengan kasus penggelapan dana sebesar Rp 20 juta rupiah. Keluarga korban yang tertekan kemudian mengembalikan uang sebesar Rp 12 juta rupiah dan emas, karena uang yang diberikan keluarga pelaku kepada keluarga korban sebenarnya sudah digunakan untuk biaya pengobatan Renjana, yang mengalami penderitaan fisik serta psikis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus Renjana hanyalah satu dari sekian banyak korban kekerasan seksual yang hak-haknya terabaikan. Padahal korban kekerasan seksual tidak hanya menderita secara fisik, namun juga secara psikis. Itulah mengapa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ( RUU PKS) hadir untuk melindungi korban kekerasan seksual seperti Renjana dan Renjana-Renjana lain yang saat ini masih terabaikan.
Angin Segar
Setelah 12 tahun terabaikan keberadaannya, masuknya kembali RUU PKS dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 menjadi angin segar untuk para korban kekerasan seksual dan pihak-pihak yang selama ini memperjuangkan RUU PKS agar bisa disahkan menjadi Undang-Undang.
Menurut Program Officer On Inequality International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Megawati, hasil studi kuantitatif yang dilakukan oleh INFID pada 2020 memperlihatkan bahwa 70,5 persen masyarakat Indonesia setuju diberlakukannya RUU PKS karena RUU tersebut disusun berdasarkan pengalaman korban dan pendampingan korban.
Keberadaan RUU PKS merupakan langkah maju yang tidak hanya bicara tentang tindak pidana terhadap pelaku, juga rehabilitasi bagi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Hal lain yang tidak kalah pentingnya, RUU ini memberikan perlindungan, penanganan, dan pemulihan bagi korban yang selama ini tidak diatur dalam UU yang telah ada.
Masuknya kembali RUU PKS dalam Prolegnas 2021 tentunya membuat Renjana dan para korban kekerasan seksual lainnya bisa menggantungkan harapan akan keadilan dan nasib mereka sebagai korban.
Sementara itu ada 17,1 persen masyarakat yang menganggap RUU ini kontroversi dan bertentangan dengan ajaran agama.
Padahal menurut Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Yulianti Mutmainnah, bahkan dalam sejarah Islam terkait dengan kekerasan seksual, pada masa Nabi Muhammad, kesaksian para korban kekerasan seksual selalu didengar, tidak pernah menyalahkan korban, dan korban tidak pernah dihukum. Sedangkan pada pelaku berlaku hukuman rajam, jilid, diasingkan, qishah dan tidak ada pelaku yang mendapatkan impunitas.
Peran Penting
Pada akhirnya jurnalis memegang peranan penting dalam menggiring pendapat masyarakat yang terwakili oleh para anggota dewan yang terhormat di DPR agar RUU PKS bisa disahkan. Karena menurut Ika Putri Dewi M.Psi., Psikolog Yayasan Pulih, perspektif tentang gender perlu dipahami secara mendalam dan serius dalam memahami peristiwa kekerasan seksual.
Dengan perspektif yang tepat, korban akan merasa dipahami, demikian pula tulisan jurnalisme berperspektif gender akan dapat menjadi kekuatan untuk mengajak yang lain menaruh empati terhadap korban kekerasan seksual, hingga menolong untuk menghentikan dan mencegah terjadinya kekerasan seksual.
Ingat, kekerasan seksual tidak hanya dialami kaum perempuan. Seperti hasil penelitian INFID bahwa 66,7 persen perempuan mengalami kekerasan seksual, sementara 33,3 persen dialami laki-laki. Kekerasan seksual juga tidak saja dialami oleh orang muda, namun juga bayi, anak-anak, orang tua, bahkan mayat.
Meski kekerasan seksual juga dialami laki-laki, namun Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Uni Lubis, mengutip hasil yang disampaikan oleh Sidang Tahunan UN Women, mengatakan bahwa pandemi Covid-19 semakin memperparah kekerasan terhadap perempuan baik anak-anak maupun perempuan dewasa. Pandemi telah membuat meningkatnya angka perkawinan, kehamilan tidak dikehendaki, serta semakin banyak perempuan yang harus bekerja di sektor domestik serta meningkatnya kekerasan oleh mitra intim. Kondisi itu terjadi di hampir semua negara di dunia, dan Indonesia bukanlah perkecualian.
Karena itu tagar "Indonesia Darurat Kekerasan Seksual" tepat kiranya digaungkan ke penjuru negeri, sehingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pun bisa disahkan menjadi Undang-Undang agar Renjana dan korban kekerasan seksual lainnya bisa mendapatkan hak-haknya sebagai korban.
Tri Ambarwatie Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Jawa Timur
(mmu/mmu)